Berita Surabaya
Sosok Ketua Majelis Hakim Sidang Kasus Dwi Kurniawati, Buruh Asal Surabaya Masuk Bui Usai Tanya UMK
Taufan Mandala merupakan ketua majelis hakim sidang kasus Dwi Kurniawati (41), buruh asal Surabaya yang dibui usai tanyakan UMK.
Penulis: Putra Dewangga Candra Seta | Editor: Putra Dewangga Candra Seta
Taufan Mandala, sebagai ketua majelis hakim setelah mendengar amar dakwaan lantas bertanya kepada Dwi Kurniawati, "Apakah terdakwa jelas dan memahami atau tidak," tanyanya.
Perempuan usia 41 tahun itu langsung menjawab secara lugas bahwa dakwaan "cukup jelas,' ucapnya.
Namun, ia melanjutkan kalau menurutnya amar dakwaan yang disusun oleh jaksa dari Kejaksaan Negeri Surabaya itu tidak sesuai kenyataan. Ia pun meminta izin untuk bercerita.
Ketua majelis hakim pun meminta terdakwa untuk menahan diri. Pembelaan atau eksepsi bisa diajukan pada sidang selanjutnya.
Wakil Tuhan itu ingin terlebih dahulu memastikan, apakah pada sidang berikutnya akan mengajukan eksepsi atau memasrahkan sepenuhnya kepada penasihat hukum.
Terdakwa pun kemudian memberi jawaban "langkah selanjutnya dipasrahkan kepada penasihat hukumnya," ucapnya.
Baca juga: AKHIR Nasib Penganiaya Santri Banyuwangi hingga Tewas: Sudah Minta Maaf, Dituntut Hukuman Maksimal
Di momen itu tim penasihat hukum terdakwa langsung menimpali "Kami akan mengajukan eksepsi Yang Mulia," tandasnya.
Dwi Kurniawati ditahan di Rutan Medaeng sejak 5 Maret lalu. Kasus buruh asal Surabaya ini ternyata disoroti sekumpulan profesi pengacara.
Dwi mendapat bantuan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Tim Advokasi Buruh Peduli Anak Negeri (Tabur Pari). Menurut pandangan LBH tersebut
Dwi sebagai korban yang tidak mendapatkan hak ketenagakerjaan, namun perusahaan justru menjadikannya korban kembali dengan cara melakukan pelaporan di Kepolisian Sektor Genteng Surabaya.
Achmad Roni, salah seorang pengacara dari LBH tersebut menjelaskan, mulanya Dwi kerja sebagai accounting di PT Mentari Nawa Satria atau yang lebih dikenal Diskotik Kowloo.
Dwi mulanya dikontrak kerja selama 6 bulan, dan dijalani selama 3 bulan. Bulan pertama Dwi mendapat gaji Rp 1,2 juta, bulan kedua Rp 1,5 juta, dan ketiga Rp 2,3 juta.
"Selain gaji di bawah UMK, Bu Dwi juga tidak didaftarkan BPJS dan akta kelahiran ditahan. Berawal dari situ, dia mengadu ke Disnaker Kota Surabaya dan diarahkan kasus perselisihan hak pidana diarahkan ke Disnaker Provinsi Jatim. Nah karena tidak ada tindak lanjut, Dwi melaporkan ke Polda Jatim," ucapnya.
Kepolisian ternyata menghentikan kasus tersebut. Namun, tiba-tiba Dwi dilaporkan di Polsek Genteng.
"Yang melaporkan karyawan bernama Eko Purnomo. Dia bukanlah pemegang saham melaporkan nama perwakilan perusahaan. Anehnya lagi, menjelang pemanggilan tersangka keterangan mewakili perusahaan dihilangkan. Laporan menjadi atas nama pribadi Eko," ujar Roni.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.