SURYA Kampus
Kisah Inspiratif Anak Buruh Tani Kuliah S2 di UI dengan Beasiswa LPDP, Dulu Tinggal di Panti Asuhan
Kisah inspiratif datang dari anak buruh tani di Kecamatan Cikalong, Tasikmalaya, Jawa Barat. Begini ceritanya
Penulis: Arum Puspita | Editor: Musahadah
SURYA.CO.ID - Kisah inspiratif datang dari anak buruh tani di Kecamatan Cikalong, Tasikmalaya, Jawa Barat.
Anas Anwar Nasirin terlahir dari keluarga sangat sederhana.
Ayahnya bekerja sebagai penjual topi dan peci. Ibunya sehari-hari menjadi buruh tani.
Kehidupan Anas kian terpuruk ketika ayahnya mendadak alami gangguan jiwa pada 2005 silam.
Lima tahun kemudian, ayahnya meninggal dunia.
Peran sebagai kepala rumah tangga akhirnya diambil alih oleh sang ibu.
Baca juga: Sosok Alumni UB Penerima Beasiswa LPDP Tolak Kerja di Perusahaan Minyak Demi Bangun Kampung Halaman
Pendapatan sebagai buruh tani tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan ketiga anaknya.
Apalagi, pekerjaan sebagai buruh tani bergantung pada musim tanam saja.
Ditambah, ibunya sempat terkena stroke ringan dan diabetes yang berimbas pada pekerjaannya.
Nekat Merantau Bermodal Rp 100 Ribu
Pria kelahiran 1997 ini sadar betul dengan kondisi keluarganya.
Anas yang masih berusia sangat muda bercita-cita melanjutkan pendidikannya.
Dengan modal nekat, Anas kemudian merantau untuk mencari pekerjaan.
“Pada saat itu semangat saya tidak berhenti, malah semakin tumbuh."
"Saya meminta bantuan kepada tetangga yang memiliki saudara yang bekerja di Panti Asuhan Al-Rasyid Subang."
"Saya minta untuk diizinkan untuk tinggal di Panti Asuhan Al-Rasyid Subang.” ujar Anas, dikutip dari laman LPDP.
Ingat betul pada Juli 2009, bermodal Rp 100 ribu dari sisa bantuan pemerintah untuk keluarga miskin, Anas akhirnya berangkat ke Panti Asuhan Al-Rasyid Subang.
Ia kemudian menghabiskan masa kecil hingga remajanya di panti asuhan itu.
Anas membuktikan keseriusannya dalam dunia pendidikan.
Anas selalu masuk di peringkat tiga besar selama bersekolah hingga tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Suatu ketika, Anas harus kembali ke kampung halaman dan terpaksa keluar dari panti asuhan.
Hal ini dipicu oleh kondisi sekonomi keluarga yang kian terpuruk.
Anas pun banting tulang menjadi buruh konveksi.
Namun, baru dua minggu di rumah, keinginan Anas untuk melanjutkan sekolah semakin besar.
Ia merasa ingin mengangkat derajat keluarga dengan jalur pendidikan.
Anas akhirnya kembali mencari panti asuhan baru yang menyediakan fasilitas sekolah gratis.
Terpilih Panti Asuhan Darul Inayah di Kabupaten Bandung Barat, yang kemudian menjadi tempat Anas menempuh pendidikan.
Apalagi, panti asuhan itu berbasis pondok pesantren.
Prestasi Anas mempertahankan juara pertama atau kedua selama di Sekolah Menengah Atas (SMA) akhirnya menjadi modal berharga untuk mendaftar kampus melalui Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN).
Ia diterima di jurusan Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran (Unpad)
Anas ingat dari 22 orang pendaftar SBMPTN di panti asuhan tersebut, hanya dirinya yang kemudian lolos diterima di Perguruan Tinggi Negeri.
Ia kemudian membawa kedua adiknya untuk tinggal di Panti Asuhan Riadlul Jannah, Jatinangor.
“Saat kuliah di Unpad, saya di sana bertekad pada diri. Saya menyadari sebagai minoritas, mungkin hanya saya satu-satunya di Unpad ini yang merupakan anak panti asuhan."
"Sehingga saya juga harus bisa membuktikan, yaitu menjadi minoritas juga, artinya menjadi mahasiswa yang berprestasi.” tutur Anas.
Keputusan Anas mengambil jurusan sejarah sempat mendapat pertentangan dari orang-orang di panti asuhan.
Sebab, jurusan tersebut dinilai kurang populer dibanding jurusan lain yang identik menjanjikan kesuksesan di masa depan.
“Saat itu, ketika saya di panti asuhan sempat mendapatkan pertentangan. Karena jurusan sejarah adalah jurusan yang kategorinya minat khusus, non-favorit."
"Bahkan untuk pekerjaannya pun tidak sebanyak jurusan seperti Ilmu Hukum, ataupun Ekonomi dan Psikologi.” ujarnya.
Namun, minat menekuni suatu bidang ilmu tak selalu bisa mengikuti tren populer.
Anas juga tak sedang main aman dengan mengambil jurusan sejarah agar lebih mudah masuk ke kampus negeri.
Ia mengaku telah menyukai pelajaran sejarah sejak duduk di bangku SMP.
Anas menamatkan sarjananya dengan merampungkan skripsi berjudul “Politik Hukum Pemerintah Indonesia tentang Pengerahan Tenaga Kerja Indonesia ke Malaysia Tahun 1984-1989”.
Ia menyoroti tentang pemberlakuan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri pada 1984 ke Malaysia.
Di era Orde Baru tersebut, target pemerintah yang masuk dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dengan mengirimkan tenaga kerja sebesar-besarnya ternyata tak sebanding dengan kelayakan yang didapat di lapangan.
“Kala itu negara cenderung memanfaatkannya, tapi minim perlindungan terhadap mereka (buruh migran)."
"Mereka rawan mengalami penyalahgunaan atau dimanfaatkan oleh perusahaan maupun oknum pemberi kerja ketika di Malaysia."
"Bahkan dalam proses sebagai korban seringkali telah melanggar prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia” tutur Anas.
Ketertarikan Anas pada topik buruh migran juga didasari oleh daerah asalnya.
Mulai dari buruh tani seperti ibunya, buruh yang merantau di kota besar, dan buruh migran.
Mereka yang memilih menjadi TKI rata-rata didominasi perempuan.
Banyak perempuan yang menjadi ibu meninggalkan anaknya dan akhirnya cenderung terlantar dalam kubangan kemiskinan dan rendahnya literasi pengetahuan.
Anak sulung dari tiga bersaudara ini juga hampir ditinggal ibunya menjadi TKI saat ia masih di bangku kelas 4 Sekolah Dasar.
Untungnya, hal itu tak terjadi karena ibunya belum tega meninggalkan Anas dan dua adiknya yang masih kecil.
Ditambah, ia punya sahabat yang ditinggal ibunya bekerja di Arab Saudi.
Kehidupannya menjadi tidak terurus, sekolah tidak pernah belajar, tidak mendapat pengasuhan yang layak, hingga kiriman uang yang tak kunjung memakmurkan.
Tantangan dan perjuangan terus mengiringi jejak langkah seorang Anas. Saat sedang mengikuti perlombaan, mengerjakan skripsi, membantu adik-adiknya dan berbagai pikiran lainnya, ia diserang penyakit Bell’s Palsy pada tahun 2018.
“Imun saya turun dan akhirnya saya mengalami kelumpuhan di bagian wajah sebelah kiri saraf nomor tujuh” ujar Anas."
"Praktis, ia harus berobat dan tentunya membutuhkan biaya. Untuk menambah biaya pengobatan, Anas melakoni pekerjaan sampingan sebagai tukang bersih-bersih rumah kos dengan upah Rp25.000 per kamar.
Akibat harus membagi waktu dengan bekerja untuk berobat inilah membuat proses kelulusannya menjadi molor dan tak sesuai target semula terencana tepat delapan semester.
Mau tak mau agar tak berlarut ia mengakhiri pekerjaan sampingannya itu agar bisa fokus melanjutkan skripsi dan lulus.
Lanjut S2 dengan Beasiswa LPDP
Selepas lulus sarjana, Anas sempat melakukan pengabdian ke panti asuhan yang telah menampungnya dan turut membiayai kehidupannya itu.
Kegiatannya adalah mengajar di Madrasah Aliyah menjadi guru pelajaran sejarah dan sejarah kebudayaan Islam serta turut memobilisasi untuk berbagai kegiatan di panti asuhan selama Juli 2020 hingga Desember 2021.
Di tahun-tahun setelahnya, Anas mencoba peruntungannya untuk mendaftar beasiswa LPDP.
Bukan hal yang tiba-tiba, sebenarnya sedari 2017 Anas sudah mengincar untuk dapat melanjutkan kuliahnya.
Lalu pada 2022, Anas dengan dibantu orang-orang baik di sekitarnya memberanikan diri untuk mendaftar.
Walaupun track record prestasinya tak diragukan, Anas sadar dia memiliki kekurangan khususnya di Bahasa Inggris.
Anas akhirnya diterima di Universitas Indonesia melalui program Beasiswa Prasejahtera dari LPDP yang sengaja dipilihnya.
Minatnya meneruskan studi sejarah lantaran ingin menjadi sejarawan di bidang politik Islam, migrasi, dan ketenagakerjaan.
Kini penelitian tesis yang sedang dikerjakannya adalah sejarah politik Islam dengan subjek gerakan Darul Islam.
Ia tertarik dengan topik ini karena gerakannya yang memiliki akar dari peristiwa masa lalu baik lokal dan global, serta dampaknya yang paling ekstrim terhadap aksi-aksi teror di tanah air.
Anas mengkaji posisi para ajengan atau kiai di masa pergerakan DI/TII di Jawa Barat kurun waktu 1949 sampai 1962.
Kala itu para ajengan menghadapi dilema posisi, antara diminta bergabung ke gerakan DI/TII untuk memberikan masukan terkait penegakan hukum Islam, namun takut ditangkap oleh Tentara Republik Indonesia karena dianggap memberontak.
“Pada prosesnya, ajengan ini terbagi-bagi, ada ajengan yang pada akhirnya mereka pro mendukung gerakan DI/TII, ada ajengan yang tidak mendukung. Dia lebih bergabung dengan tentara, dengan pemerintah Indonesia. Ada juga yang netral, dia memilih bersembunyi, tidak ke DI/TII juga tidak ke pemerintah Indonesia” tutur pria yang bercita-cita ingin melanjutkan studi S2 kembali di bidang politik di Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) ini.
SURYA Kampus
Beasiswa LPDP
Universitas Padjajaran
Anas Anwar Nasirin
SURYA.co.id
surabaya.tribunnews.com
panti asuhan
kisah inspiratif
Dua Dokter Asal Palestina Resmi Gabung Program Spesialis Fakultas Kedokteran Unair Surabaya |
![]() |
---|
Mahasiswa Dua Negara Rancang Struktur Bambu Kinetik di Surabaya |
![]() |
---|
UT Gelar Career Fair Perdana di Surabaya, 40 Perusahaan Buka Lowongan Kerja |
![]() |
---|
FK Unusa Surabaya Kampanyekan Cegah Penyakit Jantung dengan Gaya Hidup Aktif |
![]() |
---|
Sosok As Syifa Adn, Mahasiswa Unair yang Juarai Kompetisi Menyanyi Tingkat Internasional |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.