TRAGEDI AREMA VS PERSEBAYA

Tim Kuasa Hukum Korban Kanjuruhan Enggan Datang di Sidang 

Pengadilan Negeri (PN) Surabaya 16 Januari menggelar sidang perdana terhadap lima terdakwa tragedi Stadion Kanjuruhan, Malang.

Penulis: Tony Hermawan | Editor: Rahadian Bagus
tony hermawan/surya.co.id
Polisi menggelar simulasi pengamanan sidang tragedi Kanjuruhan di PN Surabaya. 

SURYA.CO.ID | SURABAYA - Pengadilan Negeri (PN) Surabaya 16 Januari menggelar sidang perdana terhadap lima terdakwa tragedi Stadion Kanjuruhan, Malang.

Tatak, tim advokasi korban tragedi ini nyatanya tidak berkenan menyaksikan sidang tersebut secara langsung. Khusus agenda sidang perdana, Tatak menegaskan enggan datang di Surabaya.

Enggan datang bukan karena sidang tersebut berlangsung di Surabaya. Melainkan, ternyata Tatak tidak sepakat kalau sebagaian besar terdakwa dijerat pasal tentang kelalaian.

Tatak menilai, seharusnya dalam perkara ini para terdakwa dijerat Pasal 338 dan 340 tentang pembunuhan secara sengaja dan terencana. Juga Tatak menginginkan ada  penambahan jumlah tersangka.

"Karena yang disidangkan bukan kasus pembunuhan, maka kami tidak datang," kata Solehuddin, salah seorang kuasa hukum yang bergabung di Tim Tatak.

Solehuddin menyebut Tim Tatak bakal menggelar rapat, Senin (16/1). Hal itu untuk mengumpulkan fakta-fakta agar para terdakwa dapat dijerat pasal pembunuhan secara sengaja dan terencana.

Pihak Tatak, kata Solehuddin, juga angkat bicara terkait PN Surabaya membatasi jumlah pengunjung dan melarang media melakukan live streaming di dalam ruang sidang.

Tatak menilai pembatasan jumlah pengunjung sebenarnya masih bisa dibenarkan. Hakim biasanya saat menyidang perkara tertentu semisal asusila, teroris, penistaan agama membatasi jumlah pengunjung sidang.

Hal tersebut masuk dalam konteks diskresi hukum. Pejabat (hakim) dapat mengambil keputusan secara sepihak karena alasan untum menjaga agar situasi kondusif.

Akan tetapi, apabila juga dilarang live streaming, dinilai terlalu berlebihan.

Alasannya, PN Surabaya bukan pengadilan militer yang harus menggelar sidang tertutup. Lagi pula, para terdakwa bukan anak di bawah umur. Mereka juga bukan pelaku tindak asusila. 

 "Kalau saya sebagai kuasa hukum berpendapat seharusnya seharusnya ya dibuka saja (diperbolehkan live streaming). Kan, sudah tersebar video-video waktu kejadian. Menurut saya dibuka saja biar terang-benderang," pungkasnya.

Sumber: Surya
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved