Berita Surabaya
Kontroversi Rehabilitasi di Dalam Penjara, Penyalahguna Narkoba Tempatnya Bukan di Lapas
Buntut akibat penyalahguna dipenjara, berdampak kemana mana, saat ini terjadi kontroversi antara Eksekutif yang diwakili Dirjen Lapas dan Legislatif.
Penulis: Anas Miftakhudin | Editor: Anas Miftakhudin
Ini pendapat anggota Komisi III DPR RI dan catatan Anang Iskandar mantan Kepala BNN.
SURYA.CO ID I SURABAYA - rebabilitasi itu tupoksi (tugas pokok dan fungsi ) Kemenkes, Kemensos dan BNN sebagai kordinator P4GN, bukan termasuk tupoksinya Lapas.
Keliru kalau Lapas punya rencana merehab pemakai narkotika untuk mencegah penjara kelebihan panghuni, lebih tepat kalau Lapas menolak pemakai narkotika yang dijatuhi hukuman penjara oleh hakim, karena bagi penyalah guna yang terbukti bersalah tempatnya bukan dipenjara tapi di rumah sakit atau lembaga rehab.
Secara yuridis penyalahguna dituntut dan dijatuhi hukuman rehabilitasi, tempat menjalani rehabilitasi atas putusan hakim di lembaga rahabilitasi atau rumah sakit milik Pemerintah (baca: Penegak hukum Medan, pelopor justice for health)
Kalau Lapas merehab anggarannya dari mana ? Apa lapas punya kemampuan sumberdaya untuk melakukan rehabilitasi ? Ini masalahnya.
Seandainya saya jadi Kepala Lapas atau Rutan, maka saya teliti dulu calon warga binaan sebelum saya masukan kedalam lapas atau rutan, apakah dia pengedar atau penyalahguna.
Gampang membedakannya, tinggal bertanya kepada calon warga binaannya, berapa jumlah barang bukti narkotika ketika ditangkap ? Dan untuk apa barang bukti tersebut ? Sudah dilakukan assesmen atau belum ? Kalau jumlah barang buktinya terbatas dan peruntukannya untuk dikonsumsi dan tidak ada hasil assesmen maka minta dilakukan assesmen untuk memastikan bahwa dia penyalahguna. Kalau dia penyalah guna tempatnya bukan dilapas atau rutan tetapi di rumah sakit atau di lembaga rehabilitasi.
Nah, kalau ternyata yang dihukum penjara itu adalah penyalahguna dan sekali lagi seandainya saya jadi Kepala Rutan atau Lapas, akan saya hubungi eksekutornya untuk menyampaikan bahwa penyalahguna tempatnya bukan dilapas dan saya tolak ditempatkan di lapas atau rutan, karena penyalah guna dijatuhi hukuman penjara bertentangan dengan tujuan dibuatnya UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika.
Hakim wajib dan berwenang menghukum rehabilitasi
Sejak Indonesia menggunakan UU narkotika buatan sendiri, dimulai dari UU no 9 tahun 1976 sampai UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika yang sekarang ini berlaku, hakim diberi kewenangan khusus yang sifatnya wajib "dapat" menghukum rehabilitasi perkara narkotika yang terbukti bersalah maupun tidak bersalah melakukan tindak penyalahgunaan narkotika.
Bentuk hukuman bagi penyalahguna baik sebagai pecandu atau korban penyalahgunaan narkotika berupa menjalani rehabilitasi.
Tapi sayang dalam praktik pengadilannya kewenangan hakim tersebut "tidak digunakan" untuk menghukum penyalah guna, karena terjadi kekeliruan hakim dalam proses pengadilan dan kekeliruan dalam penggunaan bentuk sanksi, kekeliruan tersebut karena hakim menggunakan bentuk hukuman berdasarkan KUHP dan menggunakan KUHAP untuk proses pengadilannya.
Padahal UU narkotika mengatur secara khusus tentang bentuk hukuman bagi penyalahguna dan proses pengadilannya.
Bentuk hukumannya diatur dalam pasal 103/2 dan proses pengadilan berdasarkan pasal 4c, pasal 127/2 dimana hakim wajib menggunakan kewenangan hakim berdasarkan pasal 103/1 terbukti berasalah atau tidak terbukti bersalah hakim wajib menjatuhkan hukuman rehabilitasi.

Pertanyaannya, siapa yang berhak mengoreksi proses pengadilan dan bentuk sanksi oleh majelis hakim dalam hal terjadi kekeliruhan tersebut? Kalau ternyata Mahkamah Agung tidak mengoreksi bahkan membenarkan. Dimana penyalahguna secara ilmiah dipastikan berpredikat sebagai pecandu atau korban penyalahgunaan narkotika melalui proses assesmen.