Hari Raya Nyepi

7 Ogoh-ogoh Jutaan Rupiah Dibakar di Lapangan Rampal Malang

EM STHA Santika Dharma Malang menghabiskan Rp 700 ribu untuk ogoh-ogoh yang dibuatnya.

Penulis: Sulvi Sofiana | Editor: Yuli
SURYA.co.id/Hayu Yudha Prabowo
Umat Hindu mengarak Ogoh-ogoh dalam rangkaian upacara keagamaan Taur Agung di Lapangan Rampal, Kota Malang, Jumat (20/3/2015). Upacara Taur Agung merupakan ritual sebelum tapa brata penyepian dengan sembahyangan dan diakhiri pembakaran ogoh-ogoh. 

SURYA.co.di | MALANG - Rangkaian perayaan Hari Raya Nyepi kembali diadakan oleh warga pemeluk Hindu di Malang Raya.

Setelah perayaan Jalanidhipuja di Pantai Balekambang, kali ini digelar upacara Tawur Kesange atau Ngrupuk di Lapangan Rampal, Jalan Panglima Sudirman, Kota Malang, Jumat (20/3/2015) pukul 12.00 WIB.

Seorang umat memakai kebaya kuning, Made Swastika (37) membawa sesajen yang akan dibawa pulang bersama tirta (air suci). Swastika sudah 14 tahun tinggal di Malang bersama anak dan suaminya.

“Nanti pakai tirta buat pecaru (bersihkan) rumah, untuk ngebak geni saya nanti di rumah saja. Biasanya banyak yang silaturrahmi ke rumah,” jelasnya.

Sejumlah umat juga nampak membawa bungkusan tirta untuk dibawa pulang ke rumah. Tahun 2014 Swastika mengaku absen dalam tawur kesangu di Malang karena usai Jalani dipuja ia berangkat ke Bali.

“Keluarga banyak yang di Bali, tapi meskipun di Malang, tidak mengurangi makna yang ad,” ungkap Swastika.

Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kota Malang, Putu Moda Arsana (67) menjelaskan bahwa Upacara Tawur Kesange ini biasa diadakan sehari sebelum nyepi dilakukan.

Acara ini sebagai bentuk penyucian diri dari roh jahat dan kekuatan-kekuatan negatif yang timbul akibat keserakahan dan kesombongan manusia, terutama untuk menjaga keharmonisan alam, dan diri manusia. “Sebetulnya nyepi itu universal, tidak harus di Bali. Intinya ada 4 hal yang harus kita lakukan,” ungkapnya.

Ia menambahkan bahwa keempat hal tersebut adalah Jalani dipuja, Tawur Kesange, Nyepi, dan Ngebak Geni. Dengan Tawur kesange, umat memberikan sesajen pada dewa dan bhutakala. Bhutakala merupakan makhluk kasat mata yang hidup disekitar manusia.

Dengan adanya sesajen pada butakala diharapkan nantinya saat umat melakukan nyepi, tidak ada gangguan dari butakala.
Pada saat nyepi diharapkan seluruh umat mengintropeksi diri untuk menemukan kedamaian dengan adanya perenungan yang kita dengarkan.

“Untuk acara setelah nyepi, di Malang kita pusatkan di Pura giri Arjuno di Batu, untuk setelahnya dilakukan kumpul bersama keluarga,” jelasnya.

Dalam acara ini juga dilakukan perayaan dengan menampilkan tarian cendrawasih dari mahasiswa dan juga umat lain yang bisa menarikannya. Dan pertunjukan 7 ogoh-ogoh dari sejumlah desa dan sekolah serta universitas di malang.

Ogoh-ogoh tersebut dibawa mengelilingi lapangan Rampal dan kemudian di bakar di dalam lapangan Rampal. “Pembakaran ini sebagai wujud simbolis menghilangkan angkara murka yang ada,” tutur Putu.

Ogoh-ogoh merupakan bentuk fisik bhuta kala yang digambarkan sebagai puaka atau raksasa yang besar dan menakutkan.

“Kebanyakan ogoh-ogoh dibuat menggunakan bambu dengan kertas semen. Paling mahal menggunakan stereoform, bisa habis di atas Rp 2 juta,” jelas warga Desa Sonosari, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang, Paimo (32).

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved