Eksklusif Berebut Ranjang Pasien
Pulang Rawat Inap, Malah Tinggalkan Surat Perjanjian Utang Dengan RS
Tentu saja Budi tidak bisa begitu saja membawa pulang ibunya. Ia harus menandatangani surat penjanjian utang sebesar Rp 5,6 juta.
SURYA.co.id | TULUNGAGUNG - Ny Sri Hartiyah memang sudah meninggalkan RSUD Dr Iskak Tulungagung.
Namun hingga kini, perempuan 60 tahun ini masih saja resah memikirkan rumah sakit tempat ia menjalani perawatan stroke tersebut.
Ia dan keluarga khawatir, petugas rumah sakit tiba-tiba datang untuk menagih biaya perawatan.
“Kami meninggalkan utang di sana,” jelas Budi Santoso (40), anak Ny Sri Hartiyah.
Budi lalu membuka kisah ibunya, yang kurang beruntung. Sudah mengurus dan memiliki kartus sehat dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), tapi justru gagal mendapatkan perawatan gratis.
Padahal, sebelumnya keluarga ini termasuk pasien perawatan gratis melalui Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), sebuah layanan gratis untuk keluarga miskin (gakin).
Menurut Budi, ibunya terserang stroke 28 Desember 2014 lalu. Ia kemudian membawanya ke RSUD Dr Iskak.
Budi mengira ibunya bisa mendapatkan pengobatan gratis seperti pengalaman berobat menggunakan fasilitas Jamkesmas sebelumnya.
“Dulu pegang (kartu) Jamkesmas. Tapi sekarang ganti BPJS. Waktu masih Jamkesmas, ibu masuk keluarga miskin dan penerima (Jamkesmas). Anehnya, saat berganti BPPJS, ibu kok tidak masuk,” tutur Budi.
Petugas RSUD Dr Iskak kemudian menyarankan Budi mengurus kartu BPJS agar ibunya bisa mendapatkan layanan gratis.
Hari itu juga, Budi datang ke kantor BPJS untuk mendaftarkan ibunya. Maksud hati ingin mendaftarkan ibunya sebagai peserta BPJS kelompok penerima bantuan iuran (PBI).
Ini adalah kelompok peserta dari gakin, yang preminya dibayar negara atau pemerintah daerah (pemda).
BPJS PBI ini merupakan pengalihan dari pasien gakin yang dulu dicover Jamkesmas atau Jamkesda.
Tapi Ny Sri tidak bisa masuk kelompok BPJS PBI. Budi kemudian mendaftarkan ibunya sebagai peserta BPJS-Mandiri. Premi asuransi harus dibayar sendiri.
“Waktu yang terpikir, yang penting bisa segera dapat kartu BPJS karena sudah ditunggu pihak rumah sakit,” tuturnya.
Begitu kartu BPJS tercetak, tanggal 31 Desember 2014, Budi cepat-cepat membawanya ke RSUD Dr Iskak, tempat ibunya dirawat.
Ia hanya bisa melongo ketika petugas RSUD menjelaskan, kartu yang ditunjukkannya itu belum bisa dipakai.
“Kartu BPJS itu baru diaktifkan tujuh hari setelah diterbitkan,” tuturnya.
Budi sempat bingung menerima opsi yang diberikan pihak rumah sakit.
Opsi pertama ibunya dirawat sebagai pasien BPJS . Jika opsi ini yang dipilih, Budi harus menunggu sepakan sampai kartunya aktif.
Konsekuensinya, ia harus membawa pulang ibunya lebih dulu, dan baru sepekan kemudian didaftarkan lagi dengan menggunakan kartu BPJS.
“Itu kan tidak mungkin. Kondisi ibu sudah harus ditangani. Kalau harus menunggu seminggu, bisa-bisa tidak tertolong,” keluhnya.
Budi dengan berat hati, akhirnya memilih opsi kedua. Ibunya masuk dengan status pasien umum. Harus menanggung sendiri semua biayanya.
“Saya sempat ngotot. Minta untuk sementara jadi pasien umum, terus nanti di tengah jalan menjadi pasien BPJS. Pihak rumah sakit tidak berani. Prosedur dari BPJS seperti itu. Pasien yang beralih status dari umum ke BPJS harus pulang dulu, terus mendaftar lagi. Bisa sengsara?” tambahnya.
Meski tidak mengantongi uang, Budi nekat membiarkan ibunya sebagai pasien umum hingga dinyatakan bisa pulang dan rawat jalan, pada 8 Desember.
Total biaya sebesar Rp 7,1 juta. Budi hanya bisa membayar Rp 1,5 juta.
“Kami berterima kasih, rumah sakit memperbolehkan kami pulang. Kami dipersilakan mengangsur kekurangannya,” tuturnya.
Pihak rumah sakit sebenarnya meminta Budi melunasi tarif obat Rp 3.6 juta saja dulu. Sedang biaya kamar dan tenaga medis menyusul. “Tapi uang ada hanya itu (Rp 1,5 juta),” ujarnya.
Tentu saja Budi tidak bisa begitu saja membawa pulang ibunya. Ia harus menandatangani surat penjanjian utang di RSUD Dr Iskak sebesar Rp 5,6 juta.
“Jumlah ini sebenarnya sudah diturunkan. Rumah sakit memberikan potongan dan keringanan biaya layanan. Tapi untuk biaya obat tidak bisa (diturunkan),” katanya.
Budi belum tahu, kapan bisa melunasi utang itu. Satu-satunya barang berharga yang dimiliki adalah sepeda motor. Padahal motor itu setiap hari digunakan keliling jualan susu kedelai. (day/ben/idl)
Baca selengkapnya di Harian Surya edisi besok
LIKE Facebook Surya - http://facebook.com/SURYAonline
FOLLOW Twitter Surya - http://twitter.com/portalSURYA