Berita Viral

Progres Gebrakan Menkeu Purbaya Guyur Rp 200 T ke 6 Bank Nasional, Kini Malah Tambah Rp 76 Triliun

Menkeu Purbaya kembali melakukan manuver besar dalam pengelolaan likuiditas perbankan. Setela guyur Rp 200 Triliun, kini tambah lagi.

IST/tribunnews
GEBRAKAN MENKEU PURBAYA - Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa. Setelah Guyur Rp 200 T ke 6 Bank Nasional, Kini Malah Tambah Rp 76 Triliun. 
Ringkasan Berita:
  • Pemerintah memindahkan Rp 200 triliun dari BI ke bank Himbara untuk memperkuat likuiditas dan menurunkan cost of fund.
  • Ekonom menilai kebijakan hanya efektif jika sektor riil benar-benar membutuhkan kredit.
  • Ada risiko dana mengendap, margin bank tertekan, hingga potensi pelemahan rupiah jika tata kelola buruk.
  • Pemerintah kembali menambah Rp 76 triliun meski menuai kritik, untuk mendorong pemulihan ekonomi jangka pendek.

 

SURYA.co.id - Pemerintah kembali melakukan manuver besar dalam pengelolaan likuiditas perbankan.

Melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 276 Tahun 2025, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa resmi memindahkan dana pemerintah senilai Rp 200 triliun dari Bank Indonesia (BI) ke lima bank anggota Himpunan Bank Milik Negara (Himbara).

Penempatan dana jumbo ini merupakan strategi untuk menurunkan biaya dana (cost of fund) sehingga bank bisa menyalurkan kredit lebih agresif ke sektor riil.

Dana tersebut didistribusikan ke BNI, BRI, Bank Mandiri, BTN, dan Bank Syariah Indonesia (BSI).

Rinciannya: Bank Mandiri Rp 55 triliun, BRI Rp 55 triliun, BNI Rp 55 triliun, BTN Rp 25 triliun, dan BSI Rp 10 triliun.

Pemerintah berharap tambahan likuiditas ini menjadi pemantik percepatan ekonomi di tengah lemahnya permintaan kredit.

Namun, efektivitas kebijakan ini masih memunculkan diskusi.

Menurut Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, injeksi likuiditas hanya akan benar-benar bekerja jika diikuti permintaan dari dunia usaha.

Tanpa kebutuhan nyata dari sektor riil, kelebihan likuiditas justru bisa mengendap di perbankan.

Ia mengingatkan, "Kondisi ini malah berisiko menaikkan biaya dana dan menekan margin perbankan," ujarnya kepada Kompas.com, Sabtu (13/9/2025).

Selain itu, Josua menilai stabilitas kepercayaan pasar perlu dijaga.

Jika tata kelola penempatan dana tidak solid dan komunikasi kebijakan tidak jelas, investor asing berpotensi melepas aset domestik sehingga memberi tekanan pada nilai tukar rupiah.

Pandangan serupa disampaikan Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira.

Ia menilai ada risiko salah sasaran apabila bank terlalu longgar dalam menyalurkan kredit, terutama pada sektor yang belum matang atau memiliki potensi gagal tinggi.

Bhima menyebut beberapa contoh, seperti program makan bergizi gratis (MBG) dan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih, yang menurutnya masih memiliki serapan rendah dan risiko besar.

Meski menuai pro dan kontra, pemerintah tetap melanjutkan strategi penempatan dana.

Pada 10 November 2025, Purbaya kembali menambah suplai likuiditas sebesar Rp 76 triliun. 

Tambahan ini dibagikan kepada Bank Mandiri, BRI, BNI (masing-masing menerima Rp 25 triliun) serta Bank Jakarta yang memperoleh Rp 1 triliun.

Melansir dari Kompas.com, menurut Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kemenkeu, Febrio Kacaribu, kebijakan ini adalah bagian dari upaya pemerintah mempercepat pemulihan ekonomi jangka pendek sekaligus memacu penyaluran kredit produktif.

Data per 22 Oktober 2025 menunjukkan bahwa sekitar lima minggu setelah penempatan dana, perbankan telah menyalurkan 85 persen dari total dana, atau sekitar Rp 167,6 triliun.

Tingginya penyerapan tersebut terjadi karena dana pemerintah dipatok dengan bunga yang relatif rendah (3,8 persen), atau sekitar 80 persen dari suku bunga kebijakan BI, menjadikannya sumber pendanaan yang jauh lebih murah bagi bank.

Gebrakan Menkeu Purbaya Guyur Rp 200 Triliun

Sebelumnya, Menkeu Purbaya jelaskan dana Rp 200 triliun akan disalurkan ke perbankan untuk dorong ekonomi, dengan larangan tegas membeli Surat Utang Negara (SUN)

“Ini seperti Anda naruh deposito di bank, kira-kira gitu kasarnya. Nanti penyalurannya terserah bank, tetapi bukan untuk membeli SUN lagi,” jelasnya.

Purbaya juga meminta BI agar tidak menyerap dana tersebut sehingga uang benar-benar beredar di sistem ekonomi.

“Jadi, uangnya betul-betul ada dalam sistem perekonomian sehingga ekonominya bisa jalan,” tambah dia.

Purbaya menilai kebijakan ini aman dari inflasi, sebab pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih 5 persen jauh di bawah ambang batas.

“Kita masih jauh dari inflasi. Jadi kalau saya injek stimulus ke perekonomian, seharusnya tidak memicu kenaikan harga signifikan,” katanya.

Sejak krisis keuangan, Indonesia belum pernah mencatat pertumbuhan di atas 6,5 persen.

Artinya, ruang untuk mendorong ekonomi lebih cepat masih terbuka tanpa menimbulkan risiko inflasi berlebihan.

Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Purbaya mengungkapkan, dana Rp 200 triliun berasal dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) dan Sisa Lebih Pembayaran Anggaran (SiLPA) senilai Rp 425 triliun yang mengendap di rekening pemerintah di BI.

“Kalau uang tunai hanya diendapkan di bank sentral, maka tidak menggerakkan perekonomian. Besok saya taruh Rp 200 triliun ke sistem perbankan,” ujarnya.

Penempatan dana di perbankan akan memaksa bank menyalurkan kredit untuk memperoleh return yang lebih tinggi dari biaya (cost) dana.

“Di situlah mulai kredit tumbuh. Jadi saya memaksa mekanisme market berjalan dengan memberi senjata ke mereka,” jelas Purbaya.

Jika kebijakan ini terbukti berhasil menggerakkan ekonomi, Purbaya menyatakan strategi serupa akan terus diterapkan.

Pemerintah berharap aliran dana langsung ke masyarakat akan menstimulasi aktivitas ekonomi dan meningkatkan penyerapan kredit di sektor riil.

“Sistem finansial kita agak kering, makanya ekonominya melambat. Orang susah cari kerja dan lain-lain karena ada kesalahan kebijakan moneter dan fiskal sebelumnya,” tambahnya.

Kebijakan fiskal yang diambil Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa jelas menunjukkan arah baru dalam pengelolaan kas negara.

Penempatan dana pemerintah senilai Rp200 triliun di perbankan memang berpotensi menggerakkan roda ekonomi melalui tambahan likuiditas dan kucuran kredit. Namun, langkah ini ibarat pedang bermata dua.

Di satu sisi, ekspansi fiskal bisa mempercepat pertumbuhan dan memperkuat daya beli masyarakat, terlebih ketika dunia usaha tengah membutuhkan dukungan.

Tetapi di sisi lain, risiko yang dikhawatirkan para ekonom seperti Sekar Utami Setiastuti juga nyata: inflasi bisa meningkat, stabilitas perbankan bisa terguncang, bahkan kredibilitas fiskal jangka panjang terancam jika tidak dikelola dengan cermat.

Menariknya, perbandingan dengan pendekatan Sri Mulyani menyoroti kontras gaya kepemimpinan fiskal. Sri Mulyani selalu menekankan kehati-hatian, menjaga defisit, dan mengutamakan stabilitas jangka panjang.

Sementara Purbaya tampak lebih agresif, mencoba “mengguyur” likuiditas dan melihat hasilnya langsung di lapangan.

Di sinilah tantangan terbesar: menemukan titik keseimbangan antara keberanian mengambil risiko dan kehati-hatian menjaga fundamental.

Jika kebijakan ini sukses, Purbaya bisa mencatatkan prestasi sebagai Menkeu yang berani keluar dari pakem lama. Namun, jika salah langkah, konsekuensi yang muncul bisa jauh lebih berat ketimbang manfaat jangka pendek yang diharapkan.

>>>Update berita terkini di Googlenews Surya.co.id

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved