Berita Viral

Belajar Dari Kasus Ledakan di SMAN 72 Jakarta, Eks Deputi BNPT Wanti-wanti Orangtua dan Sekolah

Ledakan di SMAN 72 Jakarta bukan sekadar dentuman fisik, tapi juga alarm sosial tentang pentingnya empati dan perhatian bagi remaja.

Tribunnews/Irwan
LEDAKAN DI SMA - Petugas kepolisian berjaga di tempat kejadian perkara (TKP) ledakan di SMA Negeri 72 Jakarta, Jumat (7/11/2025). 
Ringkasan Berita:
  • Ledakan di SMAN 72 Jakarta melukai 55 orang dan diduga dilakukan siswa korban bullying.
  • Hamidin (eks Deputi BNPT) menegaskan pentingnya empati, ruang aman, dan solidaritas sosial.
  • Aksi pelaku dipandang sebagai manifestasi luka sosial, bukan serangan teror ideologis.

 

SURYA.co.id - Jakarta mendadak gempar setelah terjadi ledakan di area masjid SMAN 72 Jakarta pada Jumat, 7 November 2025.

Insiden itu melukai 55 orang dan menimbulkan trauma mendalam bagi warga sekolah dan masyarakat sekitar.

Polisi mengungkap, pelaku diduga seorang siswa kelas XII yang disebut-sebut menjadi korban perundungan.

Fakta ini mengguncang publik, bukan hanya karena kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan, tetapi juga karena mengungkap luka sosial yang lama diabaikan.

Mantan Deputi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Hamidin, menegaskan bahwa peristiwa di SMAN 72 Jakarta harus menjadi refleksi nasional.

“Ledakan di SMAN 72 adalah cermin bagi bangsa betapa pentingnya empati, ruang aman, dan solidaritas dalam kehidupan sehari-hari. Indonesia telah menyiapkan sistem keamanan dan program deradikalisasi yang diakui dunia. Namun mencegah tragedi berikutnya membutuhkan kesadaran kolektif bahwa anak-anak yang terluka di hati bisa menjadi bom waktu jika tidak ada yang mendengar dan menuntun mereka ke jalan yang benar,” ujar Hamidin, Sabtu (8/11/2025), melansir dari Tribunnews.

Menurutnya, tragedi ini menegaskan bahwa upaya melawan kekerasan tidak cukup dengan aparat dan undang-undang.

“Senjata paling kuat justru adalah perhatian, kasih, dan kemampuan mendengar,” lanjutnya.

“Luka yang dibiarkan diam bisa meledak dengan cara paling tragis. Anak-anak perlu merasa aman tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara emosional dan sosial,” tegasnya lagi.

Bagi Hamidin, dentuman di sekolah itu bukan sekadar suara ledakan, melainkan simbol pecahnya luka sosial yang terpendam lama.

Siswa yang tertutup, pendiam, dan merasa terasing bisa memendam kemarahan yang tak tersalurkan. Ketika rasa sakit itu tak ditangani, ia bisa berubah menjadi tindakan ekstrem.

“Bullying, meski kerap dianggap sepele, punya dampak psikologis yang luar biasa. Korban kehilangan harga diri, merasa tak berarti, bahkan bisa menyimpan amarah yang akhirnya meledak,” kata Hamidin.

Baca juga: Kehidupan Terduga Pelaku Ledakan SMAN 72 Jakarta Diungkap Tetangga, Ini Profesi Orangtuanya

Selain dugaan kekerasan sosial, muncul pula spekulasi bahwa tindakan itu terinspirasi narasi ekstrem di dunia maya.

Era digital memungkinkan seseorang mengalami proses radikalisasi tanpa harus bergabung dalam jaringan tertentu.

Namun, Hamidin menilai kemungkinan itu kecil karena program kontra-radikalisasi di Indonesia telah berjalan efektif.

“Program rehabilitasi narapidana terorisme, pemberdayaan mantan pelaku, serta pendekatan sosial-ekonomi telah menjadikan Indonesia salah satu negara dengan strategi penanganan ekstremisme paling komprehensif di dunia,” ujarnya.

Menurutnya, keberhasilan Indonesia justru terletak pada kombinasi pendekatan hukum dan kemanusiaan.

Aparat tidak hanya menindak, tetapi juga menyembuhkan luka ideologis melalui pendidikan, bimbingan sosial, dan pemberdayaan ekonomi.

Ia menambahkan, hingga kini belum ada indikasi bahwa pelaku terkait dengan jaringan teror aktif, baik domestik maupun internasional.

Hamidin menilai tragedi SMAN 72 lebih tepat dipahami sebagai ledakan sosial akibat kehilangan ruang aman, bukan serangan ideologis.

Namun, konteks global tetap memiliki pengaruh. Konflik di Timur Tengah, krisis kemanusiaan, dan propaganda online dapat memperkuat emosi remaja yang tengah mencari jati diri.

“Tragedi ini mengingatkan kita bahwa keamanan bukan hanya soal menghadang bom atau menangkap pelaku, tetapi juga soal membangun ketahanan sosial sejak dini. Dunia pendidikan harus menjadi ruang aman, bukan sekadar tempat belajar,” jelasnya.

“Guru, konselor, dan teman sebaya perlu peka terhadap perubahan perilaku siswa. Program anti-bullying tidak boleh berhenti di slogan, tetapi menjadi budaya empati dan solidaritas.”

Keberhasilan Indonesia dalam menekan ekstremisme patut diapresiasi, tetapi Hamidin mengingatkan bahwa ketahanan sejati lahir dari keluarga, sekolah, dan komunitas yang peka terhadap tanda-tanda luka sosial.

Ledakan di SMAN 72, katanya, bukan hanya urusan hukum atau keamanan, melainkan juga peringatan moral bahwa ekstremisme dapat tumbuh dari kesepian, kekecewaan, dan rasa tidak didengar.

>>>Update berita terkini di Googlenews Surya.co.id

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved