Berita Viral

Apa Dampak Etanol di BBM? Pemerintah Bakal Campurkan 10 Persen, Pakar Ungkap Efeknya di Kendaraan

Pemerintah siapkan kebijakan E10, campuran bensin dan etanol 10 persen untuk kurangi emisi dan impor energi, tapi apa saja dampaknya?

Kolase Dok Pertamina dan Pixabay
BBM CAMPUR ETANOL - (kanan) Etanol. Pemerintah Bakal Campurkan 10 Persen ke dalma BBM. Simak dampaknya. 

SURYA.co.id - Pemerintah tengah mempersiapkan kebijakan baru di sektor energi, yakni penerapan bahan bakar campuran etanol 10 persen (E10).

Program ini merupakan bagian dari strategi nasional untuk menekan emisi karbon sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan bakar minyak.

Etanol sendiri merupakan senyawa alkohol yang dihasilkan dari bahan nabati seperti tebu, singkong, atau jagung.

Dengan komposisi 90 persen bensin dan 10 persen etanol, pemerintah berharap Indonesia bisa beralih menuju energi yang lebih bersih dan ramah lingkungan.

Presiden Prabowo Sudah Setuju Mandatori E10

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengonfirmasi bahwa Presiden Prabowo Subianto telah memberikan lampu hijau terhadap kebijakan ini.

“Kemarin malam sudah kami rapat dengan Bapak Presiden. Bapak Presiden sudah menyetujui untuk direncanakan mandatori 10 persen etanol (E10),” kata Bahlil di Jakarta, Selasa (7/10/2025), melansir dari Kompas.com.

Kebijakan ini disebut akan segera masuk tahap perencanaan teknis dan uji implementasi di berbagai daerah sebelum diterapkan secara nasional.

Pakar ITB Jelaskan Efek Positif E10 pada Kendaraan

Menurut Tri Yuswidjajanto Zaenuri, Guru Besar Institut Teknologi Bandung (ITB) yang juga pakar bahan bakar dan pelumas, penggunaan etanol pada BBM membawa dua dampak utama yang perlu diperhatikan.

"Pertama, pengaruh positifnya menaikkan oktan. Kedua, berkontribusi mengurangi emisi CO2,"
ujar Yuswidjajanto saat dihubungi Kompas.com, belum lama ini.

Ia menjelaskan bahwa karena etanol berasal dari tumbuhan, proses produksinya membantu menyerap karbon dioksida (CO2) dari udara.

Ketika diolah menjadi bahan bakar dan digunakan di kendaraan, etanol memang kembali menghasilkan CO2, namun dalam siklus yang lebih singkat.

"Jadi, siklusnya kan pendek ya. Maka itu, disebut sebagai carbon neutral, tidak menambahkan CO2 di udara," jelas Yuswidjajanto.

Tantangan Penggunaan E10 di Indonesia

Meski memiliki sisi positif, Yuswidjajanto juga menyoroti beberapa potensi risiko penggunaan etanol, terutama pada kendaraan lama.

"Kalau untuk kendaraan modern, itu hampir semua memastikan bahwa kendaraannya siap untuk menggunakan etanol sampai 20 persen. Tapi, di Indonesia kan tidak ada pembatasan usia pakai kendaraan," ujarnya.

Menurutnya, masih banyak kendaraan lama di jalan yang komponennya belum tentu compatible dengan etanol, seperti bagian seal dan selang bahan bakar.

"Misalnya, silnya, selang-selangnya, nanti jangan-jangan melar," tambahnya.

Iklim Lembab Jadi Faktor Risiko Tambahan

Kondisi iklim tropis dan kelembaban tinggi di Indonesia juga dapat memengaruhi kualitas bahan bakar campuran etanol.

Etanol memiliki sifat hidroskopis, yaitu mudah menyerap uap air dari udara.

"Kadar airnya di dalam bahan bakar itu, karena penjualannya mungkin yang lambat, akan naik terus. Jadi, kalau dasar airnya itu sampai lebih dari 1 persen, muncul air bebas. Air yang mengendap di dasar tangki," kata Yuswidjajanto.

Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa air yang mengendap bisa memicu penurunan kualitas bahan bakar.

"Kalau ada air bebas, etanol itu lebih suka bereaksi dengan air. Jadi, etanolnya ikut turun. Kalau etanolnya ikut turun, berarti RON-nya akan turun," ujarnya menambahkan.

Kebijakan mandatori E10 merupakan langkah penting menuju transisi energi hijau di Indonesia.

Namun, penerapannya memerlukan kesiapan teknis, edukasi publik, serta pengawasan mutu bahan bakar agar tidak merugikan pengguna kendaraan.

Jika dikelola dengan baik, E10 bisa menjadi tonggak awal bagi Indonesia dalam memanfaatkan bioenergi berbasis sumber daya lokal, sekaligus memperkuat ketahanan energi nasional.

Kebijakan pemerintah untuk menerapkan bahan bakar campuran etanol 10 persen (E10) pada dasarnya menunjukkan keseriusan dalam menekan emisi karbon dan memperkuat ketahanan energi nasional. Langkah ini sejalan dengan tren global menuju energi bersih dan pemanfaatan sumber daya alam terbarukan.

Namun, kebijakan ini juga tidak lepas dari sejumlah tantangan yang perlu dikaji dengan hati-hati. Dari sisi teknis, kesiapan infrastruktur distribusi dan kompatibilitas kendaraan di Indonesia masih menjadi pekerjaan rumah besar.

Seperti disampaikan pakar dari ITB, kendaraan lama yang belum didesain untuk bahan bakar berbasis etanol bisa menghadapi risiko kerusakan komponen jika tidak diantisipasi sejak awal.

Selain itu, kondisi iklim lembab di Indonesia menuntut sistem penyimpanan dan penyaluran bahan bakar yang lebih ketat agar tidak terjadi penurunan kualitas BBM akibat kadar air yang tinggi.

Dari sisi ekonomi, penerapan E10 berpotensi membuka peluang baru di sektor pertanian dan industri bioenergi, terutama bagi daerah penghasil tebu dan singkong.

Namun, pengembangannya harus tetap memperhatikan keseimbangan pangan dan energi agar tidak menimbulkan konflik kebutuhan bahan baku.

Secara keseluruhan, kebijakan E10 bisa menjadi langkah maju menuju masa depan energi yang lebih hijau, asalkan dijalankan dengan perencanaan matang, edukasi publik yang memadai, serta dukungan lintas sektor antara pemerintah, industri otomotif, dan masyarakat.

>>>Update berita terkini di Googlenews Surya.co.id

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved