Pelaku Thrifting Surabaya Bersuara

Pakar Ekonomi Unair Prof Rossanto: Larangan Impor Pakaian Bekas Langkah Tepat Jaga Industri Tekstil

Rencana pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk kebijakan pelarangan impor pakaian bekas (thrifting) menuai beragam tanggapan.

Penulis: Fikri Firmansyah | Editor: irwan sy
IST/Dok Pribadi
LARANGAN IMPOR PAKAIAN BEKAS - Pakar Ekonomi sekaligus Guru Besar Ekonomi dalam Bidang Ilmu Ekonomi Internasional pada FEB Unair Surabaya, Prof Dr Rossanto Dwi Handoyo SE MSi PhD. Rossanto menilai langkah pemerintah soal kebijakan pelarangan impor pakaian bekas (thrifting) tersebut sudah tepat dan berorientasi pada kepentingan jangka panjang perekonomian nasional. 
Ringkasan Berita:
  • Pakar Unair dukung larangan impor thrifting untuk lindungi industri tekstil domestik.
  • Kepentingan nasional (pajak/kerja) diutamakan dibanding pedagang kecil. Risiko kesehatan juga disorot.
  • Sistem HS yang sama sulitkan pengawasan Bea Cukai terhadap kualitas barang impor bekas.
  • Solusi: Dukungan subsidi produsen lokal & edukasi pedagang beralih ke produk baru/bekas domestik.

 

SURYA.co.id, SURABAYA – Rencana pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk kebijakan pelarangan impor pakaian bekas (thrifting) menuai beragam tanggapan.

Di satu sisi, kebijakan ini dianggap dapat melindungi industri tekstil dalam negeri yang tengah tertekan, namun di sisi lain, pedagang kecil dan pelaku usaha thrifting khawatir akan kehilangan mata pencaharian.

Baca juga: Minta Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa Lebih Selektif, Pengusaha Thrifting Surabaya: Bukan Melarang Total

Menanggapi hal ini, Pakar Ekonomi sekaligus Guru Besar Ekonomi dalam Bidang Ilmu Ekonomi Internasional pada FEB Unair Surabaya, Prof Dr Rossanto Dwi Handoyo SE MSi PhD, menilai langkah pemerintah tersebut sudah tepat dan berorientasi pada kepentingan jangka panjang perekonomian nasional.

“Kalau saya lihat, Kementerian Keuangan menganggap arus masuk barang impor pakaian bekas ini sudah berlebihan, sehingga mengancam industri domestik, terutama tekstil dan garmen yang notabene padat karya,” ujar Rossanto kepada SURYA.co.id, Sabtu (15/11/25).

Menurutnya, banyak pelaku industri tekstil di dalam negeri kini terpaksa menutup usahanya karena tak mampu bersaing dengan produk impor, termasuk pakaian bekas yang dijual dengan harga jauh lebih murah.

“Kalau dibiarkan terus-menerus, pemain industri lokal akan kalah bersaing. Akibatnya, industri tutup, pengangguran meningkat, dan akhirnya masyarakat lebih memilih jadi pedagang ketimbang produsen,” tegasnya.

Industri Padat Karya Butuh Perlindungan

Rossanto menjelaskan, industri tekstil termasuk sektor yang sangat padat karya dan berperan besar dalam penyerapan tenaga kerja.

Karena itu, ia menilai wajar bila pemerintah mengambil langkah safeguard measure, kebijakan pelindungan sepihak demi menjaga industri strategis nasional.

“Negara punya kewajiban melindungi industri padat karya agar tetap hidup. Jika tidak, yang rugi bukan hanya industri, tapi juga penerimaan pajak dan kesejahteraan masyarakat luas,” katanya.

Ia juga menyoroti persoalan teknis di lapangan. Berdasarkan sistem Harmonized System (HS), di mana semua pakaian bekas, baik yang berkualitas tinggi maupun rendah), tercatat dalam kode barang yang sama.

Akibatnya, sulit bagi Bea Cukai untuk membedakan produk berdasarkan kualitas.

“Ini menyebabkan pengawasan sulit dilakukan. Barang berkualitas rendah bisa saja diklaim sebagai barang bagus, sehingga rawan penyelundupan atau pengelabuhan,” jelasnya.

Soal Pedagang Kecil: Ada Dampak, Tapi Kepentingan Nasional Lebih Besar

Meski mengakui bahwa kebijakan pelarangan impor pakaian bekas akan berdampak bagi pelaku usaha thrifting skala kecil, Rossanto menegaskan bahwa kepentingan nasional tetap harus diutamakan.

“Memang benar, pedagang kecil akan terkena imbas. Tapi kita harus menimbang antara benefit dan cost. Ada keuntungan kecil bagi pedagang, tapi kerugian besar bagi negara, seperti hilangnya pajak industri dan kesempatan kerja,” paparnya.

Selain itu, ia mengingatkan bahwa sebagian besar barang thrifting impor masuk secara ilegal dan tidak melalui proses uji kesehatan.

“Barang-barang ini masuk dalam sistem karungan, tanpa sertifikat kesehatan. Jadi risiko penyakit juga bisa muncul. Ini bukan hanya soal ekonomi, tapi juga kesehatan publik,” tegasnya.

Solusi: Transisi dan Dukungan bagi Industri Lokal

Sebagai solusi transisi, Rossanto menyarankan agar pemerintah memberi dukungan kepada industri tekstil dalam negeri, misalnya melalui subsidi atau pembebasan pajak, agar mampu bersaing dengan produk impor baru.

“Kalau barang dari luar 10 persen lebih murah, ya pemerintah bisa beri subsidi 10 persen bagi produsen lokal. Ini bentuk keberpihakan kepada industri kita,” jelasnya.

Ia juga menilai, kebijakan ini seharusnya disertai edukasi dan pendampingan bagi pelaku usaha kecil, agar mereka bisa beralih menjual produk-produk lokal.

“Pemerintah bisa berkoordinasi dengan pelaku industri dalam negeri dan memperkenalkan produk distro atau fesyen lokal yang kompetitif. Pedagang thrifting harus diarahkan agar menjual produk baru buatan Indonesia, bukan barang impor bekas,” ujarnya.

Dorongan untuk Manfaatkan Peluang Pasar Domestik

Menariknya, Rossanto menilai masih ada peluang besar di sektor fesyen lokal jika industri dalam negeri mampu membaca momentum ini.

“Sekarang kompetitor utama sudah tidak ada. Saatnya produk lokal bangkit. Kalau dulu sulit bergerak karena dibanjiri barang bekas impor, kini medan permainannya sudah sama,” jelasnya.

Ia menambahkan, jika masyarakat tetap ingin berbisnis barang bekas, maka sebaiknya memanfaatkan barang-barang bekas dari pasar domestik sendiri.

“Kalau barang bekas dari dalam negeri, tidak masalah. Karena itu bagian dari sirkulasi internal, bukan impor. Tapi tradisi jual beli pakaian bekas di Indonesia masih belum lazim,” katanya.

Lindungi Industri Kita, Bukan Sampah dari Luar

Menutup pandangannya, Rossanto menegaskan bahwa larangan impor pakaian bekas tidak akan menimbulkan masalah internasional, karena barang-barang seperti itu tidak termasuk dalam kesepakatan perdagangan bebas (FTA).

“Ini bukan barang yang diatur dalam perjanjian perdagangan bebas ASEAN atau ASEAN-China FTA. Jadi kita tidak perlu khawatir akan ada protes dari luar negeri,” tegasnya.

Ia pun berpesan agar pemerintah tetap menjaga keseimbangan antara kepentingan industri dan kesejahteraan pelaku usaha kecil.

“Pedagang thrifting perlu diarahkan, bukan ditinggalkan. Tapi kepentingan industri nasional harus menjadi prioritas. Kita harus melindungi pasar domestik dari serbuan produk rusak dan sampah impor,” tutupnya.

Sumber: Surya
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved