Oleh:
Dr Muhammad Fadeli
Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Fisip Ubhara Surabaya
Keterlibatan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dalam program nasional penanaman jagung serentak kembali menjadi sorotan publik.
Di berbagai wilayah, anggota Polri terlihat ikut turun ke lahan pertanian, menanam jagung dalam rangka mendukung target swasembada pangan nasional.
Langkah ini menjadi bagian dari agenda besar pemerintahan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka dalam memperkuat ketahanan pangan Indonesia.
Namun, langkah tersebut tidak lepas dari kritik.
Banyak pihak mempertanyakan relevansi tugas pokok Polri dengan kegiatan pertanian.
Kritik ini cukup beralasan, mengingat Polri secara yuridis memiliki fungsi utama yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat.
Di bawah pemerintahan baru, ketahanan pangan menjadi isu strategis yang menuntut keterlibatan seluruh elemen negara.
Prabowo Subianto saat menjadi Menteri Pertahanan dalam berbagai kesempatan menegaskan bahwa Indonesia tidak boleh bergantung pada impor pangan, terutama jagung dan beras.
Pemerintah kemudian membagi peran TNI membantu produksi padi, sementara Polri didorong mendukung penanaman jagung.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang Januari–November 2024 Indonesia masih mengimpor 1,3 juta ton jagung, sebagian besar untuk kebutuhan pakan ternak.
Impor jagung ini bernilai ratusan juta dolar, dan menjadi tantangan serius bagi cita-cita kemandirian pangan nasional.
Dalam konteks inilah, keterlibatan Polri dapat dilihat sebagai bentuk dukungan institusional terhadap program strategis pemerintah, bukan sebagai pengalihan fungsi utama Polri.