Berita Surabaya

Bergerak Mendobrak Batas : Perjuangan Tutus Setiawan Membela Hak Tunanetra Lewat Jurnalisme

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Tutus Setiawan (kiri) dan Hanan Abdullah. Keduanya adalah pendiri sekaligus awak Radio Braille Surabaya (RBS).

Pelatihan-pelatihan yang diberikan, di antaranya teknik pernafasan ala penyiar radio, teknik wawancara, teknik pengambilan gambar menggunakan perangkat handphone, dan lain sebagainya. 

Di awal-awal pelatihan yang berlangsung sekali sepekan, nama Radio Braille Surabaya belum muncul. Nama itu baru disepakati di November 2022 ketika mereka mulai menyepakati untuk meluncurkan media alternatif. 

"Meski format konten yang disajikan adalah video, namun kami beri nama Radio Braille Surabaya. Alasannya, bagi tunanetra, satu-satunya yang mereka bisa konsumsi adalah audionya. Sehingga, bagi kami, video pun sama halnya dengan radio," tuturnya. 

"Sedangkan kata Braille kami pakai untuk menunjukkan representasi tunanetra. Sementara Surabaya, sudah jelas itu menunjuk pada kenyataan bahwa media ini dilahirkan dan beroperasi di Surabaya," imbuhnya. 

Terkait format video, Tutus menganggap bahwa ini adalah format terbaik yang dapat menjangkau audience Awas atau audience non-tunanetra. 

"Kami ingin konten kami ini tak hanya dinikmati oleh tunanetra. Tetapi juga dapat dinikmati oleh masyarakat Awas. Sehingga mereka memiliki kesadaran untuk turut memperjuangkan hak-hak disabilitas," katanya. 

Setelah RBS diluncurkan pada 3 Desember 2022, mereka pun mulai memproduksi konten. Dari 4 awak RBS, hanya Sugi Hermanto yang masih memungkinkan untuk menjadi juru kamera sekaligus editor video. 

Sebab, dialah satu-satunya di RBS yang kategori ketunanetraannya adalah low vision. Dalam artian, dia masih bisa menangkap visual meski samar-samar. Dengan kemampuan itu Sugi masih bisa melihat apakah komposisi sebuah visual sudah pas atau belum.

"Selebihnya, kami bertiga (Tutus, Atung, dan Hanan) menjadi host atau reporter. Dalam video, kami berbicara panjang lebar karena sasaran audience kami juga tunanetra. Jadi, dengan kami berbicara banyak, mereka bisa memahami apa isi konten kami," lanjutnya. 

Strategi ini rupanya berhasil membawa perubahan. Salah satunya, Pemkot Surabaya akhirnya menggratiskan ongkos naik Suroboyo Bus bagi disabilitas. Ini terjadi setelah RBS membuat reportase tentang aksesibilitas layanan Suroboyo Bus. 

Tutus menambahkan, dalam membangun RBS, dirinya harus melibatkan kelompok-kelompok lain yang bersedia menyumbang perhatian, tenaga, dan waktu. 

"Kami bersyukur karena mendapat dukungan dari teman-teman jurnalis, khususnya di AJI Surabaya, serta mahasiswa-mahasiswa yang bersedia menjadi volunteer. Kami juga baru saja mendapat dukungan dari Unesa dalam bentuk website. Rencananya dalam waktu dekat akan kami luncurkan," ujar Tutus. 

"Ini juga menunjukkan ke publik bahwa kelompok tunanetra pun sebenarnya bisa menjadi jurnalis," tegasnya.

Pantang Menyerah

Tutus Setiawan adalah pria kelahiran 6 September 1980 di kota Surabaya.

Halaman
1234

Berita Terkini