Berita Surabaya

Bergerak Mendobrak Batas : Perjuangan Tutus Setiawan Membela Hak Tunanetra Lewat Jurnalisme

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Tutus Setiawan (kiri) dan Hanan Abdullah. Keduanya adalah pendiri sekaligus awak Radio Braille Surabaya (RBS).

Bapak 3 anak ini tidak terlahir buta.  Dia kehilangan penglihatan saat usia 8 tahun akibat sebuah insiden di sekolah yang membuat saraf matanya terganggu. Meski sudah mendapat perawatan medis, bahkan dioperasi, namun pada akhirnya Tutus harus rela benar-benar kehilangan penglihatannya.

Bagi Tutus yang saat itu masih SD, perubahan kondisi ini membuat dunianya terguncang. Moralnya ambruk. Namun dengan dukungan orangtua dan keluarga, pada akhirnya dia kembali bangkit.

"Bagaimanapun, hidup harus terus berjalan," kata Tutus.

Singkat cerita, Tutus terus bersekolah. Setelah lulus dari SD dan SMP Luar Biasa, dia melanjutkan studi jenjang SMA di SMA Kemala Bhayangkari 2, Surabaya. Ini adalah sekolah umum. Di sekolah itu, Tutus adalah satu-satunya siswa tunanetra.

Di sekolah inilah Tutus membuat pembuktian. Dari yang semula diragukan karena tunanetra, dia malah tampil sebagai salah satu murid dengan kemampuan akademik yang menonjol. Dari situ, dia mendapatkan beasiswa hingga lulus SMA.

Tutus tak puas hanya bersekolah hingga SMA. Dia pun melanjutkan studi sarjana di jurusan Pendidikan Luar Biasa Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Bahkan, dia kini juga telah mengantongi ijazah magister dari kampus tersebut.

Pada 2003, bersama beberapa rekannya, Tutus yang sehari-hari menjadi guru di SMPLB-A dan SMALB-A YPAB Kota Surabaya, mendirikan Lembaga Pemberdayaan Tunanetra (LPT).

Menggunakan wahana ini, Tutus dan rekan-rekannya berusaha mengadvokasi hak-hak tunanetra dan memperkuat kapasitas mereka.

"Selain advokasi hak tunanetra, LPT juga mengadakan berbagai jenis pelatihan untuk tunanetra," katanya.

Rupanya, kiprah Tutus Setiawan dalam memperjuangkan hak-hak disabilitas netra ini dilirik oleh PT Astra Internasional Tbk yang kemudian mengganjarnya dengan penghargaan SATU Indonesia Awards pada 2015.

"Tetapi penghargaan itu bukan tujuan utama. Sama seperti alasan kami melahirkan Radio Braille Surabaya, semua upaya ini adalah untuk terus memperjuangkan hak-hak disabilitas netra. Kalau media massa tidak memberi ruang bagi isu-isu disabilitas, maka sudah saatnya disabilitas yang bergerak membangun media sendiri," pungkasnya.

Inisiatif

Sekretaris Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, Hanaa Septiana mengatakan, meski AJI Surabaya dianggap membidani lahirnya Radio Braille Surabaya, namun sejatinya, justru AJI Surabaya yang belajar dari Tutus Setiawan dkk.

Menurut Hanaa, sebelum berkolaborasi dengan Radio Braille Surabaya, jurnalis-jurnalis anggota AJI Surabaya memang kerap kali dipercaya menjadi trainer untuk pelatihan-pelatihan jurnalistik. Bahkan, beberapa mendapat kepercayaan untuk mengajar di kampus sebagai dosen praktisi atau sebagai dosen lepas.

“Baru bersama RBS kami dipercaya untuk melatih kawan-kawan disabilitas netra. Tentu ini pengalaman pertama bagi sebagian besar dari kami. Jadi di Radio Braille Surabaya ini pula kami belajar untuk mengembangkan praktik jurnalisme yang inklusif,” kata Hanaa.

Halaman
1234

Berita Terkini