SURYA Kampus

Sosok Eifie Gadis Disabilitas Bisa Kuliah Gratis di UGM Berkat Hobi Lari, Ingin Wujudkan Impian Ayah

Eifie Julian Hikmah membuktikan bahwa keterbatasan fisik tak membuat impiannya pupus. Ini kisah lengkapnya

Penulis: Arum Puspita | Editor: Musahadah
Kolase UGM
ATLET - Eifie Julian Hikmah, yang diterima di Universitas Gadjah Mada (UGM) 

SURYA.CO.ID - Eifie Julian Hikmah membuktikan bahwa keterbatasan fisik tak membuat impiannya pupus. 

Sejak masih duduk di bangku sekolah dasar (SD), gadis kelahiran 23 Juli 2006 ini meraih peringkat pertama.

Mentalnya tumbuh dan terus menguat seiring waktu.

Ia tak pernah mendengarkan caci-maki dari orang lain.

“Dengan keadaan seperti ini, aku masih bisa beraktivitas, berprestasi, dan belajar dengan baik. Jadi, buat apa harus dengerin omongan orang?"

"Lebih baik percaya sama kemampuanku sendiri," katanya, dikutip SURYA.CO.ID dari laman UGM.

Terjun ke Lintasan Atletik

Suatu ketika, Eifie bertemu Karmani, penjual es krim keliling yang kemudian menjadi pelatih pertamanya di dunia atletik. 

Saat itu, ia mampir membeli jajan.

Alih-alih hanya menjajakan es, Pak Karmani justru menawarinya ikut latihan. 

“Ternyata sejak saya kelas 1 SD beliau sudah memperhatikan, tapi baru minta izin ke orang tua saat saya kelas 3,” cerita gadis 19 tahun ini.

Dunia atletik sebetulnya asing baginya.

Baca juga: Satu Siswa Sekolah Rakyat Jombang Mundur, Dinas Sosial Cari Penggantinya Sesuai Ini

Satu-satunya olahraga atletik yang ia tahu hanya lari.

Bahkan, saat mulai latihan pun, ia hanya mengenakan sepatu sekolah seadanya. 

“Ibu sempat khawatir dengan biaya, tapi ternyata tidak perlu beli seragam atau bayar iuran apa pun,” tambahnya.

Beberapa bulan berlatih, Eifie perdana ikut kompetisi.

Ia mendapat bantuan Rp200 ribu untuk membeli sepatu paku. 

Namun, harga di toko ternyata jauh lebih mahal. Ayahnya kala itu hanya memiliki tabungan Rp150 ribu, sementara sang ibu membawa Rp19 ribu. 

“Tunggu di sini dulu,” kata ayahnya sebelum pergi mencari tambahan.

Baca juga: Pencairan BSU 2025 di Kantor Pos Berakhir 6 Agustus, Cek di Pospay dan Segera Ambil agar Tak Hangus 

Entah bagaimana caranya, beliau kembali membawa sisa uang yang dibutuhkan.

Sepatu paku pertama Eifie akhirnya terbeli.

Hasilnya tak sia-sia.

Di kompetisi perdananya, Eifie meraih Juara 2 Kejuaraan Walikota Cup Surabaya se-Jawa Timur untuk nomor lari 200 meter. 

Sejak saat itu, ia semakin rajin berlatih, tiga kali seminggu di sela-sela kegiatan belajar. 

Dari lomba antarpelajar tingkat daerah hingga kejuaraan nasional, ia terus berlari. 

Tak hanya di lintasan 100, 200, atau 400 meter, ia juga menjajal lompat jauh dan tolak peluru.

Meski begitu, perjalanan tidak selalu mulus.

Eifie mengaku, tantangan terberat bukan hanya lawan tanding, tetapi dirinya sendiri.

Ia kerap merasa gugup jelang lomba. 

Meski sudah pemanasan, tubuhnya bisa tiba-tiba kaku saat start. Pernah, di kejuaraan provinsi, ia kehilangan fokus dan gagal mendengar aba-aba. 

“Pernah juga, sisa 50 meter, aku malah melambat. Harusnya bisa dapat perunggu, tapi tersalip, dan selisih waktunya cuma 0,0 detik. Nangis waktu itu,” kenangnya.

Ujian kian berat ketika ayahnya meninggal dunia, sebulan sebelum Pekan Paralimpiade Provinsi Jawa Timur 2024.

Saat itu, mentalnya belum pulih. Di ajang ini, ia tak mendapat emas. Eifie sempat khawatir gagal melangkah ke ajang nasional.

Terlebih, ini merupakan impian ayahnya.

“Dulu suka marah kalau ayah telat sedikit jemputnya, padahal ayah juga capek. Sekarang aku mikir, kenapa ayah nggak nunggu sampai aku ada di titik ini,” ucapnya sedikit bergetar.

Tekanan dan rasa kehilangan memberinya banyak pelajaran. Debutnya di Pekan Paralimpiade Nasional 2024 dilalui dengan susah payah. Dua nomor awal berakhir tanpa medali.

“Takut nggak bawa pulang apa-apa,” ujarnya mengingat momen itu. Syukurlah, di nomor 400 meter, ia bangkit dan menyabet perunggu.

“Kompetisi di Palembang (Pekan Paralimpik Pelajar Nasional 2023) juga berkesan buatku. Ternyata aku bisa lompat jauh dan malah bawa pulang emas dari sini,” katanya sambil tersenyum.

Meraih Asa Kuliah di Perguruan Tinggi

Sejak SMP, Eifie bertekad harus kuliah.

Harapan itu tidak datang tiba-tiba, melainkan tumbuh dari cerita almarhum ayahnya yang sempat menempuh pendidikan tinggi, tetapi harus terhenti di tengah jalan karena kendala biaya.

Keinginan untuk kuliah pun semakin menguat saat ayahnya berpulang.

Eifie merasa perlu menuntaskan mimpi sang ayah yang tertunda. Ia ingin menunjukkan bahwa ia bisa mengenyam pendidikan tinggi, bahkan di kampus terbaik.

Bagi anak kedua dari empat bersaudara ini, orang tuanya saling melengkapi.

Sang ayah merupakan sosok yang mengalir dan mendukung minat dan bakat anak-anaknya, termasuk saat Eifie mulai menekuni olahraga atletik.

Sementara ibunya hadir sebagai penyeimbang, yang sejak ia kecil selalu menekankan pentingnya pendidikan.

Satu hal yang selalu Ibunya ingatkan, “Sekolah nomor satu. Jadilah orang pintar, tapi kalau sudah pintar, ojo minteri uwong.”

Awal ketertarikannya pada Universitas Gadjah Mada bermula secara tak sengaja.

“Waktu itu lihat video PPSMB Palapa di media sosial. Aku langsung bilang mau kuliah di UGM, pakai almamater karung goni, dan nyanyi lagu PPSMB (Pionir saat ini),” kenangnya. Sejak saat itu, impian masuk UGM menjadi salah satu target pribadinya.

Namun, jalan menuju kampus impian penuh dengan rintangan. Ia sempat gagal di jalur SNBT, lalu kembali ditolak di UM UGM CBT.

Ketika pengumuman PBU tiba, Eifie tidak berani membukanya.

“Udah ketampar kalimat ‘maaf, belum diterima’ berkali-kali. Sebelum buka pengumuman, aku minta maaf ke Ibu kalau gagal lagi,” ceritanya.

Atas dorongan ibunya, ia pun membuka pengumuman. Dan kali ini, kabar baik datang. Ia diterima di Program Studi Akuntansi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM. “Langsung peluk Ibu. Nangis banget,” ucapnya haru.

Pilihan Akuntansi bukan asal ambil. Ketertarikannya pada pelajaran ini tumbuh sejak bersekolah di SMAN 2 Kediri, berkat cara mengajar gurunya yang menyenangkan.

Bersama teman kelasnya, ia kerap berebut maju ke papan tulis untuk menjawab soal.

Setelah sholat istikharah dan berbagai pertimbangan, ia mantap memilih jurusan ini. 

“Harapannya, nanti bisa jadi akuntan atau auditor di perusahaan yang menjanjikan atau melanjutkan karier sebagai paraatlet,” harapnya.

Kini, sebagai mahasiswa UGM yang diterima melalui jalur PBUTM, Eifie bersyukur bisa berkuliah tanpa harus membebani ibunya.

“Subsidi UKT 100 persen dari UGM sangat meringankan jalanku ke depan,” ucapnya penuh syukur.

Selain fokus kuliah, Eifie ingin aktif berorganisasi, ikut berbagai lomba, hingga menjajal program magang.

Dengan status sebagai mahasiswa UGM, ia ingin mengoptimalkan setiap peluang yang ada sebaik-baiknya.

Eifie juga bertekad untuk tidak meninggalkan dunia atletik.

Ia tetap akan berlatih tiga kali seminggu dengan meminta program latihan mandiri kepada pelatih. 

Ia sadar kini harus lebih pandai membagi waktu agar mimpi untuk bertanding di ajang internasional tidak berhenti sebagai angan-angan.

“Aku mau mecahin rekor pribadi dan ngalahin lawan-lawan yang selama ini susah dikalahkan,” tuturnya bersemangat.

Ketika ditanya pesan untuk anak muda lainnya, Eifie menekankan pentingnya menjadi seseorang yang berpendidikan.

Menurutnya, pendidikan membantu seseorang memiliki prinsip dan mampu mengambil keputusan dengan lebih bijak.

Semua itu bisa dimulai dengan menggali minat dan bakat, lalu mengembangkannya dari hal-hal sederhana di sekitar.

“Nggak usah dengerin omongan orang yang menjatuhkan. Semua punya waktunya masing-masing,” pungkasnya.

===

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam Whatsapp Channel Harian Surya. Melalui Channel Whatsapp ini, Harian Surya akan mengirimkan rekomendasi bacaan menarik Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Persebaya dari seluruh daerah di Jawa Timur.  

Klik di sini untuk untuk bergabung 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved