Perkuat Peran Dalam Pilkada, Bawaslu Jatim Sambut Baik Putusan MK

Bawaslu Jatim menyambut positif putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang memperkuat peran mereka dalam memutus pelanggaran administrasi Pilkada. 

|
Penulis: Yusron Naufal Putra | Editor: Cak Sur
SURYA.CO.ID/Yusron Naufal Putra
PUTUSAN MK - Komisioner Bawaslu Jatim Dewita Hayu Shinta saat ditemui di Surabaya, 2024. Dalam pernyataan terbaru, Sisin sapaan akrab Dewita Hayu Shinta, menyatakan jika Bawaslu Jatim menyambut positif putusan MK yang memperkuat peran mereka dalam memutus pelanggaran administrasi Pilkada. 

SURYA.CO.ID, SURABAYA — Badan Pengawas Pemilu Jawa Timur (Bawaslu Jatim) menyambut positif putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang memperkuat peran mereka dalam memutus pelanggaran administrasi Pilkada. 

Putusan dengan nomor 104/PUU-XXIII/2025 ini, dianggap bisa memberikan kepastian hukum. 

Melalui putusan tersebut, MK menyebut frasa 'rekomendasi' dalam Pasal 139 harus dimaknai sebagai 'putusan'. 

Sementara frasa 'memeriksa dan memutus' pada Pasal 140 Undang-undang Pilkada menjadi 'menindaklanjuti putusan'. Putusan ini dikeluarkan Rabu (30/7/2025).

"Putusan MK ini menjadi angin segar bagi penegakan hukum Pemilu/Pemilihan, karena memberikan kepastian hukum pada setiap hasil penanganan pelanggaran administrasi di Bawaslu," kata Komisioner Bawaslu Jatim Dewita Hayu Shinta atau Sisin saat menanggapi putusan ini, Kamis (31/7/2025). 

Dalam pertimbangannya, MK menyampaikan, bahwa penanganan pelanggaran administrasi berupa rekomendasi hanya akan bersifat formalitas prosedural. Sebab, yang dilakukan Bawaslu dianggap tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. 

MK memandang, demi mewujudkan pilkada yang berintegritas, diperlukan dasar hukum yang pasti. 

Rekomendasi yang dikeluarkan Bawaslu, nantinya harus dimaknai sebagai keputusan yang mengikat. 

Dengan demikian, rekomendasi yang dikeluarkan oleh Bawaslu terkait hasil pengawasan pemilu maupun pilkada, sudah merupakan keputusan yang mengikat. Sehingga tidak memerlukan lagi kajian dari Komisi Pemilihan Umum. 

Sebelumnya, dalam UU Pemilu, Bawaslu berwenang menyelesaikan pelanggaran administratif melalui ajudikasi, dengan putusan yang wajib ditindaklanjuti oleh KPU. 

Namun dalam UU Pilkada, Bawaslu hanya memberi rekomendasi yang kemudian diperiksa dan diputus oleh KPU.

MK menegaskan, bahwa posisi Pemilu dan Pilkada berada di rezim yang sama. Sehingga, MK harus menempatkan dan memposisikan penegakan hukum pelanggaran pemilu oleh Bawaslu memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Hal ini berlaku baik bagi penyelenggara maupun peserta pemilu.

Menurut Sisin, putusan MK tersebut juga positif, lantaran akan menghentikan perdebatan tentang tindaklanjut hasil penanganan pelanggaran administrasi di Bawaslu yang wajib ditindaklanjuti oleh jajaran KPU. 

Dengan demikian, putusan ini memperkuat kewenangan Bawaslu sebagai penegak keadilan Pemilu. 

"Putusan ini juga menegaskan standing point Mahkamah Konstitusi, bahwa tidak ada lagi pemisahan antara rezim Pemilu dan rezim Pilkada,” ungkap Koordinator Divisi Hukum dan Diklat Bawaslu Jatim ini. 

Meskipun demikian, Sisin tak menampik, bahwa putusan MK ini akan berdampak pada adanya perubahan regulasi tentang Pemilihan. Dengan perubahan klausul “rekomendasi” menjadi “putusan”, maka proses penanganan pelanggaran administrasi di Bawaslu semestinya juga perlu adanya perubahan. 

"Tentu ini menjadi pekerjaan rumah bagi para pembuat kebijakan," ujar Alumnus Universitas Brawijaya ini. 

Dalam sidang yang berlangsung di Gedung MK di Jakarta pada Rabu (30/7/2025) kemarin, putusan terbaru MK tentang kewenangan Bawaslu ini dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo

MK menegaskan, Bawaslu memiliki kewenangan untuk memutus pelanggaran administratif dalam Pilkada, bukan sekadar memberikan rekomendasi kepada KPU. 

Putusan ini secara mendasar mengubah pemaknaan norma dalam Pasal 139 dan Pasal 140 UU Nomor 1 Tahun 2015, yaitu UU tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 mengenai Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi UU, yang lazim dikenal sebagai UU Pilkada.

"Menyatakan kata 'rekomendasi' pada Pasal 139 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'putusan',” ujar Suhartoyo.

Sumber: Surya
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved