Putusan Pemisahan Pemilu Jadi Open Legal Policy, Legislator Ponorogo Menilai MK Langgar Konstitusi

Menurutnya, tugas pokok MK, adalah melakukan uji materi apakah sebuah UU bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak

Penulis: Pramita Kusumaningrum | Editor: Deddy Humana
istimewa
KEPUTUSAN MK - Legislator Partai Gerinda asal Ponorogo, Supriyanto memberikan keterangan tentang Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) 135/PUU-XXII/2024 yang mengatur skema pemisahan pemilu nasional dan daerah yang dianggap kontroversial. 

SURYA.CO.ID, PONOROGO - Tidak banyak politisi yang bersuara kritis setelah Mahkamah Konstitusi (MK) membuat putusan nomor 135/PUU-XXII/2024 pada 26 Juni 2025 yang mengatur pemisahan pemilu nasional dan pemilu daerah.

Tetapi ada juga yang mengkritisi putusan MK itu, salah satunya anggota DPRD Ponorogo, Supriyanto. Ia menilai putusan MK terkait skema pemisahan pemilu cukup problematik. 

“Problem pertama, putusan MK tersebut  berpotensi melanggar konstitusi,” ungkap legislator Gerindra ini, Minggu (6/7/2025).

Alasan Supriyanto, jeda waktu 2 sampai 2,5 tahun antara pelaksanaan pemilu nasional dengan pemilu lokal, mengakibatkan pemilihan anggota DPRD tidak dapat dilaksanakan setiap 5 tahun sekali.

“Sehingga tidak sesuai amanat pasal 22 E Undang Undang Dasar Tahun 1945," ujar Kang Pri - sapaan Supriyanto kepada wartawan.

Anggota DPR Dapil Jawa Timur 7 ini menjelaskan bahwa Pasal 22 E UUD 1945, secara tegas menyebutkan bahwa pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali, untuk memilih presiden, wakil presiden, DPR, DPD, dan DPRD. 

Problem kedua,  MK masuk dan mengambil kewenangan open legal policy (kebijakan hukum terbuka) yang merupakan kewenangan pembentuk UU, DPR dan pemerintah. 

“Pembentuk UU dapat merumuskan detail pengaturan undang undang secara lebih spesifik, selama tidak bertentangan dengan konstitusi. MK seharusnya bertindak sebagai Guardian of Constitution, pengawal konstitusi," terangnya.

Menurutnya, tugas pokok MK, adalah melakukan uji materi apakah sebuah UU bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak. MK tidak boleh menambah norma baru dalam UU. 

"Problem ketiga, MK cenderung tidak konsisten dari waktu ke waktu. Contoh terkait uji materi presidential threshold atau PT. Pada awalnya MK selalu menolak uji materi terkait PT.  MK berdalih bahwa PT merupakan open legal policy, namun akhirnya MK menghapuskan presidential Threshold," imbuhnya.

Kemudian contoh lain adalah Keputusan MK nomor 55/PUU-XVII/2019, terkait keserentakan pemilu. DPR dan pemerintah  sepakat mengadopsi sistem keserentakan pemilu yang disarankan MK, dan kemudian diterapkan pada pemilu 2024. 

Pemilu serentak 2024 selesai digelar, namun muncul putusan baru yaitu Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 tahun 2025 yang mengatur pemisahan pemilu nasional dan pemilu daerah.

Problem lainnya yaitu Keputusan MK terkait pemisahan pemilu nasional dan pemilu daerah, justru merusak siklus kepemimpinan, dan pelembagaan pemilu lima tahunan. 

“Sehingga kita semua berharap konsistensi dari MK untuk menjaga demokrasi di Indonesia," pungkasnya. ****

Sumber: Surya
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved