Sambut Muharram Lewat Festival Njaran di Candi Tegowangi, Hidupkan Warisan Budaya Lokal Kediri

Ia menargetkan kegiatan ini menyedot sedikitnya 1.500 pengunjung. Dan ia menyebut bahwa festival ini mengusung semangat persatuan.

Penulis: Isya Anshori | Editor: Deddy Humana
surya/isya anshori
PERTUNJUKKAN JARANAN - Penampilan peserta seni di festival Njaran yang digelar di area Candi Tegowangi Plemahan Kediri, Minggu (29/6/2025). Festival ini digelar sebagai bagian dari rangkaian peringatan bulan Muharram 1447 Hijriyah atau Suro. 

SURYA.CO.ID, KEDIRI - Peringatan 1 Muharram atau di tanah Jawa disebut Suro, dimeriahkan dengan berbagai kegiatan.

Di Kediri, seni jaranan menjadi salah satu kegiatan yang menarik antusiasme warga saat digelar di area Candi Tegowangi di Kecamatan Plemahan, Minggu (29/6/2025) pagi. 

Mereka menyaksikan Festival Seni Njaran atau jaranan yang digelar sebagai bagian dari rangkaian peringatan bulan Muharram 1447 Hijriyah atau Suro. 

Acara ini tidak hanya menyuguhkan pertunjukan seni khas Kediri, namun juga menjadi upaya  pelestarian budaya dan pengembangan pariwisata daerah.

Festival ini terselenggara berkat kolaborasi antara PT Raja Porang Nusantara, Pasukan Jaranan dan Reog (Pasjar) dengan Pemkab Kediri melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud). 

Camat Plemahan, Anto Riandoko yang mewakili Bupati Kediri, Hanindhito Himawan Pramana, secara resmi membuka kegiatan budaya tersebut. Menurutnya, Mas Dhito sangat mendukung kegiatan pelestarian seni tradisional seperti ini. 

"Sayangnya beliau berhalangan hadir karena ada kegiatan di luar daerah. Saya diminta mewakili beliau menyampaikan pesan agar kita semua terus menjaga dan mencintai budaya lokal," kata Anto.

Dalam sambutannya, Anto menekankan bahwa kesenian jaranan merupakan warisan budaya tak benda yang hidup dan berkembang sejak lama di tengah masyarakat Kediri

Seni yang memadukan unsur tari, musik, dan spiritualitas ini, masih digemari lintas generasi dan selalu tampil dalam berbagai momen sosial seperti hajatan, sedekah bumi, hingga festival budaya.

Tidak hanya itu, Festival Jaranan juga dimaknai sebagai penghormatan terhadap nilai-nilai sejarah. Lokasi acara yang dipusatkan di Candi Tegowangi bukan tanpa alasan. 

Situs bersejarah ini dipercaya sebagai tempat pendarmaan Bhre Matahun, yaitu tokoh penting dalam sejarah Majapahit dan disebut dalam Kitab Pararaton.

"Candi Tegowangi bukan sekadar bangunan kuno, tetapi saksi sejarah dan budaya leluhur. Sangat tepat jika festival budaya diselenggarakan di sini agar generasi muda lebih mengenal warisan sejarahnya," imbuh Anto.

Sementara ketua panitia acara, Ibnu Mufti menjelaskan bahwa festival ini merupakan bagian dari tiga kegiatan utama dalam rangka 1 Suro, yakni santunan anak yatim, festival jaranan, dan sedekah bumi. 

Ia menargetkan kegiatan ini dapat menyedot sedikitnya 1.500 pengunjung. Dan ia menyebut bahwa festival ini mengusung semangat persatuan. 

"Kami melibatkan sekitar 25 grup jaranan dari seluruh Kabupaten Kediri. Mereka hanya diberi waktu 15 menit untuk tampil, namun harus mampu memukau penonton dengan wirasa, wiraga, dan wirama yakni ekspresi, gerak, dan irama," ungkap Ibnu.

Lebih lanjut, Ibnu menyebut bahwa festival ini juga membuka ruang ekspresi bagi masyarakat desa. "Jangan salah, seni tidak hanya milik kota. Warga desa juga bisa berkarya, dan jaranan sangat cocok untuk generasi muda. Seni itu harus berkembang dan dikreasikan agar tetap hidup," jelasnya.

Festival ini mendapat sambutan positif dari masyarakat, terutama pecinta seni tradisi. Selain sebagai hiburan, kegiatan ini menjadi sarana edukasi budaya, memperkuat identitas lokal, serta menghidupkan kembali fungsi candi sebagai ruang interaksi sosial.

"Suka melihat pas menari bersama sambil mendengar trompet dari alunan jaranan ini," kata Dedi, salah satu peserta dari Tunglur Badas. ****

Sumber: Surya
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved