Covid-19 Kembali Merebak, Guru Besar Unair Soroti Mutasi Hepatitis B dan SARS-CoV-2

Perubahan genetik virus-virus ini memunculkan tantangan besar bagi dunia medis, terutama dalam hal deteksi, pengobatan, dan pencegahan.

Penulis: Sulvi Sofiana | Editor: Titis Jati Permata
Foto Istimewa Unair
PAKAR VIROLOGI - Prof Dr Juniastuti dr MKes SpMK Guru Besar Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga (UNAIR) saat pengukuhan guru besar di Aula Garuda Mukti, Kantor Manajemen, Kampus MERR-C Unair, Kamis (22/5/2025). Ia merupakan Guru Besar Bidang Ilmu Virologi Molekuler yang menyoroti mutasi virus hepatitis B (VHB) dan SARS-CoV-2. 

SURYA.CO.ID, SURABAYA - Kasus COVID-19 di beberapa negara Asia seperti Singapura, Thailand dan Hongkong, yang saat ini tengah mengalami tren kenaikan kasus.

Keseriusan kasus Covid ini sejalan dengan perhatian serius Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair), Prof. Dr. Juniastuti, dr., M.Kes., Sp.MK akan mutasi virus hepatitis B (VHB) dan SARS-CoV-2.

Prof Juniarti menegaskan, perubahan genetik virus-virus ini memunculkan tantangan besar bagi dunia medis, terutama dalam hal deteksi, pengobatan, dan pencegahan.

"Mutasi virus bukan sekadar perubahan genetik, tetapi bentuk adaptasi untuk bertahan hidup. Hal ini menyebabkan penyakit menjadi lebih mudah menular, sulit disembuhkan, bahkan bisa menghindari respons imun dan pengobatan yang ada," ujarnya, Jumat (23/5/2025)

Ia mengungkapkan bahwa Virus Hepatitis B (VHB) kini telah berkembang menjadi sepuluh genotipe dan lebih dari 40 subgenotipe di seluruh dunia.

Beberapa mutasi tertentu, seperti A1762T/G1764A dan G1896A, terbukti membuat virus lebih agresif hingga menyebabkan sirosis dan kanker hati.

Bahkan, mutasi pada bagian YMDD menjadi penyebab utama resistensi terhadap lamivudin, salah satu obat antivirus standar.

"Ketika virus bermutasi pada posisi YMDD, efek lamivudin sebagai terapi menjadi tidak lagi efektif. Ini menunjukkan pentingnya pemantauan mutasi dalam menentukan keberhasilan pengobatan," jelasnya.

Selain VHB, Prof. Juniastuti juga menyoroti evolusi cepat SARS-CoV-2 yang menyebabkan pandemi COVID-19.

Dalam kurun waktu lima tahun, telah muncul varian seperti Alpha, Beta, Delta, dan Omicron, yang masing-masing memiliki karakteristik berbeda.

"Varian Omicron jauh lebih mudah menular dibandingkan Delta, meski gejalanya lebih ringan. Namun, ini menjadi tantangan karena alat tes dan vaksin yang awalnya efektif, kini tidak lagi optimal," ungkapnya.

Ia menambahkan, vaksin booster yang ada belum cukup kuat melawan subvarian terbaru Omicron, sehingga diperlukan pengembangan vaksin generasi baru.

Prof. Juniastuti menegaskan, virus bisa terus berubah lewat mutasi.

Perubahan ini bisa berdampak pada cara virus menyebar, seberapa parah gejalanya, apakah pengobatan masih efektif, hingga apakah vaksin masih bisa melindungi.

Karena itu, penting untuk terus memantau dan mendeteksi varian virus agar bisa mengantisipasi kemungkinan terburuk dalam penyebaran penyakit.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved