Hikmah Ramadan 2025

Renungan Spiritual dan Sosial di Penghujung Ramadhan : Sudahkah Kita Menjadi Pribadi yang Fitri ?

Ciri pribadi yang Idul Fitri, adalah mereka yang diampuni dosa-dosanya oleh Allah, serta semakin meningkat ketaatannya kepada Allah setelah Ramadhan

Editor: Cak Sur
Istimewa
Dr H M Hasan Ubaidillah SHI, MSi 

Oleh : Dr H M Hasan Ubaidillah SHI, MSi

SURYA.CO.ID - Gema azan maghrib di penghujung Ramadhan 1446 Hijriah, menandai waktunya berbuka untuk yang terakhir, karena Ramadhan telah berakhir dan berganti dengan  masuknya bulan Syawal. 

Lantunan suara takbir saling bersahutan dari masjid-masjid, surau-surau, rumah bahkan di jalanan begitu terasa semarak dan gegap gempita dalam menyambut datangnya hari kemenangan yang telah ditunggu dan dinantikan,  setelah satu bulan penuh berjibaku berperang melawan hawa nafsu. 

Hilir mudik panitia zakat  mendatangi rumah-rumah fakir miskin dan asnaf yang tak lain untuk membagikan zakat fitrah, juga turut mewarnai kegiatan masyarakat sepanjang malam.

Pasar dan pusat perbelanjaan juga sangat ramai dikunjungi masyarakat, guna memenuhi kebutuhan lebaran mulai dari berbelanja keperluan dapur untuk memasak dan membuat hidangan yang serba lezat serta nikmat, hingga membeli berbagai macam pernak-pernik lebaran seperti jajanan khas lebaran, baju baru , sarung, celana dan kelengkapan lainnya.

Di sisi yang lain, ada sebagian orang yang menyepi di sudut-sudut masjid, terdengar lirih suara takbir keluar dari mulutnya. 

Sesekali mereka menyeka air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Hatinya bersedih seakan disayat belati karena tidak rela Ramadhan telah meninggalkannya. 

Walaupun dia menyadari Ramadhan pasti akan datang lagi pada tahun berikutnya, akan tetapi siapakah yang bisa menjamin bahwa tahun depan masih dapat bertemu kembali. 

Terbayang dalam pikirannya lintasan perjalanan Ramadhan yang baru saja dilaluinya, mulai dari hari pertama hingga akhir, lantas dia bertanya kepada dirinya apakah puasa dan amal ibadahnya selama Bulan Suci Ramadhan diterima oleh Allah SWT ataukah justru sebaliknya, sehingga tidak membekas sama sekali dalam catatan amal kebaikan yang ditulis dan dihimpun oleh malaikat Rakib.

Begitulah ragam ekspresi yang ada di masyarakat selaras dengan penghayatan spiritual dan sosial yang dilakukan hingga mentari tanggal 1 Syawal mulai menampakkan diri. 

Lautan manusia berduyun-duyun mendatangi masjid, bahkan memadati lapangan dan jalan-jalan yang digunakan sebagai tempat untuk melaksanakan Salat Iedul Fitri. 

Sebuah ritual akbar tahunan yang dilaksanakan secara gegap gempita, laksana deklarasi kemenangan setelah melakukan peperangan besar melawan hawa nafsu. 

Memang Rasulullah Muhammad SAW pernah bersabda pada waktu selesai memenangi perang badar dengan menegaskan, bahwasanya kita baru saja memenangkan peperangan (jihad) kecil untuk menghadapi peperangan yang besar, yaitu perang melawan hawa nafsu.

Sabda sang nabi menembus ke relung hati sanubari umatnya, sehingga hawa nafsu merupakan musuh utama yang harus diperangi dan ditaklukkan. 

Akan tetapi bukan perkara mudah untuk mengalahkan, apalagi menaklukkan hawa nafsu. Karena sejak awal manusia tercipta, firman suci Tuhan menegaskan demi jiwa dan penyempurnaan (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Q. S. al-Syams 7-10).

Demikianlah penetapan Allah SWT yang kemudian dipahami hambanya, bahwa hawa nafsu merupakan kecenderungan jiwa yang mendorong seseorang untuk memenuhi apa yang diinginkan dan selalu mengajak untuk menempuh jalan kefasikan dan kesesatan. 

Sang nabi pun mengingatkan umatnya melalui sabdanya yang memperingatkan, bahwa musuhmu yang paling berbahaya adalah hawa nafsu yang ada di antara lambungmu, lalu anakmu yang keluar dari tulang rusukmu, istrimu yang kamu gauli  dan sesuatu yang kamu miliki (HR. Al Baihaqi). 

Itulah perhiasan dunia yang membuat manusia terbuai, dengan keinginan untuk hidup kekal dan abadi sebagaimana yang dilukiskan oleh Ibnu Sina dalam Risalah al-Thayrnya. 

Dalam roman yang ditulis oleh Ibnu sina tersebut, dikisahkan ketika sekawanan burung tertangkap oleh pemburu dan dimasukkan kedalam sangkar yang indah serta dilengkapi dengan berbagai jenis makanan dan minuman yang digemari burung-burung tersebut, maka sekawanan burung itu menjadi terbiasa dan akhirnya jadi tidak tahu lagi  bahwa di luar sangkarnya ada dunia yang lebih luas dan lebih indah yang dapat membuat mereka lebih bahagia. 

Manusia yang terperangkap dalam jeratan nafsunya juga mengalami amnesia, bahwa ada kehidupan surgawi yang menanti dirinya ketika bisa terbebas dari sangkar kemewahan fatamorgana dunia.

Dalam gambaran yang lebih ekstrem, manusia yang dikuasai dan dikendalikan oleh hawa nafsunya diibaratkan seperti binatang yang hina. 

Firman suci Tuhan pun menegaskan, bahwa apakah kalian tidak melihat betapa banyak orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atas hal tersebut,  atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahaminya,  mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya dari binatang ternak itu. (QS.  Al-Furqan: 43-44)

Demikian bahayanya hawa nafsu tersebut apabila menguasai diri manusia sehingga haruslah diperangi dan dikendalikan. 

Ramadhan merupakan momentum tahunan yang dijadikan sebagai wahana manusia untuk berperang dan mengendalikan hawa nafsunya, sehingga jiwa manusia akan dikuasai oleh jalan ketakwaan yang membebaskan manusia dari belenggu nafsunya, serta membawa diri manusia kepada jalan kebahagiaan dan keselamatan tidak hanya di kehidupan dunia yang singkat ini, akan tetapi lebih dari itu akan membawa manusia menuju puncak kenikmatan kehidupan kekal akhirat.

Ketika dihamparkan karpet merah oleh Tuhan yang merajai segalanya dengan seruan agungnya, masuklah kalian wahai orang-orang yang telah melakukan ibadah puasa Ramadhan dengan selamat dan penuh ketenangan melalui pintu al-Rayyan yang memang dikhususkan bagi orang yang berpuasa. 

Akan tetapi, gambaran orang yang sukses dalam menjalankan ibadah puasa sepanjang Ramadhan tidak tampak pada realitas kehidupan kebanyakan masyarakat. 

Puasa Ramadhan yang seharusnya menumbuhkembangkan sikap dan perilaku terpuji seperti tersemainya sikap tawadhu, qona’ah, sabar, jujur, amanah, wara’,  peduli kepada sesama serta sifat-sifat terpuji yang lain  tampak remang-remang. 

Justru yang tampak jelas dan terang benderang adalah sikap hedonis yang mempertontonkan kerakusan manusia yang dikuasai hawa nafsunya. 

Realitas yang ada di masyarakat, menunjukkan  bahwa Ketika berlebaran hasrat untuk mengkonsumsi makanan dan hidangan lezat merupakan keharusan. 

Hal ini bisa dilihat dari berbagai menu makanan lezat dan nikmat yang tersaji Ketika lebaran. Aneka kue lebaran juga dihidangkan dengan berbagai macam variannya. 

Tidak hanya sebatas makanan, hasrat memperindah tampilan dengan pakaian dan celana baru dari brand ternama juga menjadi bagian dari tradisi lebaran kebanyakan masyarakat. 

Tampilan yang sudah maksimal tersebut, masih dirasa kurang apabila tidak dilengkapi dengan perhiasan, handphone yang terbaru juga alat transportasi yang digunakan semuanya mengarah kepada sikap ujub dan takabur atas kondisi yang dipertontonkan. 

Momentum Lebaran, dijadikan sebagai festival untuk mempertontonkan kesuksesan duniawi yang sungguh sangat menyimpang dari tujuan puasa itu sendiri.

Melihat realitas ini, lebaran yang dikatakan sebagai Idul Fitri yang dimaknai kembali kepada kesucian yang bebas dari noda dosa, seakan tenggelam oleh gegap gempinya pertunjukan yang mempertontonkan lakon pamer kesuksesan duniawi. 

Hal ini dapat terjadi, karena penghayatan terhadap nilai-nilai spiritual puasa tidak dilakukan.

Puasa yang dilakukan, hanya sebatas menahan diri untuk tidak makan dan tidak minum mulai munculnya fajar subuh hingga tenggelamnya matahari di waktu magrib. 

Puasa yang dilakukan tidak dibersamai dengan menahan diri  dari  sifat hasud, iri, dengki, ujub, riya’ takabur dan semisalnya. 

Puasa yang demikian itu, tentunya tidak akan membawa kepada Idul fitri, karena pada hakikatnya mereka tidak melakukan puasa. Mereka hanya mengatur pola dan merubah jam makan serta minum saja tanpa jihad untuk berperang dalam mengendalikan nafsunya secara substantif.

Menjadi Pribadi yang Fitri  

Ada ungkapan yang menarik dari Imam Ali bin Abi Thalib, bahwa setiap hari di mana kamu tidak melakukan maksiat kepada Allah SWT, adalah hari raya. 

Selaras dengan ungkapan tersebut, lebih lanjut dikatakan bahwa Idul Fitri bukan milik mereka yang berpakaian baru, akan tetapi milik mereka yang ketaatannya semakinmeningkat. 

Idul Fitri juga bukan juga milik mereka yang membaguskan busana dan kendaraannya, akan tetapi  milik mereka  yang diampuni segala dosa-dosanya. 

Dengan demikian ciri pribadi yang Idul Fitri, adalah mereka yang diampuni dosa-dosanya oleh Allah, serta semakin meningkat ketaatannya kepada Allah setelah Ramadhan berlalu. 

Predikat Muttaqien, merupakan gelar teologis yang disematkan kepada mereka yang telah menjalani puasa. 

Firman suci pun menegaskan, bahwa kewajiban puasa yang juga diwajibkan atas umat terdahulu bertujuan untuk membentuk pribadi yang bertaqwa.

Begitu istimewanya pribadi yang bertaqwa tersebut, sehingga Allah SWT secara khusus menyiapkan surga yang digambarkan seluas langit dan bumi. 

Penegasan firman suci tersebut, secara jelas termaktub dalam kitab suci yang berbunyi: Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan. (Qs. Ali Imran : 133-134)

Karakter muttaqien yang terbentuk melalui proses puasa yang dilakukan sepanjang Ramadhan, adalah bersemainya sifat kedermawanan dan murah hati dalam kondisi apa pun.

Sifat dermawan dan murah hati ini, tidak lantas menjadikan kita pamer sedekah yang bernilai fantastis sebagaimana marak ketika bulan Ramadhan.

Dalam berbagai pemberitaan, banyak orang dermawan memberikan uang kepada para jemaah yang melakukan Salat Tarawih di daerahnya hingga menyentuh angka milliaran rupiah. 

Tentunya sedekah paling utama adalah sedekah “Sirr” yang tangan kirinya pun tidak mengetahuinya. Sedekah yang hanya berharap ridho Allah SWT bukan pujian manusia, apalagi hanya untuk konten media sosial agar menjadi viral belaka.

Karakter muttaqien juga terlihat pada mereka yang mampu menahan amarahnya. Amarah merupakan bagian dari nafsu yang harus dikendalikan. 

Al Ghazali mengatakan, nafsu amarahlah yang selalu memerintah keburukan, nafsu yang menghimpun kuatnya rasa marah, selalu diikuti sifat-sifat tercela, jauh dari Allah dan termasuk bala tentara atau langkah setan untuk mengarahkan manusia kepada penyesalan dan kebinasaan. 

Tentunya mereka yang mampu menahan amarahnya, merupakan pribadi yang istimewa, terlebih tidak ada yang dapat keluar dari jeratan keburukan nafsu amarah ini, kecuali berkat karunia dan pertolongan Allah. 

Menahan dan mengendalikan amarah merupakan sifat utama dari pribadi yang tercerahkan setelah melakukan ritual puasa Ramadhan.

Karakter muttaqien selanjutnya, adalah mereka yang memiliki jiwa pemaaf. Memang berat untuk dapat berlapang dada terhadap kedzaliman yang menimpa diri kita apalagi memaafkannya. 

Akan tetapi, itulah cerminan kebersihan hati dan jiwa dari orang yang sukses puasanya, sehingga Allah pun menyematkan predikat orang yang paling mulya d isisinya.

Dalam firman suci dijelaskan, sesungguhnya yang paling mulia di sisiku adalah yang paling bertakwa. Jiwa pemaaf adalah cerminan dari ketakwaan dan juga menjadi pertanda akan keimanan yang paling utama. 

Dalam konteks ini, sang  Rasul bersabda: Wahai Uqbah, bagaimana jika aku beritahukan kepadamu tentang akhlak penghuni dunia dan akhirat yang paling utama? Hendaklah engkau menyambung persaudaraan dengan orang yang memutuskan hubungan denganmu, hendaklah engkau memberi kepada orang yang tidak memberimu, dan maafkanlah orang yang telah menzalimimu.

Menjadi pribadi yang fitri merupakan cerminan pribadi yang memiliki karakter sebagai seorang muttaqien. Karena ketika pribadi kita fitri, maka secara otomatis ketiga karakter tersebut akan menghiasi perilaku kehidupan kita. 

Sehingga, saat ini kita dapat mempertanyakan sudahkah kita menjadi pribadi yang fitri ?. 

Selamat Hari Raya Idul Fitri, semoga kita menjadi pribadi yang fitri suci dari noda dosa setelah dibersihkan melalui serangkaian ibadah puasa Ramadhan yang telah kita jalani. Semoga kita dipertemukan kembali dengan Bulan Suci Ramadhan pada tahun berikutnya. Aamin.. (*)

 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved