SURYA Kampus

Sosok Imam Santoso yang Viralkan Kisah Bagus Alumni ITB yang Sukses Tangani Proyek Emas di Afrika

Inilah sosok Imam Santoso, yang memviralkan kisah Bagus Toyib Rasyidin, alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) sukses menangani proyek emas di Afrika

Penulis: Arum Puspita | Editor: Musahadah
Kolase Instagram
Imam Santoso, dosen Teknik Metalurgi ITB (kanan) yang memviralkan kisah bagus (kiri) 

SURYA.CO.ID - Kisah Bagus Toyib Rasyidin kali pertama dibagikan dosen ITB sekaligus konten kreator, Imam Santoso, melalui Instagram.

Imam Santoso menceritakan perjuangan Bagus yang sempat pesimis bisa menyelesaikan kuliah di Program Studi Teknik Metalurgi, Institut Teknologi Bandung (ITB). 

Hingga akhirnya Imam Santoso turun tangan memberikan semangat kepada Bagus.

Kini, Imam menjelaskan saat ini Bagus berhasil meraih gelar sarjana Teknik Metalurgi.

Bukan hanya itu, nasib Bagus pun berubah drastis. 

Dia menjadi salah satu Metallurgist hebat. 

Bagus juga menangani proyek besar emas di Pantai Gading Afrika.

"Jadi salah satu metallurgist hebat, tangani protek besar emas di Pantai Gading Afrika," tulis Imam dalam unggahannya.

Sosok Imam Santoso

Imam Santoso, merupakan dosen di Teknik Metalurgi ITB.

Ia menamatkan S1 di prodi yang sama (2003-2007), melanjutkan studi S2 di School of Chemical Engineering, University of Queensland, Australia (2011-2013), dan menamatkan studi S3 di School of Chemical Technology, Aalto University, Finlandia (2014-2019).

Imam lahir dari keluarga petani di Ambulu, Jember, Jawa Timur.

Dengan kondisi ekonomi yang serba terbatas, Imam harus menghabiskan masa kecil dalam asuhan neneknya yang berprofesi sebagai buruh tani.

Baca juga: Perjuangan Bagus Alumni ITB yang Sukses Tangani Proyek Emas di Afrika, Sempat Pesimis Lulus Kuliah

Tak hanya mengasuh Imam, penghasilan neneknya juga harus dibagi untuk mencukupi kebutuhan adik-adiknya.

"Ya rumahnya dari bambu yang hampir roboh, lantainya tanah, kalau hujan badai itu sering goyang-goyang kayak mau ambruk gitu, ada tikusnya, ya begitulah pokoknya.

Tapi Alhamdulillah happy walaupun hidupnya seperti itu, sama keluarga selalu diajarkan untuk bersyukur, tapi ingat sekolah tinggi," kenangnya dikutip dari laman LPDP.

Anak petani itu bercita-cita mengenyam bangku perkuliahan. Tak tanggung-tanggung, Imam ingin mengambil studi Kedokteran.

Namun, ia harus menerima pil pahit berupa penolakan dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair).

"Aku dulu bahkan diungsikan ke Trenggalek juga di rumah pamanku, gak keterima jadi dokter kan setahun tuh. Ngapain kalau di desa, kan jadi omongan tetangga, isin (malu) 'Imam pengen jadi dokter gak lolos'.

Akhirnya yang udah diungsikan aja lah biar tenang, sambil jualan kaca, jualan paku di Trenggalek uangnya dikumpulin buat daftar beli formulir SPMB lagi," kisahnya.

Baca juga: Sosok Bagus Alumni ITB Sukses Tangani Proyek Emas di Afrika, Dulu Putus Asa dan Pasrah jika DO

Semangat untuk kuliah kembali membara kala Imam mengunjungi tetangganya yang berprofesi sebagai seorang satpam perusahaan tambang.

Melihat rumah apik serta kehidupan yang serba berkecukupan membuat Imam muda berpikir, kalau satpamnya saja bisa sejahtera, apa lagi pegawainya, apa lagi pejabatnya.

Pikiran tersebut akhirnya membuat Imam memilih bidang pertambangan, ITB sebagai perguruan tinggi terbaik di bidang tersebut ia bidik dan berhasil.

Lulus dari ITB, Imam merasa terpanggil untuk menjadi dosen. Cita-citanya berada di persimpangan jalan, menjadi dosen artinya ia harus studi lanjut dan tidak bekerja, sedangkan nafkah keluarga tak bisa ditunda.

Memutar otak, Imam akhirnya bertemu dengan sebuah perusahaan asing yang bersedia menyekolahkannya ke Australia dengan jaminan uang saku selama studi dan kesempatan karier. Tahun 2009 Imam berangkat ke University of South Australia.

"Jadi aku nyari waktu itu sekolah yang ada uangnya, akhirnya aku disekolahkan oleh perusahaan asing waktu itu. Tahun 2009 aku berangkat ke Australia.

Tapi di tengah jalan bangkrut perusahaannya, bayangin aku sudah di Australia, belum selesai, masih persiapan bahasa gitu, pulang tanpa gelar," kenangnya.

Meski pulang tanpa gelar, Imam kembali teringat didikan keluarga agar tetap bersyukur dan berprasangka baik terhadap takdir.

Kembali bangkit, Imam mendaftar Beasiswa Australia Awards, usahanya tersebut kembali membawanya ke Australia.

Ia melanjutkan kuliah di University of Queensland dan jurusan metalurgi yang jadi topik kegemarannya.

"Ya mungkin Allah ingin aku di UQ, sesuai dengan yang aku sukai."

"Kalau di Adelaide, karena waktu itu dari industri, si industri ini punya topik sendiri yang waktu itu agak setengah hati aku sebenarnya, akhirnya ini (metalurgi di UQ) yang pas banget dengan passion, jadi oh mungkin ini ya hikmahnya," jelasnya.

Lulus dari UQ, Imam sadar bahwa dirinya harus segera S3 agar bisa menjadi dosen.

Pada 2014, Imam mendaftarkan diri di bidang Metalurgi, Aalto University, Finlandia.

"Dulu ketika di Australia itu (menulis status) masih ada di facebook, ya Allah aku ingin lihat aurora, ya Allah aku ingin lihat salju, aku ingin ke kutub utara, dan kebetulan ketika di Australia ada mahasiswa (percobaan) dari Finlandia, kemudian eh aku dikenalin lah oleh profesor di sana.

"Dan memang waktu itu aku mencari metalurgi yang bagus di mana setelah dari UQ, yang bagus tuh Aalto."

"Semuanya kayak gak tau lah mestakung (semesta mendukung) gitu ya," ceritanya.

Imam juga menceritakan bahwa dirinya sering menyarankan anak didiknya untuk menempel dinding kamar dengan gambar-gambar, seperti Menara Eiffel atau daftar target/cita-cita yang ingin dicapai di masa depan.

Sadar bahwa hidupnya berubah drastis karena pendidikan, Imam tergerak untuk menebar semangat yang sama.

Sejak masih S1, Imam sering "blusukan" ke sekolah-sekolah pelosok memberikan informasi bahwa ada kesempatan bagi anak-anak yang ingin berkuliah dengan Beasiswa Bidikmisi.

Sambil tersenyum mengingat kenangan, Imam mengungkap bahwa kegiatan "jemput bola" tersebut ternyata menarik perhatian para pewawancara saat ia melakukan seleksi LPDP sepuluh tahun lalu.

"Mungkin dia (blusukan) yang membuat aku diterima," ujarnya.

Sukses berkarier sebagai dosen ITB, Imam masih melanjutkan kegiatan "jemput bola" menjaring talenta-talenta dari keluarga kurang mampu justru semakin masif, bahkan difasilitasi oleh ITB.

Dalam setahun, Imam mengaku rutin mengalokasikan waktu dan mengajak rekan-rekan sesama dosen untuk "roadshow" di berbagai daerah hingga di luar Jawa menyebarkan informasi, inspirasi, dan dampak yang lebih besar kepada anak-anak SMA untuk berkuliah.

===

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam Whatsapp Channel Harian Surya. Melalui Channel Whatsapp ini, Harian Surya akan mengirimkan rekomendasi bacaan menarik Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Persebaya dari seluruh daerah di Jawa Timur.  

Klik di sini untuk untuk bergabung 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved