Berita Jember

Dukung Kepala Daerah Dipilih DPRD, PKB Jember Menilai Pemilihan Langsung Bikin Demokrasi Kacau

membuat demokrasi makin kacau, bahkan ada daerah di mana tingkat partisipasi pemilih tidak sampai 60 persen

Penulis: Imam Nahwawi | Editor: Deddy Humana
surya/imam nahwawi (imamNahwawi)
Ketua DPC PKB Jember, Ayub Junaidi. 

SURYA.CO.ID, JEMBER - Presiden Prabowo Subianto sempat melontarkan wacana pemilihan kepala daerah melalui DPRD, dalam Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-60 Partai Golkar. Ternyata ide itu mendapat dukungan dari DPC PKB Jember, dengan beberapa alasan.

Ketua DPC PKB Jember, Ayub Junaidi mengatakan, keputusan menerapkan sistem pemilihan langsung dalam Pilkada memang sudah saatnya dievaluasi. 

"Kan tidak mungkin keputusan tidak dievaluasi. Dulu pemilihan bupati/wali kota maupun gubernur cukup lewat DPRD. Kemudian dievaluasi karena akan memunculkan raja kecil, akhirnya diterapkan pemilihan langsung," jelas Ayub, Jumat (13/12/2024).

Ketika sistem pemilihan langsung diterapkan, lanjut Ayub, justru membuat demokrasi makin kacau, bahkan ada daerah di mana tingkat partisipasi pemilih tidak sampai 60 persen.

"Terus efek mudharat (merugikan) lebih banyak. Makanya saya sepakat sistem pemilihan kepala daerah dievaluasi oleh akademisi dan politisi, kira-kira yang cocok seperti apa. Coba hitung biaya untuk pemilihan gubernur, hasilnya ya gitu-gitu saja," tegas Ayub.

Ayub mengatakan, kalau pemilihan kepala daerah dilakukan melalui parlemen, kekurangannya masyarakat tidak bisa memilih langsung. Bahkan paling buruk ada suap terhadap anggota DPRD.

"Itu kan teknis, mungkin yang rusak anggota DPRD dan itu mudah dilacak. Tetapi sekarang rusaknya langsung kepada masyarakat, money politics seperti itu dan vulgar, satu rumah bisa pegang berapa amplop itu," paparnya.

Sementara dari efisiensi anggaran, Ayub menilai pemilihan kepala daerah melalui DPRD jauh lebih murah ketimbang mekanisme pemilihan langsung.

"Biaya Pilkada Jember yang diberikan ke KPU mencapai Rp 103 miliar, sedangkan anggaran untuk Bawaslu Jember Rp 38 miliar. Maka itu perlu dievaluasi oleh akademisi, politisi, dan yang lain, kira-kira sistem apa yang cocok,” tandasnya. ****

Sumber: Surya
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved