Berita Viral

Sosok Eks Wakil Ketua LPSK yang Sebut Jaksa 'Cuci Dosa' soal Tuntutan Bebas Guru Supriyani

Keputusan jaksa menuntut bebas guru Supriyani mendapat sorotan dari mantan wakil ketua LPSK, Edwin Partogi. Sebut jaksa 'cuci dosa'.

kolase IST
Edwin Partogi dan guru Supriyani. Mantan wakil ketua LPSK itu Sebut Jaksa 'Cuci Dosa' soal Tuntutan Bebas Guru Supriyani. 

SURYA.co.id - Keputusan jaksa menuntut bebas guru Supriyani mendapat sorotan dari mantan wakil ketua LPSK, Edwin Partogi.

Edwin menilai tuntutan bebas terhadap guru honorer Supriyani dalam perkara dugaan penganiayaan terhadap anak Aipda WH, D, hanya untuk 'cuci dosa'.

Edwin juga menganggap jaksa ingin memposisikan diri sebagai 'pahlawan' ketika menuntut bebas Supriyani.

Padahal, menurutnya, jaksa juga menjadi penyebab perkara yang dihadapi Supriyani menjadi berlarut-larut lantaran tetap menerima pelimpahan berkas dari kepolisian.

"Sebenarnya (jaksa) cari panggung lain bahwa mereka menjadi bagian dari pahlawan perkara ini. Padahal, sebenarnya dari sejak awal saya sampaikan, perkara ini nggak perlu maju (disidangkan) kalau jaksanya profesional dalam menangani perkara ini sejak awal," jelasnya dikutip dari YouTube Nusantara TV, Selasa (12/11/2024).

Baca juga: Sosok Anggota Komisi III DPR yang Apresiasi Jaksa Tuntut Bebas Guru Supriyani: Luar Biasa

Edwin lantas mengatakan menerima pelimpahan berkas dari kepolisian, melakukan penahanan terhadap Supriyani, hingga akhirnya disidangkan adalah segelintir contoh terkait ketidakprofesionalan jaksa dalam menangani perkara ini.

"Kalau kita lihat dari penyerahan kasus ini dari penyidik ke jaksa. Itu proses menuju ke penahanan oleh jaksa untuk kemudian menyerahkan dakwaannya kepada  pengadilan, memang sangat cepat."

"Di proses penyidikan tidak tahan, lalu di kejaksaan justru ditahan. Lalu penangguhan penahanan terhadap Supriyani kan juga bukan dari kejaksaan tetapi pengadilan," jelas Edwin.

Dia juga menjelaskan bahwa ada kesan jaksa tidak ikhlas untuk menuntut bebas Supriyani.

Hal itu, kata Edwin, merujuk pada keterangan ahli yaitu dokter forensik dari RS Bhayangkara Kendari, Raja Al Fath Widya Iswara, bahwa luka yang diderita korban bukanlah akibat pukulan sapu yang dilakukan Supriyani.

Melainkan diduga akibat terbakar atau terkena gesekan benda kasar.

Baca juga: Usai Kapolsek Baito Dicopot Imbas Kasus Guru Supriyani, Susno Malah Minta Disanksi Lebih: Tak Cukup

Edwin menilai keterangan dari dokter forensik tersebut tidak menjadi rujukan agar jaksa menganggap Supriyani tidak melakukan pemukulan terhadap D.

Sehingga, sambungnya, muncullah tuntutan bebas tetapi Supriyani tetap dianggap melakukan pemukulan terhadap D.

"Jika merujuk pada dokter forensik ini saja untuk membantah barang bukti yang diajukan sebagai alat kekerasan yaitu sapu ijuk yakni dari keterangan dokter ini," jelasnya.

Lantas, seperti apa sosok Edwin Partogi?

Menurut penelusuran SURYA.co.id, Edwin berkarier sangat cemerlang di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Beberapa jabatan penting pernah diembannya di LPSK.

Seperti Wakil Ketua LPSK pada tahun 2016.

Wakil Ketua LPSK PJ PEMENUHAN HAK SAKSI DAN KORBAN pada tahun 2017.

Lalu, Wakil Ketua LPSK PJ PENERIMAAN PERMOHONAN pada tahun 2018.

Jabatan Wakil Ketua LPSK terus diembannya hingga pensiun di tahun 2024 ini.

Baca juga: 2 Eks Jenderal Ucap Pencopotan Kapolsek Baito Imbas Kasus Guru Supriyani Belum Cukup, Seharusnya Ini

Dampak Tuntutan Bebas Guru Supriyani

Tuntutan bebas bagi guru Supriyani justru berdampak negatif terhadap siswa yang mengaku sebagai korban kekerasan atau pemukulan (anak Aipda WH). 

Menurut Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel, tuntutan bebas itu dilakukan dalam mendidik siswa. 

Hal ini beralasan karena mengacu tuntutan jaksa yang mengatakan bahwa perbuatan pidana (kekerasan) itu terbukti, namun mensrea atau niat jahatnya tidak terbukti. 

"Sadar tidak sadar, sengaja tidak sengaja, langsung atau tidak langsung seolah jaksa sendiri yang memberikan label ke siswa sebagai siswa nakal, yang harus diberikan hukuman berupa pukulan yang konon untuk mendidik sekali pun," ungkap Reza Indragiri dikutip dari tayangan Nusantara TV pada Rabu (13/11/2024). 

Reza menangkap pesan tuntutan ini dilakukan jaksa untuk memuaskan atau menunjukkan titik kompromi dua pihak. 

Hal ini beralasan karena dari otoritas penegak hukum mulai dari kepolisian sampai kejaksaan dari awal mengambil posisi terdakwa (guru Supriyani) melakukan tindakan pidana. 

Sementara terdakwa dan kuasa hukum selalu menyangkal adanya perbuatan pidana tersebut. 

Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri menyebut tuntutan bebas guru Supriyani justru berdampak buruk ke anak Aipda WH.
Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri menyebut tuntutan bebas guru Supriyani justru berdampak buruk ke anak Aipda WH. (kolase nusantara tv/tvone)

"Maka seolah-olah titik komprominya membuat tuntutan itu," katanya. 

Tetapi, lanjut Reza justru tuntutan bebas itu menimbulkan kejanggalan dalam logika. '

"Ketika jaksa mengatakan tidak terbukti ada niat jahat, apakah lantas kita simpulkan perbuatan memukul siswa itu dilatarbelakangi niat baik. Bagaimana menakar hal itu?," kritik Reza. 

Lalu, lanjut Reza, seandainya terjadi pemukulan dan betapapaun dilatarbelakangi niat baik yakni mendidik, muncul pertanyaan susulan, apa sesungguhnya kenakalan yang ditampilkan siswa tersebut. 

"Apakah kenakalan atau kebadungan itu betul-betul sebanding dengan tindakan memukul yang dijadikan hukuman fisik?," tanyanya.

Dengan kata lain, lanjut Reza, tuntutan jaksa secara tidak langsung memberi label pada siswa tersebut bahwa siswa tersebut adalah siswa nakal. Siswa yang sepatutnya mendapatkan hukuman yang sifatnya mendidik, termasuk hukuman fisik sekalipun. 

"Persoalannya di persidangan, tidak ada pembuktian atau lalu lintas tanya jawab tentang apa kenakalan siswa yang dimaksud, serta kenakalan yang sepantasnya sewajarnya diberikan hukuman fisik yang dilakukan terdakwa," tandasnya. 

Seperti diketahui, tuntutan bebas yang diajukan jaksa penuntut umum (JPU) dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Andoolo, Konawe Selatan, tak membuat guru Supriyani lega. 

Pasalnya, dalam tuntutan itu, JPU menyebut guru Supriyani terbukti melakukan perbuatan seperti yang didakwakan. 

Hanya saja, tidak dapat dibuktikan adanya sifat jahat atau mensrea. 

"Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan penuntut umum, maka walaupun perbuatan pidana dapat dibuktikan, akan tetapi tidak dapat dibuktikan adanya sifat jahat mensrea," kata jaksa dalam sidang yang digelar pada Senin (11/11/2024) siang.

"Oleh karena itu terdakwa Supriyani tidak dapat dikenakan pidana kepadanya. Oleh karena unsur pertanggung jawaban pidana tidak terbukti."

"Maka dakwaan kedua dalam surat dakwaan penuntut umum tidak perlu dibuktikan," tambah jaksa membacakan tuntutan.

Jaksa menyimpulkan perbuatan terdakwa memukul bukan tidak pidana.

 "Perbuatan terdakwa Supriyani memukul anak korban, namun bukan tindak pidana," ungkap jaksa.

 JPU menilai luka pada korban tidak pada organ vital dan tidak mengganggu korban.

Lalu, perbuatan Supriyani terhadap korban dinilai bersifat mendidik dan dilakukan secara spontan.

"Adapun perbuatan Supriyani yang tidak mengakui perbuatannya, menurut pandangan kami karena ketakutan atas hukuman dan hilangnya kesempatan menjadi guru tetap," ungkap JPU.

Tak hanya itu, selama tujuh kali menjalani persidangan, Supriyani juga dinilai sopan dan kooperatif.

Jaksa juga mengemukakan tidak ada hal -hal yang memberatkan terdakwa Supriyani.

"Hal memberatkan tidak ada, terdakwa bersikap sopan selama persidangan," kata Jaksa.

Karena itu, jaksa menuntut supaya majelis hakim Andoolo memutuskan terdakwa bebas.

"Supaya majelis hakim Pengadilan Negeri Andoolo memutuskan, satu menyatakan menutut Supriyani lepas dari segala tuntutan hukum," kata JPU.

Kepala Kejari Konawe Selatan, Ujang Sutisna yang juga JPU menjelaskan, Supriyani terbukti tidak melanggar pasal 60 ayat 1 juncto pasal 76 undang-undang kepolisian nomor 35.

Jaksa juga meminta agar barang bukti dan alat bukti yang ada di dalam persidangan untuk dikembalikan ke saksi.

"Menetapkan barang bukti berupa 1 pasang baju seragam SD dan baju lengan pendek batik dan celana panjang warna merah dikembalikan kepada saksi Nur Fitryana," ungkapnya.

"Kedua, sapu ijuk warna hijau dikembalikan ke saksi Sanaa Ali," ujar JPU.

Meski dituntut bebas, Kuasa Hukum Supriyani, Andri Darmawan mengajukan sidang lanjutan dengan agenda pledoi atau pembelaan.

Sidang pledoi tersebut rencananya akan dilaksanakan pada Kamis 14 November 2024 hari ini.

Menurut Andri, pembacaan tuntutan oleh JPU masih belum jelas karena alasannya tidak masuk ke dalam alasan pembenar ataupun pemaaf.

 "JPU menuntut bebas, tetapi memang dia menyatakan ada perbuatan tetapi tidak mensrea, ini menurut kami sesuatu yang aneh," kata Andri.

Oleh karena itu, pihak Kuasa Hukum Supriyani tetap melanjutkan persidangan pada Kamis 14 November mendatang. 

>>>Update berita terkini di Googlenews Surya.co.id

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved