Berita Viral

Dampak Tuntutan Bebas Guru Supriyani ke Anak Aipda WH, Reza: Seolah Jaksa Beri Label Siswa Nakal

Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel menilai tuntutan bebas guru Supriyani justru berdampak buruk ke siswa. Dicap nakal.

Editor: Musahadah
kolase nusantara tv/tvone
Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri menyebut tuntutan bebas guru Supriyani justru berdampak buruk ke anak Aipda WH. 

SURYA.CO.ID - Tuntutan bebas bagi guru Supriyani justru berdampak negatif terhadap siswa yang mengaku sebagai korban kekerasan atau pemukulan (anak Aipda WH). 

Menurut Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel, tuntutan bebas itu dilakukan dalam mendidik siswa. 

Hal ini beralasan karena mengacu tuntutan jaksa yang mengatakan bahwa perbuatan pidana (kekerasan) itu terbukti, namun mensrea atau niat jahatnya tidak terbukti. 

"Sadar tidak sadar, sengaja tidak sengaja, langsung atau tidak langsung seolah jaksa sendiri yang memberikan label ke siswa sebagai siswa nakal, yang harus diberikan hukuman berupa pukulan yang konon untuk mendidik sekali pun," ungkap Reza Indragiri dikutip dari tayangan Nusantara TV pada Rabu (13/11/2024). 

Reza menangkap pesan tuntutan ini dilakukan jaksa untuk memuaskan atau menunjukkan titik kompromi dua pihak. 

Baca juga: Somasi Bupati Konsel ke Guru Supriyani Bukti Ketimpangan, PBHI: Negara Menunggangi Proses Hukum

Hal ini beralasan karena dari otoritas penegak hukum mulai dari kepolisian sampai kejaksaan dari awal mengambil posisi terdakwa (guru Supriyani) melakukan tindakan pidana. 

Sementara terdakwa dan kuasa hukum selalu menyangkal adanya perbuatan pidana tersebut. 

"Maka seolah-olah titik komprominya membuat tuntutan itu," katanya. 

Tetapi, lanjut Reza justru tuntutan bebas itu menimbulkan kejanggalan dalam logika. '

"Ketika jaksa mengatakan tidak terbukti ada niat jahat, apakah lantas kita simpulkan perbuatan memukul siswa itu dilatarbelakangi niat baik. Bagaimana menakar hal itu?," kritik Reza. 

Lalu, lanjut Reza, seandainya terjadi pemukulan dan betapapaun dilatarbelakangi niat baik yakni mendidik, muncul pertanyaan susulan, apa sesungguhnya kenakalan yang ditampilkan siswa tersebut. 

"Apakah kenakalan atau kebadungan itu betul-betul sebanding dengan tindakan memukul yang dijadikan hukuman fisik?," tanyanya.

Dengan kata lain, lanjut Reza, tuntutan jaksa secara tidak langsung memberi label pada siswa tersebut bahwa siswa tersebut adalah siswa nakal. Siswa yang sepatutnya mendapatkan hukuman yang sifatnya mendidik, termasuk hukuman fisik sekalipun. 

"Persoalannya di persidangan, tidak ada pembuktian atau lalu lintas tanya jawab tentang apa kenakalan siswa yang dimaksud, serta kenakalan yang sepantasnya sewajarnya diberikan hukuman fisik yang dilakukan terdakwa," tandasnya. 

Seperti diketahui, tuntutan bebas yang diajukan jaksa penuntut umum (JPU) dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Andoolo, Konawe Selatan, tak membuat guru Supriyani lega. 

Pasalnya, dalam tuntutan itu, JPU menyebut guru Supriyani terbukti melakukan perbuatan seperti yang didakwakan. 

Hanya saja, tidak dapat dibuktikan adanya sifat jahat atau mensrea. 

"Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan penuntut umum, maka walaupun perbuatan pidana dapat dibuktikan, akan tetapi tidak dapat dibuktikan adanya sifat jahat mensrea," kata jaksa dalam sidang yang digelar pada Senin (11/11/2024) siang.

"Oleh karena itu terdakwa Supriyani tidak dapat dikenakan pidana kepadanya. Oleh karena unsur pertanggung jawaban pidana tidak terbukti."

"Maka dakwaan kedua dalam surat dakwaan penuntut umum tidak perlu dibuktikan," tambah jaksa membacakan tuntutan.

Jaksa menyimpulkan perbuatan terdakwa memukul bukan tidak pidana.

 "Perbuatan terdakwa Supriyani memukul anak korban, namun bukan tindak pidana," ungkap jaksa.

 JPU menilai luka pada korban tidak pada organ vital dan tidak mengganggu korban.

Lalu, perbuatan Supriyani terhadap korban dinilai bersifat mendidik dan dilakukan secara spontan.

"Adapun perbuatan Supriyani yang tidak mengakui perbuatannya, menurut pandangan kami karena ketakutan atas hukuman dan hilangnya kesempatan menjadi guru tetap," ungkap JPU.

Tak hanya itu, selama tujuh kali menjalani persidangan, Supriyani juga dinilai sopan dan kooperatif.

Jaksa juga mengemukakan tidak ada hal -hal yang memberatkan terdakwa Supriyani.

"Hal memberatkan tidak ada, terdakwa bersikap sopan selama persidangan," kata Jaksa.

Karena itu, jaksa menuntut supaya majelis hakim Andoolo memutuskan terdakwa bebas.

"Supaya majelis hakim Pengadilan Negeri Andoolo memutuskan, satu menyatakan menutut Supriyani lepas dari segala tuntutan hukum," kata JPU.

Kepala Kejari Konawe Selatan, Ujang Sutisna yang juga JPU menjelaskan, Supriyani terbukti tidak melanggar pasal 60 ayat 1 juncto pasal 76 undang-undang kepolisian nomor 35.

Jaksa juga meminta agar barang bukti dan alat bukti yang ada di dalam persidangan untuk dikembalikan ke saksi.

"Menetapkan barang bukti berupa 1 pasang baju seragam SD dan baju lengan pendek batik dan celana panjang warna merah dikembalikan kepada saksi Nur Fitryana," ungkapnya.

"Kedua, sapu ijuk warna hijau dikembalikan ke saksi Sanaa Ali," ujar JPU.

Meski dituntut bebas, Kuasa Hukum Supriyani, Andri Darmawan mengajukan sidang lanjutan dengan agenda pledoi atau pembelaan.

Sidang pledoi tersebut rencananya akan dilaksanakan pada Kamis 14 November 2024 hari ini.

Menurut Andri, pembacaan tuntutan oleh JPU masih belum jelas karena alasannya tidak masuk ke dalam alasan pembenar ataupun pemaaf.

 "JPU menuntut bebas, tetapi memang dia menyatakan ada perbuatan tetapi tidak mensrea, ini menurut kami sesuatu yang aneh," kata Andri.

Oleh karena itu, pihak Kuasa Hukum Supriyani tetap melanjutkan persidangan pada Kamis 14 November mendatang. 

Jaksa Peneliti Harus Disanksi

Azmi Syahputra meminta jaksa peneliti berkas perkara guru Supriyani diberi sanksi disiplin.
Azmi Syahputra meminta jaksa peneliti berkas perkara guru Supriyani diberi sanksi disiplin. (kolase nusantara tv/istimewa)

Tuntutan bebas guru Supriyani menunjukkan kinerja buruk jaksa peneliti yang menyatakan lengkap perkara dugaan penganiayaan anak Aipda WH

Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Azmi Syahputra meminta jaksa peneliti dari kejaksaan negeri (Kejari) Konawe Selatan ini diberikan sanksi disiplin atas kinerjanya.   

Dikatakan Azmi, tuntutan bebas ini membuktikan bahwa kesalahan atau tindak pidana apa yang didakwakan tidak terbukti. 

Hal ini kontradiktif dengan sikap jaksa peneliti yang menyatakan lengkap berkas perkara yang dikirimkan penyidik. 

Bahkan jaksa ini juga yang memutuskan untuk menahan guru Supriyani karena diduga keras melakukan tindak pidana dan ada dua alat bukti. 

Baca juga: Praktisi Tuding Tuntutan Bebas Guru Supriyani Upaya Jaksa Cuci Dosa, Pakar Hukum Sebut Kontradiktif

Namun ternyata, kinerja jaksa peneliti ini kontradiktif dengan jaksa yang menyidangkan perkara di pengadilan.

Hal ini menunjukkan jaksa peneliti kurang hati-hati. 

"Jaksa di persidangan ketukan hati nurani, moralnya bersuara. Sedangkan jaksa peneliti berkas kurang hati-hati. Biasanya akan kena sanksi kinerja. Pasti akan ada. Pedoman Jaksa agung, biasanya kalau ada jaksa unprofesional, unprosedural ini akan dikenakan (sanksi)," ungkap Azmi Syahputra dikutip dari tayangan Nusantara TV pada Selasa (12/11/2024).

Menurut Azmi, kinerja jaksa dalam kasus ini harus dilihat dari dua sisi.

Bagi jaksa yang menyidangkan, karena dia berani mendobrak, melakukan terobosan menggunakan nurani dan moralnya dengan melihat fakta tidak seperti yang diceritakan di berkas, maka dia layak diapresiasi. 

"Harus diberikan juga sanksi secara disiplin atau kinerja kepada jaksa peneliti yang tidak hati-hati," tegasnya. 

Azmi melihat selama ini kinerja jaksa hanya melihat berkas, tanpa mengetahui fakta sebenarnya yang terjadi karena tidak bersentuhan langsung dengan subyek hukumnya. 

"Ke depan, berkaitan masyarakat yang sudah terbuka, jaksa tidak hanya dibatasi dalam ruang lingkup berkas perkara, tapi bisa konfirmasi," tegasnya. 

Apalagi, lanjut Azmi, di kasus ini sudah jelas bahwa sang guru baru disangkakan pertama, dan nilai kerugian yang disangkakan juga tidak tinggi, sehingga seharusnya sudah selesai di tingkat kepolisian atau kejaksaan.

Diajukannya kasus ini hingga persidangan menurut Azmi ada kemungkinan pihak-pihak yang mencoba bermain sirkus sejak awal. 

"Ya mungkin mau main-main sirkus sih dari awal. Ada upaya sirkusnya juga," tudingnya. 

Apalagi, lanjutnya, di tingkat kepolisian kasus hingga hingga tertahan selama dua bualn. 

"Ada apa harus terpending 2 bulan di kepolisian," kritiknya.  

Apalagi lanjut Azmi, di tingkat kepolisian sudah punya mekanisme restorative justice, begitu juga kejaksaan. 

"Artinya 2 filter ini kenapa?. Artinya, ada penumpang gelap yang nebeng dalam kasus ini. 

"Cuma baru pertama dilakukan ibu guru kepada anak itu, syarat RJ kan bisa terpenuhi. Nilai kerugian tidak tinggi. Seharusnya dari awal penyidikan harus obyektif, teliti, profesional, humanis. 

"Kenapa di tengah jalan baru humas? Berarti ada sesuatu yang tidak terang di awal," kritiknya. 

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam Whatsapp Channel Harian Surya. Melalui Channel Whatsapp ini, Harian Surya akan mengirimkan rekomendasi bacaan menarik Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Persebaya dari seluruh daerah di Jawa Timur.  

Klik di sini untuk untuk bergabung 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved