Berita Viral
Pantesan Pak Alvi Guru Honorer Gak Malu Nyambi Jadi Pemulung, Seminggu Cuma Dapat Rp 50 Ribu: Halal
Pantas saja Pak Alvi, Guru honorer viral nyambi kerja jadi pemulung, tak malu melakukan pekerjaan sampingan tersebut. Yang penting halal.
Penulis: Putra Dewangga Candra Seta | Editor: Putra Dewangga Candra Seta
SURYA.co.id - Pantas saja Pak Alvi, Guru honorer viral nyambi kerja jadi pemulung, tak malu melakukan pekerjaan sampingan tersebut.
Pak Alvi mengaku tak malu lantaran yang penting pekerjaan tersebut halal.
Meski hasil yang didapat tak seberapa, yakni cuma Rp 50 ribu seminggu.
Diketahui, Pak Alvi sudah mengajar lebih dari 36 tahun.
Ia memulung barang bekas karena upahnya sebagai guru honorer tak cukup untuk penuhi kebutuhan sehari-hari.
Baca juga: Kisah Pak Alvi Guru Honorer Nyambi Kerja Jadi Pemulung, Muridnya Tak Malu Menyapa saat Ketemu
Video saat Alvi memulung dan duduk di pinggir jalan pun viral di media sosial.
"Tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari, makanya saya inisiatif pulang sekolah mulung," kata Alvi ketika ditemui di Polres Cimahi, Kota Cimahi, Senin (7/10/2024), melansir dari Tribun Jabar.
Alvi memulung barang-barang bekas berupa botol plastik hingga paku bekas selama empat jam dalam sehari.
Barang-barang tersebut dikumpulkan selama satu pekan sebelum akhirnya dijual.
"Mulai pulang sekolah, jam 1 sampai jam 5 sore. Dijualnya per minggu, karena sehari tidak banyak," ucapnya.
Meski tak banyak, uang hasil penjualan barang bekas tersebut dinilai dapat membantu untuk menutup kebutuhan sehari-hari.
Baca juga: Nasib Sartika Guru Honorer Mendadak Dinonaktifkan saat Masih Mengajar, Kepsek: Saya Tak Terlibat
"Seminggu paling Rp 50 ribu, karena sekarang lagi murah juga," ujarnya.
Alvi tak menampik kerap bertemu para siswanya saat memulung barang-barang bekas.
Namun, dia mengaku tak merasa malu karena yang dilakukan bukanlah hal yang haram.
"Sering, bahkan seluruh pihak sekolah juga tahu, kalau ketemu salaman. Tidak malu. Menurut saya, mengajar dan memulung itu sama-sama mulia, halal," ucapnya.
Sebelumnya, kisah miris datang dari seorang guru honorer bernama Pak Alvi, ia nyambi jadi pemulung sepulang mengajar.
Gaji sebagai guru honorer yang tak mencukupi membuat Pak Alvi harus bekerja sampingan untuk menafkahi keluarganya.
Pak Alvi pun terpaksa menjadi pemulung sepulang mengajar.
Sering kali Pak Alvi bertemu dengan murid-muridnya di jalan saat sedang memulung.
Untungnya, para murid tak malu menyapa sang guru.
Dalam video viral yang diunggah akun TikTok @duniapunyacerita_ menceritakan kisah sedih seorang guru honorer yang telah mendedikasikan hidupnya selama 36 tahun mengajar.
Meski telah mengajar puluhan tahun, karena upah yang ia terima sangat minim, ia tak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Pak Alvi pun rela mengumpulkan sampah sepulang mengajar di sekolah.
"36 tahun Pak Alvi jadi guru honorer, upahnya tak cukup untuk sambung hidup. Mau tak mau selesai mengajar Pak Alvi langsung pergi memulung," tulis dalam video.
"Tak jarang ia bertemu dengan muridnya ketika memulung, namun ia bersyukur murid-muridnya masih menghargai dan menegur Pak Alvi. #OrangBaik guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, Pak Alvi hanyalah salah satu dari guru honorer kurang beruntung," lanjutnya.
Kisah serupa juga dialami Muhidin, pria asal Desa Tirtanadi, Kecamatan Labuhan Haji, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, harus menjalani peran sebagai seorang ayah dan ibu bagi keempat putranya.
Sejak istrinya, Purnawati, meninggal dunia pada 2019 lalu, Gigih berjuang sendiri menafkahi sekaligus merawat anak-anaknya.
Bukan hal mudah bagi Muhidin. Apalagi, perkembangan anak bungsunya agak terhambat.
Saat sang istri masih hidup, Muhidin fokus pada profesinya sebagai guru honorer.
Sementara Purnawati mengurus toko kelontong yang ada di depan rumahnya.
Penghasilan dari toko digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Sepeninggal sang istri, toko tersebut tidak ada yang mengurus sehingga tak ada lagi pemasukan.
Muhidin hanya mengandalkan penghasilan dari mengajar sebagai guru Matematika di MAS NW Korleko.
Dengan penghasilan sebesar Rp 2 juta per bulan, Muhidin harus putar otak untuk mencukupi kebutuhan keluarga.
Terlebih, pada Desember ini, ia tidak lagi menerima uang sertifikasi karena telah memasuki usia pensiun.
Meski masih diperbolehkan mengajar, penghasilannya akan berkurang drastis karena hanya mendapat gaji pokok 500.000 rupiah per bulan.
“Untuk tambah-tambah, setelah mengajar, saya juga ngarit rumput untuk pakan sapi,” ujar Muhidin.
Meski penghasilannya sebagai guru honorer pas-pasan, Muhidin selalu berupaya memenuhi kebutuhan putrinya bernama Indah Sukma Halwai (17), yang punya keinginan kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Meski awalnya merasa berat karena memikirkan biaya yang tak sedikit, Muhidin pun akhirnya merestui Gigih mendaftar kuliah di UGM.
Kabar bahagia datang ke Muhidin ketika Gigih dinyatakan diterima kuliah gratis di UGM, karena mendapatkan subsidi UKT 100 persen.
Saat itu, ia dan Gigih terkejut bukan main hingga sang anak harus memeriksa layar beberapa kali.
Ia pun turut memeriksa layar Simaster Gigih dan mendapati bahwa benar, kuliah sang anak di UGM gratis hingga lulus nanti.
Kini, ia dan Gigih tinggal menunggu pengumuman beasiswa KIP Kuliah.
“Saya sangat merasa terbantu dengan adanya subsidi UKT, khususnya dalam keadaan ekonomi yang sulit seperti ini,” ucapnya berterima kasih sambil berdoa agar subsidi ini dapat dimanfaatkan Gigih dengan sebaik-baiknya.
Menjelang keberangkatan Gigih ke Yogyakarta, Muhidin tak henti-hentinya memberikan nasihat.
Ia mengingatkan Gigih untuk selalu menjaga tutur kata dan perilaku di tanah rantau, serta memanfaatkan subsidi yang diterima secara maksimal.
Tak lupa, ia juga berpesan agar Gigih selalu disiplin menunaikan shalat lima waktu.
“Nanti, setelah di Yogyakarta, jaga diri baik-baik. Jaga baik-baik apa yang keluar dari mulut sebab bila salah, itu bisa membahayakan. Bertutur kata yang lemah lembut, sabar, dan jangan lupa sholat,” pesannya.
Gigih tak henti mengucap syukur saat dinyatakan diterima di program studi Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UGM.

Ia menjadi satu-satunya murid MAN 1 Lombok Timur yang berhasil masuk UGM melalui jalur Seleksi Nasional Berbasis Prestasi (SNBP) tahun ini.
“Deg-degan, nangis, bahagia, semuanya campur. Saya masih tidak percaya bisa diterima di UGM lewat SNBP. Di sekolah saya, jarang ada yang lulus SNBP,” ceritanya haru saat ditemui di rumahnya yang berada di Desa Tirtanadi, Kecamatan Labuhan Haji, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.
Sejak kecil, Gigih menunjukkan tekad dan kegigihannya dalam mengejar pendidikan.
Mimpi berkuliah di UGM ia upayakan dengan rajin belajar dan mengikuti berbagai perlombaan.
Hasilnya, Gigih berhasil meraih berbagai prestasi, termasuk medali perak dan perunggu di olimpiade fisika dan gelar juara 1 di kompetisi inovasi sains tingkat provinsi.
Anak ketiga dari empat bersaudara ini memang gemar belajar fisika.
Ia aktif mengikuti klub belajar fisika di sekolahnya.
Di klub ini, ia terbiasa membahas soal-soal olimpiade maupun membuat kreasi alat inovasi. Meski terkenal sulit, soal-soal fisika membuatnya merasa senang dan tertantang.
Gigih bersyukur, sang ayah, Muhidin (59), selalu mendukung cita-citanya.
Sosok Muhidin jugalah yang memantik semangat Gigih untuk mengejar pendidikan setinggi-tingginya.
Muhidin tidak pernah memaksa Gigih untuk menjadi juara kelas, baginya yang terpenting adalah Gigih rajin belajar dan memiliki karakter yang baik.
“Saya sebagai orang tua selalu memberikan motivasi, apa pun pandangan atau pendapatnya tidak pernah saya bantah."
"Kalau cita-cita Gigih baik bagi hidupnya di dunia dan akhirat, saya berdoa semoga Tuhan mengabulkan."
"Kalau kuliah di UGM baik untuk hidup Gigih ke depan, keluarga tentu mendukung,” ucap Muhidin.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.