Berita Viral

Sosok Kepala Bapenda Solo yang Beber Aturan di Balik Polemik Angkringan kena Pajak Rp 12 Juta

Sosok Kepala Bapenda Solo Tulus Widajat ikut jadi sorotan terkait video viral angkringan ditarik pajak Rp 12 juta per bulan.

Tribun Solo
Kepala Bapenda Solo Tulus Widajat yang Beber Aturan di Balik Polemik Angkringan kena Pajak Rp 12 Juta. 

"Niki wedangan bapak kulo (ini wedangan bapak saya) ..... Sebelumnya ditariki pajak 3 juta/bulan. Sekarang minta naik jadi 12 juta sebulan..... Monngo sami komentar pripun tangepanipun .... Kota solo," tulis pengunggah dalam keterangan unggahan.

Menanggapi kabar viral tersebut, Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Solo, Tulus Widajat, buka suara.

Ia membenarkan terkait adanya perubahan penarikan pada objek wajib pajak berupa usaha angkringan, sesuai aturan yang berlaku.

Penarikan pajak yang dilakukan oleh Bapenda Kota Solo tersebut dikatakan oleh Tulus tak lain karena usaha angkringan tersebut masuk dalam kategori wajib pajak.

"Jadi ya ini termasuk mereka sudah masuk dalam kategori wajib pajak karena sebelumnya kami menugaskan petugas korwil setempat untuk melakukan pengamatan.

Jadi mereka melakukan pengamatan dan hasil pengamatan itu disimulasikan dan ternyata memenuhi kriteria wajib pajak," terang Tulus saat dikonfirmasi Tribun Solo pada Selasa (27/8/2024).

Tulus pun juga menegaskan terkait perubahan wajib pajak yang dikenakan oleh Bapenda Solo kepada pengusaha angkringan tersebut sebenarnya sudah dikomunikasikan sebelumnya.

Namun memang dari pihak pemilik usaha masih belum menyetujui perubahan wajib pajak.

Baca juga: Biasa Dibayar Seikhlasnya, Sabarudin Penjual Isi Korek Gas Haru Dapat Rp 37 Juta, Ingin Buka Warung

"Jadi kami juga sudah mengkomunikasikan dengan yang bersangkutan."

"Jadi yang bersangkutan juga sudah kita undang ke kantor untuk melakukan klarifikasi tentang data yang sudah kami sampaikan."

"Jadi tidak langsung kita memaksakan harus membayar wajib pajak sekian juta. Itu sudah dikomunikasikan, hanya mereka belum setuju," terang Tulus, melansir Tribun Solo.

Terkait perubahan objek wajib pajak yang dikeluhkan dari Rp3 juta per bulan menjadi Rp12 juta per bulan, diakui Tulus sudah melalui proses penghitungan sesuai aturan yang berlaku.

Sebagai informasi, dalam ketentuan yang tertuang di UU Nomor 1 Tahun 2022 dan Perda Nomor 14 Tahun 2023, pelaku usaha restoran termasuk PKL kuliner diharuskan membayar pajak sebesar 10 persen jika omzet per bulannya mencapai Rp7,5 juta.

"Jadi kami menugaskan petugas untuk mengamati, berapa pembeli yang datang pada hari itu ke sana. Kemudian dikomparasikan dengan data harga rata-rata makanan dan minuman di sana."

"Jadi kalau ada sekian orang berkunjung per hari dengan harga rata-rata sekian, itu berarti pendapatan kotor per hari bisa diketahui. Jadi kita rata-rata jumlah pengunjung dikali rata-rata harga makanannya saja," urai Tulus.

"Jadi sebenarnya juga sudah kita sampaikan cara kami menghitung wajib pajak kepada yang bersangkutan."

"Cuma mereka mengatakan butuh waktu karena kita juga butuh persetujuan dari pemilik usaha. Karena kita melakukan optimalisasi penyerapan wajib pajak itu bukan untuk mematikan usaha mereka."

"Hanya kami memastikan haknya negara harus dipenuhi, cuma itu saja. Kan sesuai undang-undang, kan ada hak negara yang harus dibayarkan melalui pedagang yang dipungut dari pembeli," tambahnya.

Dengan wajib pajak sebesar Rp12 juta tersebut, diperkirakan omzet dari angkringan mencapai Rp120 juta per bulan.

"Iya omzet per bulan dari mereka. Mungkin bisa jadi (omzet sekitar Rp120 juta per bulan)," kata dia.

Lebih lanjut Tulus menegaskan bahwa ada mekanisme penyanggahan maupun permohonan keringanan wajib pajak bagi pelaku usaha yang omzetnya lebih dari Rp7,5 juta per bulan.

Lebih dari itu, Tulus juga menjelaskan bahwa sebenarnya mekanisme wajib pajak bagi PKL beromzet lebih dari Rp7,5 juta per bulan menggunakan sistem self assessment atau penghitungan mandiri.

"Ada, jadi mekanisme keringanan itu ada dan itu hak pemilik usaha. Jadi silakan saja itu dimanfaatkan dan sudah diatur di dalam regulasi."

"Cuma sebetulnya itu omzet yang dihitung per bulan. Jadi kalau omzet per bulan tidak memenuhi itu (Rp7,5 juta), ya tidak usah bayar pajak," sebut Tulus.

Sehingga dalam perjalanannya apabila PKL Kuliner tersebut pendapatan perbulannya turun menjadi kurang Rp7,5 juta maka tidak dikenakan wajib pajak pada bulan berikutnya.

"Ini memang kuncinya pada kejujuran, karena ini termasuk jenis pajak self assessment. Jadi menghitung pajak sendiri, jadi pajak yang dibayarkan ya dihitungkan sendiri."

"Sebetulnya ya tidak berat, karena kalau memang tidak memenuhi omzet seperti di dalam undang-undang kan memang tidak perlu bayar."

"Tetapi ketika omzet memenuhi ya harus bayar, karena itu kewajiban dan hak negara harus memenuhi," pungkas Tulus.

>>>Update berita terkini di Googlenews Surya.co.id

Sumber: Tribun Solo
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved