Berita Viral
Sosok Kepala Bapenda Solo yang Beber Aturan di Balik Polemik Angkringan kena Pajak Rp 12 Juta
Sosok Kepala Bapenda Solo Tulus Widajat ikut jadi sorotan terkait video viral angkringan ditarik pajak Rp 12 juta per bulan.
Penulis: Putra Dewangga Candra Seta | Editor: Putra Dewangga Candra Seta
SURYA.co.id - Sosok Kepala Bapenda Solo Tulus Widajat ikut jadi sorotan terkait video viral angkringan ditarik pajak Rp 12 juta per bulan.
Tulus langsung angkat bicara mengklarifikasi polemik tersebut.
Ia menyebut pajak yang dikenakan kepada pedagang angkringan tersebut sudah sesuai dengan aturan yang berlaku.
Meski demikian, polemik ini tetap menuai kritik tajam dari netizen.
Lantas, seperti apa sosok Tulus Widajat sebenarnya?
Baca juga: Detik-detik Wanita Ngeyel Ogah Bayar Pajak Jam Tangan, Nekat Semprot Petugas Bea Cukai: Gak Ada Uang
Tulus Widajat lahir di Boyolali, 7 April 1972. Dia merupakan anak dari pasangan Sularno dan Sri Lestari.
"Mungkin harapan orang tua (dengan nama Tulus Widajat), jadi orang itu tulus, saya coba lakukan itu," kata Tulus, melansir dari Tribun Solo.
"Baik dalam kehidupan sehari-hari ataupun bekerja, saya selalu coba positif thinking," imbuhnya.
Sularno, untuk diketahui, merupakan seorang pensiunan aparatur negara sipil (ASN) yang beberapa kali berpindah lokasi penempatan.
Dia coba meluangkan waktu untuk mengantar pulang Tulus selepas sekolah.
Sepeda motor Honda S 90 Z keluaran tahun 1973 menjadi kendaraan yang dipakai Sularno mengantar Tulus.
"Kalau bapak tidak sedang longgar nanti diantar staf bapak, atau kadang juga langsung jalan kaki," ucap dia.
"Saya tidak memaksakan bapak buat mengantar. Malah dengan jalan kaki, bisa bareng teman-teman," tambahnya.
Rata-rata jarak sekolah dengan rumah tidak terlalu jauh.
Saat masih tinggal di Boyolali, misal, jarak jalan kaki dari sekolah ke rumah lebih kurang 3 kilometer.
Baca juga: Cuma Kena Pajak Rp 51 Ribu untuk 4 Koper Berisi Tas Branded, Penumpang Malah Kaget Tak Percaya
Kemandirian itu kemudian perlahan membentuk sosok Tulus hingga saat ini.
Ketika sudah dewasa, Tulus diberi kebebasan untuk memilih masa depannya.
Termasuk perihal keputusan pekerjaan yang dipilih. Sularno tidak memaksakan Tulus untuk bisa mengikuti jejaknya.
"Bapak pesan, dilandasi ibadah, biar pekerjaanmu barokah, pesannya teringat terus," kata Tulus.
Tulus lulus kuliah tahun 1996. Dia lalu memasukan lamaran ke sejumlah instansi, baik swasta maupun negara.
Saat ada rekrutmen ASN, Tulus turut memasukkan. Dia kemudian mengikuti tahapan yang ada.
Sembari menanti hasil, Tulus sempat bekerja di bagian marketing sebuah perusahaan swasta selama lebih kurang 3 bulan.
Itu menjadi pertama kali Tulus bisa merasakan uang hasil jerih payahnya sendiri.
"Senang dapat pengalaman menjual barang dengan upaya persuasif, membuat orang agar tertarik," ucap dia.
"Ketika orang tertarik dan membeli, itu memberikan kebahagian," tambahnya.
Penantian untuk hasil rekrutmen ASN keluar. Tulus dinyatakan lulus dan dilantik tahun 1997.
Dia ditempatkan di Pemerintah Kota (Pemkot) Solo.
Tulus menjadi staf bagian perencanaan rencana kegiatan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda.).
Selang 2 tahun, Tulus mendapat beasiswa pendidikan. Dia melanjutkan pendidikan S2 di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta.
Itu dilakukan lebih dua tahun. Setelah itu, Tulus kemudian mendapat tanggung jawab baru. Dia kemudian menjadi Lurah Keratonan.
Baca juga: Biodata AKP Eka Purwanta, Kapolsek Wonogiri Kota: Saat Patroli Bagikan Beras dan Kopi untuk Warga
"Saya menjadi Lurah Keratonan selama lebih kurang 1 tahun 3 bulan," ujar Tulus.
Tulus kemudian mendapat mutasi ke Kasubag Pemerintahan Umum Pemkot Solo sekira tahun 2002. Itu dijabatnya selama lebih kurang 7 tahun.
Tahun 2009, Tulus kemudian dimutasi ke Badan Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPPKAD).
Tulus menjabat sebagai Kabid Anggaran BPPKAD selama lebih kurang 3 tahun sebelum akhirnya jadi sekretaris BPPKAD selama 2 tahun.
"Tahun 2014, saya dimutasi lagi menjadi sekretaris Bappeda. Itu selama dua tahun," tuturnya.
Dia kemudian dimutasi lagi menjadi Kabag Administrasi Pembangun Sekretaris Daerah sampai 2019.
"Kemudian 2019 dimutasi lagi menjadi kepala Bappeda, lalu tahun 2022 menjadi kepala Bapenda," ucapnya.
Polemik Tarik Pajak Rp 12 Juta ke Padagang Angkringan
Dikenai wajib pajak mencapai Rp12 juta per bulan, pengusaha angkringan di Kota Solo mengeluh.
Video ungkapan kesal pemilik angkringan karena usaha orang tuanya diminta pajak tinggi tersebut viral di media sosial Facebook.
Diketahui, video tersebut pertama kali diunggah oleh akun Facebook @Hantozmurtadha melalui grup Info Cegatan Solo dan Sekitarnya, 7 Agustus 2024 lalu.
Unggahan tersebut disertai dengan video pendek (short) yang memperlihatkan situasi angkringan.
Pengunggah juga menuliskan keterangan bahwa usaha angkringan milik ayahnya sebelumnya dikenai wajib pajak Rp3 juta per bulan.
Namun belum lama ini, wajib pajaknya naik drastis mencapai Rp12 juta.
"Niki wedangan bapak kulo (ini wedangan bapak saya) ..... Sebelumnya ditariki pajak 3 juta/bulan. Sekarang minta naik jadi 12 juta sebulan..... Monngo sami komentar pripun tangepanipun .... Kota solo," tulis pengunggah dalam keterangan unggahan.
Menanggapi kabar viral tersebut, Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Solo, Tulus Widajat, buka suara.
Ia membenarkan terkait adanya perubahan penarikan pada objek wajib pajak berupa usaha angkringan, sesuai aturan yang berlaku.
Penarikan pajak yang dilakukan oleh Bapenda Kota Solo tersebut dikatakan oleh Tulus tak lain karena usaha angkringan tersebut masuk dalam kategori wajib pajak.
"Jadi ya ini termasuk mereka sudah masuk dalam kategori wajib pajak karena sebelumnya kami menugaskan petugas korwil setempat untuk melakukan pengamatan.
Jadi mereka melakukan pengamatan dan hasil pengamatan itu disimulasikan dan ternyata memenuhi kriteria wajib pajak," terang Tulus saat dikonfirmasi Tribun Solo pada Selasa (27/8/2024).
Tulus pun juga menegaskan terkait perubahan wajib pajak yang dikenakan oleh Bapenda Solo kepada pengusaha angkringan tersebut sebenarnya sudah dikomunikasikan sebelumnya.
Namun memang dari pihak pemilik usaha masih belum menyetujui perubahan wajib pajak.
Baca juga: Biasa Dibayar Seikhlasnya, Sabarudin Penjual Isi Korek Gas Haru Dapat Rp 37 Juta, Ingin Buka Warung
"Jadi kami juga sudah mengkomunikasikan dengan yang bersangkutan."
"Jadi yang bersangkutan juga sudah kita undang ke kantor untuk melakukan klarifikasi tentang data yang sudah kami sampaikan."
"Jadi tidak langsung kita memaksakan harus membayar wajib pajak sekian juta. Itu sudah dikomunikasikan, hanya mereka belum setuju," terang Tulus, melansir Tribun Solo.
Terkait perubahan objek wajib pajak yang dikeluhkan dari Rp3 juta per bulan menjadi Rp12 juta per bulan, diakui Tulus sudah melalui proses penghitungan sesuai aturan yang berlaku.
Sebagai informasi, dalam ketentuan yang tertuang di UU Nomor 1 Tahun 2022 dan Perda Nomor 14 Tahun 2023, pelaku usaha restoran termasuk PKL kuliner diharuskan membayar pajak sebesar 10 persen jika omzet per bulannya mencapai Rp7,5 juta.
"Jadi kami menugaskan petugas untuk mengamati, berapa pembeli yang datang pada hari itu ke sana. Kemudian dikomparasikan dengan data harga rata-rata makanan dan minuman di sana."
"Jadi kalau ada sekian orang berkunjung per hari dengan harga rata-rata sekian, itu berarti pendapatan kotor per hari bisa diketahui. Jadi kita rata-rata jumlah pengunjung dikali rata-rata harga makanannya saja," urai Tulus.
"Jadi sebenarnya juga sudah kita sampaikan cara kami menghitung wajib pajak kepada yang bersangkutan."
"Cuma mereka mengatakan butuh waktu karena kita juga butuh persetujuan dari pemilik usaha. Karena kita melakukan optimalisasi penyerapan wajib pajak itu bukan untuk mematikan usaha mereka."
"Hanya kami memastikan haknya negara harus dipenuhi, cuma itu saja. Kan sesuai undang-undang, kan ada hak negara yang harus dibayarkan melalui pedagang yang dipungut dari pembeli," tambahnya.
Dengan wajib pajak sebesar Rp12 juta tersebut, diperkirakan omzet dari angkringan mencapai Rp120 juta per bulan.
"Iya omzet per bulan dari mereka. Mungkin bisa jadi (omzet sekitar Rp120 juta per bulan)," kata dia.
Lebih lanjut Tulus menegaskan bahwa ada mekanisme penyanggahan maupun permohonan keringanan wajib pajak bagi pelaku usaha yang omzetnya lebih dari Rp7,5 juta per bulan.
Lebih dari itu, Tulus juga menjelaskan bahwa sebenarnya mekanisme wajib pajak bagi PKL beromzet lebih dari Rp7,5 juta per bulan menggunakan sistem self assessment atau penghitungan mandiri.
"Ada, jadi mekanisme keringanan itu ada dan itu hak pemilik usaha. Jadi silakan saja itu dimanfaatkan dan sudah diatur di dalam regulasi."
"Cuma sebetulnya itu omzet yang dihitung per bulan. Jadi kalau omzet per bulan tidak memenuhi itu (Rp7,5 juta), ya tidak usah bayar pajak," sebut Tulus.
Sehingga dalam perjalanannya apabila PKL Kuliner tersebut pendapatan perbulannya turun menjadi kurang Rp7,5 juta maka tidak dikenakan wajib pajak pada bulan berikutnya.
"Ini memang kuncinya pada kejujuran, karena ini termasuk jenis pajak self assessment. Jadi menghitung pajak sendiri, jadi pajak yang dibayarkan ya dihitungkan sendiri."
"Sebetulnya ya tidak berat, karena kalau memang tidak memenuhi omzet seperti di dalam undang-undang kan memang tidak perlu bayar."
"Tetapi ketika omzet memenuhi ya harus bayar, karena itu kewajiban dan hak negara harus memenuhi," pungkas Tulus.
berita viral
Solo
Kepala Bapenda Solo
Tulus Widajat
angkringan
Angkringan Kena Pajak Rp 12 Juta
SURYA.co.id
surabaya.tribunnews.com
Duduk Perkara Salsa Erwina Berani Tantang Debat Ahmad Sahroni, Tak Gentar Meski Keluarga Didatangi |
![]() |
---|
BGN Sampai Cek Langsung Ompreng MBG Diduga Mengandung Minyak Babi, Ternyata Ini Risiko dan Bahayanya |
![]() |
---|
Besaran Gaji dan Tunjangan Anggota DPR Nafa Urbach yang Janji Akan Serahkan Semua Untuk Rakyat |
![]() |
---|
Rekam Jejak Salsa Erwina yang Gertak Ahmad Sahroni Usai Kabar Keluarganya Didatangi, Jabatannya Top |
![]() |
---|
Kondisi Terkini Puspita Aulia, Istri Ilham Pradipta Bos Bank Plat Merah Usai Suami Tewas Dibunuh |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.