Citizen Reporter

Pakar Pendidikan Itje Chodidjah: LKS Itu Pembunuh, Lepaskan Belenggu Itu!

Buku Lembar Kerja  Siswa (LKS) yang kerap dipakai untuk mengukur kemampuan kognitif anak dinilai sebagai pembunuh oleh Itje Chodidjah.

Editor: Musahadah
istimewa
Itje Chodidjah, Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia UNESCO saat menjadi pembicara Simposium Gerakan Transisi PAUD ke SD yang Menyenangkan, Mewujudkan Generasi Emas yang digelar di Mojokerto pada Rabu (7/8/2024). 

SURYA.CO.ID I MOJOKERTO – Buku Lembar Kerja  Siswa (LKS) yang kerap dipakai untuk mengukur kemampuan kognitif anak dinilai sebagai pembunuh oleh Itje Chodidjah, Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia UNESCO.

Menurut Itje, dilihat dari tujuan pembelajaran dari kurikulum mana pun, tidak ada yang  meminta anak untuk dapat mengerjakan soal.

“Saya beratus-ratus kali mengatakan, LKS itu pembunuh karena menganggap seolah-olah siswa sudah mengerjakan LKS, sudah sekolah,” ujat Itje saat menjadi pembicara Simposium Gerakan Transisi PAUD ke SD yang Menyenangkan Mewujudkan Generasi Emas yang digelar Pemkab Mojokerto melalui Dinas Pendidikannya yang salah satunya bekerjasama dengan Balai Besar Penjaminan Mutu Pendidikan (BBPMP) Provinsi Jawa Timur pada Rabu (7/8/2024).

Padahal, lanjut Itje, LKS itu hanya berisi latihan soal yang tidak diketahui siapa pembuatnya.

Dia khawatir ketika guru hanya meminta anak mengerjakan LKS, sang pendidik hanya menjadi seperti event organizer (EO) di kelas. Padahal, guru harus mempunyai ruh untuk mendidik manusia.

Baca juga: Dirjen PAUD Dikdasmen Kikis Keraguan Pemda dalam Mengangkat Guru Penggerak menjadi Kepala Sekolah

“Jadilah guru yang punya ruh mendidik manusia, bukan EO dalam kelas, menyuruh anak-anak mengerjakan soal. Gurunya pegang HP (handphone), lalu bilang: jangan ramai ada kepala sekolah lewat. Anak-anak diam mengerjakan LKS sambil sengol-sengolan dengan temannya,” seru pakar pendidikan asal Kota Malang ini.

Itje lalu mempertanyakan apa yang didapat ketika anak sudah mengerjakan LKS. “So what kalau sudah LKS selesai. Seolah-olah anak sudah belajar. Belajar apa? belajar nyontek, belajar nulis,” kritiknya.

Diakui Itje, kalau pun LKS ada manfaatnya, menurut dia sangat sedikit. Karena, di sekolah anak perlu dikembangkan berbagai kompetensi, bukan hanya mengerjakan soal.  “Kalau hanya LKS, apa yang diproses di otak anak?,” tanyanya.

Itje melihat sampai saat ini masih banyak sekolah yang menggunakan LKS, tak terkecuali sekolah unggulan.

Hal itu menunjukkan transformasi paradigma pendidikan yang diusung di periode ini belum sepenuhnya terlaksana dengan baik.

“Ternyata, perubahan yang ingin diusung oleh transformasi yang dilakukan periode ini. Ketika kebiasaan yang dilakukan bertahun-tahun sudah mendarah daging, butuh tenaga dobel untuk mengubah paradigma. Lepaskan belenggu LKS!,” tegas Itje.

Di acara yang  juga dihadiri Ketua Umum Asosiasi Widyaprada Indonesia (AWI) Hariss Iskandar, Itje mengungkapkan, bertahun-tahun pendidikan di Indonesia diadang oleh ujian nasional sehingga dalam pemikirannya hanya soal bagaimana membantu anak untuk lulus, sehingga asesmen awal pembelajaran tidak menjadi pemikiran.

Menurutnya, masih ada anggapan anak-anak hanya butuh ijazah, bukan untuk dikembangkan.

Padahal dalam kenyataannya saat ini, dunia tidak memandang kertas (ijazah) atau nilai-nilai, tapi kompetensi apa yang dimiliki.

Hal ini, hanya bisa diketahui ketika dilakukan asesmen awal pendidikan.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Publikasikan Karya di Media Digital

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved