Traveling
Penyelematan Kakatua Jambul Kuning Pulau Moyo Dari 1600 an Tersisa 51 Ekor, Ini Yang Dilakukan
Namun dari hasil survei 3 bulan lalu dari 18 titik pengamatan di Moyo ini jumlah kakatua hanya tersisa 51 ekor.
Sejak saat itu, sedikit-demi sedikit data sarang dan ancaman kakatua di Pulau Moyo mulai terkumpul. Selain itu, Yudi dan Joni, setiap membawa tamu ke Moyo, selalu menitipkan pesan ke masyarakat untuk ikut menjaga kelestarian kakatua jangan sampai punah.
Seiring berjalannya waktu, Oka kemudian mengajak mereka mendirikan lembaga yang lebih besar yang bergerak di bidang pelestarian burung-burung paruh bengkok di Indonesia, termasuk di dalamnya adalah kakatua.
“Karena kami memiliki kegemaran yang sama, ajakan dokter Oka kami sambut,” paparnya. Pada akhir tahun 2022, lahirlah Yayasan Paruh Bengkok Indonesia yang di komandoi oleh drh. Oka.
Sebagai langkah awal, Yudi bersama Joni dan Oka, dibawah bendera Yayasan Paruh Bengkok Indonesia (PBI) dan Sumbawa Biodiversity (SuBio), membuat buku “Kakatua Kecil Jambul Kuning Pulau Moyo”, namun saat ini tengah dilakukan revisi setelah di edisi pertama sempat dicetak terbatas.
Isi buku edisi pertama bercerita tentang hasil eksplorasi mereka sejak 2017. Pada edisi revisi yang sedang dikerjakan, kakatua Moyo disajikan secara lebih detail dari berbagai sisi, mulai dari sisi sejarah, bioekologi, konservasi hingga ulasan tentang protokol-protokol dari sisi ilmu kodekteran hewan.
Pada awal 2023, Yudi, Joni, dan Oka yang telah tergabung dalam Yayasan PBI, kembali melakukan kegiatan penelitan yang lebih serius terhadap kakatua kecil jambul kuning di Pulau Moyo. Kali ini, ikut bergabung juga dalam Yayasan PBI, Saleh Amin yang bertugas mendesain aspek ilmiah dan Nilam Chandra, alumni Kehutanan Universitas Mataram yang membantu urusan tumbuhan.
Dari hasil studi ini, mereka kemudian berinisiatif mencoba pendekatan sarang buatan (nest-box) yang disebar di daerah Brang Sedo.
Tujuannya adalah untuk memperbanyak lubang sarang dan mengurangi kompetisi atau perebutan lubang sarang dengan jenis burung lain sehingga meningkatkan keberhasilan perkembangbiakan kakatua di Pulai Moyo.
“Karena literatur Kakatua jenis ini sangat minim bahkan nyaris tidak ada, maka satu-satunya cara yakni melakukan pengamatan langsung untuk melihat perilaku burung yang karismatik dan indah tersebut,” imbuhnya.
Untuk melakukan pengamatan di habitatnya, Yudi, Joni, dan Oka didampingi oleh Pak Ruslan yang sangat paham dengan medan Pulau Moyo.
Pak Ruslan tahu dimana saja lokasi sarang kakatua berada. Sekali pengamatan bisa memakan waktu sampai seminggu tinggal di tengah hutan. Untuk istirahat Yudi dan kawan-kawan menggunakan tenda, di tepi pantai atau sungai, namun kebanyakan di dalam hutan.
Biaya untuk melakukan ekspedisi tersebut didapat dari swadaya alias kantong masing-masing namun yang terbesar sumbernya dari Oka.
Pernah karena tidak ada biaya untuk menunjang kegiatannya tersebut, ia mencari dana dengan menjual kaos desain kakatua, keuntungan dari kedai kopi, hasil persewaan peralatan camping, sampai menyisisihkan sebagian ketika mendapat profesional fee ketika menjadi guide dari wisatawan.
“Pokoknya apa saja yang bisa menghasilkan kami lakukan. Kita harus kreatif sebab kegiatan ini tidak mendapat sokongan dana dari manapun”.
“Dari studi secara langsung tersebut akhirnya diketahui perilaku kakatua, sebaran sampai pergeseran musim bertelur yang ternyata bisa berubah-ubah karena faktor cuaca,” imbuhnya.
“Pernah kami temukan, pohon yang ada sarang buatannya, masih kokoh berdiri, tidak ditebang oleh pemilik lahan. Ini menunjukkan bahwa keberadaan sarang buatan kami tersebut ternyata ada pengaruhnya juga,” lanjutnya.
Sementara Nurdin Razak, akademisi sekaligus praktisi di bidang ekowisata menguraikan jika aset yang terkandung di alam Moyo sangat luar biasa. Jika bisa mengelola dengan baik akan memberikan dampak ekonomi yang sangat bagus buat masyarakat.
“Baik hutan maupun lautnya luar biasa indah. Sayang kalau tidak dikelola dengan baik,” kata Nurdin yang sekaligus seorang fotografer alam liar yang sudah pernah menjelajah di 27 dari 51 Taman Nasional yang ada di Indonesia.
Nurdin yang memberikan pelatihan maping birding tour masyarakat komunitas Kakatua ranger selama tiga hari kepada warga setempat tersebut menjelaskan dengan memberikan edukasi maka selain kelestarian flora fauna Moyo terjaga maka ekonomi masyarakat bisa meningkat. (Gandhi Wasono)
Pulau Moyo Nusa Tenggara Barat (NTB)
kakatua kecil jambul kuning
Taman Nasional Moyo Satonda
surabaya.tribunnews.com
SURYA.co.id
Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) NTB
Hamburg Crafter, Menu Baru Di Urban Wagyu, Tren Kuliner Fusion Yang Makin Digemari |
![]() |
---|
Enjoy Wisata Kesehatan Dan Kebugaran, The Westin Nirup Island Resort & Spa Batam Hadirkan Ini |
![]() |
---|
Indonesian Heritage Museum Kota Batu Simpan Koleksi Artefak Ribuan Tahun, Ini Kata Fadli Zon |
![]() |
---|
Media Sosial Jadi Tren Acuan Liburan Gen Z Indonesia, Traveling Bareng Pasangan Diminati |
![]() |
---|
Dua Rute Baru Bus Juragan99 Dibuka, Malang – Bandung PP, Surabaya – Denpasar PP, Pool Rungkut Sier |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.