Traveling

Penyelematan Kakatua Jambul Kuning Pulau Moyo Dari 1600 an Tersisa 51 Ekor, Ini Yang Dilakukan

Namun dari hasil survei 3 bulan lalu dari 18 titik pengamatan di Moyo ini jumlah kakatua hanya tersisa 51 ekor.

Editor: Wiwit Purwanto
Gandhi Wasono
Keelokan Pantai Moyo di senja hari 

“Kalau sehari dua hari tentu tidak cukup, idealnya 2-3 bulan supaya masyarakat bisa betul-betul paham bagaimana caranya melayani wisatawan yang datang serta mengelola alam ini secara baik,” imbuhnya.

Arya sendiri mengaku sudah memiliki rencana besar apa saja yang harus dilakukan termasuk step by step yang harus dilakukan untuk mencapai sasaran.

“Tetapi karena ini menyangkut lintas lembaga maka harus ada pembicaraan tersendiri,” imbuhnya.

Kecemasan akan punahnya Kakatua-kecil Jambul-kuning juga datang dari para penggiat lingkungan. Yudistira Sukma (35) dari Sumbawa Biodiversity (SuBio), sebuah kelompok konservasi lingkungan yang bergelut di bidang pelestarian dan perlindungan biodiversitas di Sumbawa, termasuk Kakatua-kecil Jambul-kuning, terus melakukan berbagai upaya penyelamatan.

“Saya tak ingin kelak anak-anak saya mengetahui kakatua itu hanya dari cerita dan buku saja tapi harus melihat secara nyata di habitatnya,” kata bapak satu orang anak tersebut.

Padahal, menurut Yudi yang juga aktif terjun sebagai relawan kebencanaan di berbagai wilayah Indonesia tersebut menguraikan kalau dilihat dari sejarah, Sumbawa yang termasuk di dalamnya wilayah pulau Moyo sejak jaman dulu dikenal sebagai habitat burung kakatua-kecil Jambul kuning.

Itu diketahui salah satu nama kelurahan di dalam kota Sumbawa bernama “Pekat” yang dalam bahasa Sumbawa “pekat” merujuk pada kakatua kecil jambul kuning.

arya
Arya Ahsani Takwin, regional project director conserve untuk cacatua sulphurea occidentalis pulau Sumbawa.

Bahkan, Alfred Russel Wallace dalam sebuah buku hasil ekspedisinya di Indonesia yang dilakukan tahun 1854-1862 ketika melintas di kawasan pulau Moyo, ilmuwan Inggris itu menggambarkan pepohonan sepanjang pantai terlihat putih karena banyaknya kakatua hinggap di dahan-dahan pohon.

Tak hanya itu kerajinan parang yang dibuat pengerajin besi dari Sumbawa tempo dulu menjadikan kakatua kecil Jambul kuning sebagai motif ukir gagang parang buatannya.

“Tapi sekarang sudah tidak ada lagi yang memakainya sebagai logo karena kakatua sendiri sudah nyaris sulit ditemui,” imbuh bapak satu orang anak ini.

Yudi menceritakan ia mendirikan kelompok konservasi tersebut berawal ketika ia dan sahabatnya Joni Sari Wijoyo sering menjadi guide wisatawan ke Pulau Moyo. Tetapi setiap tamu datang hanya ingin melihat air terjun "mata jitu” yang pernah di kunjungi Lady Diana. 

“Sebenarnya ingin sekali mengajak tamu melihat kakatua tetapi bagaimana lagi memang disana jarang terlihat lagi.”

Lalu pada 2017, ada seorang dokter hewan bernama Oka Dwi Prihatmoko dari Bali, setelah dari Moyo kemudian singgah di kedai kopi miliknya.

Oka yang juga seorang pelestari lingkungan, terutama burung paruh bengkok, menceritakan hal yang sama bahwa dirinya juga kesulitan untuk menemukan kakatua kecil Jambul kuning di Moyo.

Sejak pertemuan bertiga tersebut, mereka kemudian melakukan berbagai kegiatan seperti kampanye penyadaran ke anak sekolah dan masyarakat di desa penyangga, terutama di desa Labuan Aji, pendataan pohon sarang alami kakatua, dan lain-lain.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved