SURYA Kampus

Kisah Alumni S2 Kampus Top di Inggris Penerima Beasiswa LPDP, Lulus Kuliah Pilih Jadi Guru SD

Galih Sulistyaningra, alumni S2 kampus top di Inggris sekaligus penerima beasiswa LPDP memilih jadi guru SD. Ini kisahnya

Penulis: Arum Puspita | Editor: Adrianus Adhi
LPDP
Alumni S2 kampus top di Inggris penerima Beasiswa LPDP jadi guru SD 

SURYA.CO.ID - Galih Sulistyaningra, alumni S2 kampus top di Inggris sekaligus penerima beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) memilih mengabdikan diri sebagai guru sekolah dasar (SD).

Keputusan ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan Galih pada ketimpangan pendidikan.

Termasuk soal kualitas pendidikan dan pembelajaran di Indonesia seharusnya terjadi.

“Saya disadarkan kalau ternyata kita itu selama belajar di sekolah ada satu gaya belajar yang seharusnya tidak dilakukan."

"Mungkin ini jadi salah satu dosa besar para pendidik di zaman dulu gitu ya,” ujar Guru SD Petojo Utara, Jakarta Pusat ini, dikutip dari laman LPDP.

Baca juga: Cerita Alumni Unpad Lulus dengan IPK 3.98, Ingin Lanjut S2 Demi Kembangkan Industri Peternakan

Keluarga Pendidik

Jiwa sebagai pendidik sebenarnya merupakan turunan dari keluarganya.

Dari orang tua, tante, paman, semuanya berprofesi sebagai guru. 

Mulanya Galih enggan menjadi guru karena ingin menggeluti profesi lain.

Namun jalan hidupnya justru terus mendekat ke dunia pendidikan.

Hingga akhirnya Galih memulai debut pekerjaannya sebagai pendidik saat bergabung di lembaga pendidikan yang menekuni bidang STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics).

Saat itu Galih bergabung ketika sedang menunggu jadwal wisuda di UNJ.

Di sana Galih menangani anak-anak yang mahir berbahasa Inggris dengan kurikulum berstandar Amerika Serikat.

Mereka berlatar dari ekonomi kelas menengah atas.

Dari pengalamannya mengajar di sejumlah sekolah-sekolah elit taraf internasional Jakarta inilah yang justru memunculkan keresahannya atas timpangnya kualitas pendidikan anak-anak lain yang tak mendapat akses setara. 

Galih kemudian berkomitmen mendalami perencanaan dan kebijakan terkait pendidikan yang menurutnya dapat bermuara tidak hanya pada perkembangan anak didik, tetapi juga laju pertumbuhan ekonomi negara.

Keinginannya untuk mengambil studi S-2 pun mekar di sini. 

Keinginannya untuk melanjutkan pendidikan S-2 ke luar negeri bahkan sempat disebut sebagai mimpi yang ketinggian.

“Sarjana pendidikan ya ngajar di sekolah. Jadi guru PNS!” begitulah Galih menirukan tanggapan keluarganya sendiri.

Galih mafhum dengan anggapan tersebut dan justru membuktikan bahwa menjadi guru SD sekalipun dibutuhkan bekal pengetahuan yang banyak sekali. 

Seperti yang sudah tertanam dalam benak Galih, pendidikan memiliki interseksi dengan banyak hal seperti kesehatan, perdamaian, keadilan sosial, ekonomi, hingga pemenuhan hak asasi manusia. Beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dipilih sebagai kendaraan untuk mewujudkan keinginannya.

“Jadi udah kepikiran apa yang mau dilakukan, sehingga sepertinya itu yang kemudian memudahkan juga jalan untuk bisa diterima beasiswa LPDP,” kenang Galih yang kala itu tergabung dalam angkatan PK-122 Samudraraksa ini.

Perjalanan Kuliah S2

Galih memulai kuliahnya di London pada 2018.

pengalamannya bekerja di sekolah internasional membuatnya kagum dengan pendidikan Barat sebagai metode yang adiluhung.

Tapi ia justru menemukan perspektif baru saat berada di Inggris, yang notabene masih dunia Barat. 

“Sebenarnya tidak adil untuk kita membandingkan setiap negara."

"Tapi kalau saya boleh cerita apa sih yang kemudian membuat pendidikan di Inggris misalnya itu lebih maju daripada pendidikan kita di Indonesia,” ujar Galih. Jawabnya kemudian adalah literasi.

Membaca buku adalah kegiatan yang tak asing lagi dan sudah menjadi budaya masyarakat Inggris.

Ia menemukan mudahnya mendapatkan buku di ruang publik sebagai sumber pengetahuan. Banyak dari orang tua yang juga punya tradisi membaca di rumah dengan anak-anaknya.

“Karena mereka sudah terbiasa baca buku, mereka sudah terbiasa melihat kalau kita baca buku kan baik itu fiksi atau non-fiksi, kita membaca kalimat, kita terpapar dengan banyak vocabularies gitu ya, kosa kata, dan kita terpapar juga dengan berbagai sudut pandang” tutur Galih. 

Kekayaan informasi dan wawasan dari membaca buku ini membantu anak-anak berpendidikan di sana untuk mudah berargumen di muka umum.

Inilah yang sebenarnya cocok dengan kurikulum Merdeka Belajar di Indonesia.

Di Merdeka Belajar terdapat Profil Pelajar Pancasila yang salah satunya terdapat dimensi bernalar kritis. Artinya, karakter nalar kritis ini diharapkan ada di anak-anak Indonesia.

Masalahnya, bagaimana bisa menghasilkan karakter bernalar kritis pada anak didik apabila dari pendidiknya belum berada di level yang setara. Hal-hal seperti ini pula yang sebenarnya tidak bisa didapatkan hanya dengan mengajar. Perlu kemauan mandiri untuk untuk terus mengembangkan diri dan membaca buku.

“Bernalar kritis itu erat hubungannya dengan literasi. Guru-guru juga perlu punya literatur yang banyak, perlu punya perbandingan teori pendidikan, metode pendidikan, dan sebagainya yang mana menurut saya, bukannya S1 itu tidak cukup, tapi ketika kita punya pengalaman S2. Di sana kita belajar untuk bisa memformulasikan opini” jelas Galih.

Tingginya wawasan dan pengetahuan guru juga bisa dipakai untuk memahami dan mengenalkan kepada anak didik terkait emosi dan kekerasan. Galih melihat fenomena bullying, diskriminasi, dan kekerasan anak terjadi dan kian parah bermuara dari gagalnya mengidentifikasi dan mengenalkan permasalahan tersebut.

“Jadi pertama, mengenali dan mengidentifikasi emosi, lalu yang kedua, bagaimana kemudian mengolah emosi, khususnya emosi-emosi negatif, itu seperti apa. Dan yang ketiga, saya juga mengenalkan jenis-jenis kekerasan."

"Sehingga juga mereka paham bahwa tidak semua candaan yang mereka anggap lucu itu dianggap lucu oleh orang lain, bisa jadi itu menyakitkan."

"Dan itu ada hubungannya juga dengan regulasi emosi.” tutur Galih dalam menerapkan pendidikan di kelasnya.

Inisiator Bekal Pendidik

Pergulatan Galih dalam memikirkan pedagogi di Indonesia dilampiaskan pula dengan membentuk komunitas bernama Bekal Pendidik yang targetnya adalah para calon guru atau guru-guru muda sejawat.

Bekal Pendidik muncul di masa pandemi saat perjumpaan daring sedang marak. Sejumlah praktisi pendidikan tercatat pernah diundang Galih untuk diajak berdiskusi mulai dari pejabat Kemendikbud, dosen, antropolog, dan lainnya.

Bekal Pendidik juga berkembang sebagai platform mentorship beasiswa khusus untuk rekan-rekan dari jurusan S-1 Pendidikan yang ingin melanjutkan ke S-2 Pendidikan juga.

“Seperti paradigma tentang Merdeka Belajar itu seperti apa, filosofi-filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara itu bagaimana, dan banyak sekali teori maupun metode pendidikan yang menurut saya justru saya pelajari itu bukan di Indonesia. Itu jadi satu kekhawatiran dan keresahan yang menurut saya menggugah untuk bisa saya tularkan ke teman-teman calon pendidik.” ujar Galih.

Pada akhirnya Bekal Pendidik ini adalah sebagai wadah kawan sejawat untuk mengaktualisasi diri, mengulik isu-isu pendidikan terkini, dan lebih-lebih hingga bisa didengar oleh para pemangku kebijakan.

Ilmu dan pengetahuan Galih juga berkontribusi pada penyusunan modul pendidikan dasar.

Menjadi guru SD sejak 2020, ia tercatat menjadi penulis modul peningkatan pengajaran literasi numerasi untuk Program Organisasi Penggerak Kemendikbudristek, menjadi penyusun Capaian Pembelajaran Bahasa Inggris, dan beberapa program lainnya lagi.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved