Opini

Pengusiran Pengungsi Rohingya Buntut Narasi Hoax di Medsos, Apakah Ini Cerminan Nilai Negara?

Keberadaan pengungsi etnis Rohingya yang mendapat penolakan di sejumlah negara, menjadi isu kemanusiaan global saat ini.

Editor: Musahadah
AFP/Amanda Jufrian via Tribunews
ILUSTRASI. Pengungsi Rohingya saat tiba di Ulee Madon, provinsi Aceh, Indonesia, pada 16 November 2023 lalu. 

Oleh:
Raihan Rizky Amalia
Mahasiswa Antropologi, Universitas Airlangga

Keberadaan pengungsi etnis Rohingya yang mendapat penolakan di sejumlah negara, menjadi isu kemanusiaan global saat ini. Kondisi ini buah adanya kekerasan dan penindasan yang dialami mereka selama beberapa dekade di wilayah Myanmar.

Kekerasan tersebut memaksa kelompok etnis Rohingya untuk mencari tempat perlindungan dan pengungsian dengan mengandalkan perahu. Sebagai manusia perahu, mereka mencari negara yang bersedia menerima dan memberikan keamanan. Tidak hanya Indonesia yang dilabuhi kelompok etnis Rohingya, negeri jiran Malaysia turut menjadi kawasan untuk berlabuh dan bertempat tinggal.

Dalam sejarahnya, Rohingya merupakan etnis yang bertempat tinggal di negara bagian Arakan/Rakhine sejak abad ke-7 Masehi. Namun, pada tahun 1974, Pemerintahan Jenderal Ne Win (1962-1988) melepaskan kewarganegaraan Rohingnya. Dalam Undang-undang Kewarganegaraan tahun 1982, Myanmar tidak mengakui Rohingya sebagai salah satu dari 135 kelompok etnisnya.

Bertahun-tahun setelahnya timbul kasus kekerasan yang dialami kelompok etnis Rohingya, baru tahun 2012 kasus ini mencuat dan diketahui publik. Kemudian terjadi genosida terhadap kelompok etnis Rohingya pada tahun 2017. Itulah kronologis krisis yang menyebabkan etnis Rohingnya melarikan diri ke Bangladesh dan membanjiri kamp pengungsi. Sudah enam tahun kelompok pengungsi ini terombang-ambing di berbagai negara, tanpa status yang jelas.

Sebagai negara yang berpegang teguh pada Hak Asasi Manusia, menjadikan Indonesia dapat memberikan tempat aman bagi korban genosida, khususnya kelompok etnis Rohingya yang terdampar di Aceh. Dalam perkembangan penanganannya, pada tahun 2015, nelayan Aceh memberikan respon positif dan pertolongan meski adanya keterbatasan saat itu.

Adanya rasa kewajiban menolong sebagai bagian dari syariat Islam merupakan alasan dasar masyarakat Indonesia menolong etnis Rohingya pada 2015. Namun, tahun 2023 terjadi dinamika yang cukup rumit terhadap kedatangan gelombang pengungsi etnis Rohingya di Indonesia. Terjadi perdebatan hingga pengusiran yang dilakukan mahasiswa Aceh pada 28 Desember 2023.

Konflik penolakan dan pengusiran yang dilakukan oleh sejumlah mahasiswa menuai kecaman dari para aktivis HAM dan warga karena perilaku tersebut karena bertentangan dengan nilai moral bangsa, hingga media asing turut menyorot perilaku tersebut.

Munculnya sebuah narasi hoax atau informasi palsu yang bertebaran di media sosial terkait rohingya menjadi salah satu sumbu aksi dilakukan. Hal tersebut memengaruhi pengguna jagat maya yang menerima informasi secara mentah-mentah dan menjadikan informasi palsu sebagai alasan kuat untuk mengusir pengungsi kelompok etnis Rohingya di Aceh.

Informasi palsu disebarkan secara masif oleh akun-akun fanbase yang tidak menampilkan identitas penulis atau pengirim. Dilansir dalam website KOMINFO, salah satu informasi palsu tersebut adalah “Pengungsi Rohingya Sengaja Dikirim ke Indonesia untuk Alihkan Isu Palestina”. Informasi palsu tersebut membuat geram warganet yang memiliki sumbu pendek dalam menelan informasi.

Faktanya, klaim tersebut tidak sesuai fakta. Faktor yang menyebabkan kelompok pengungsi melarikan diri ke Indonesia dan negara-negara muslim lainnya karena ketiadaan mata pencaharian yang layak, kriminal, dan afiliasi dari kelompok-kelompok bersenjata yang menimbulkan ketakutan bagi para pengungsi di kamp pengungsian Cox’s Bazar, Bangladesh.

Ujaran negatif juga membanjiri UNHCR karena adanya narasi-narasi liar yang beredar karena tersulut informasi palsu sebelumnya. Hal ini tentunya membuat pihak UNHCR yang merupakan organisasi yang berfokus pada hak-hak pengungsi sulit untuk menstabilkan situasi di Aceh.

Sebagai warga negara Indonesia yang memegang teguh nilai dasar negara, tentunya hal ini tidak wajar dan dapat menyerang integritas negara melalui informasi palsu dan kesadaran akan kemanusiaan.

Meskipun Indonesia tidak memiliki kewajiban hukum untuk menyediakan pemukiman permanen bagi pencari suaka atau pengungsi internasional karena bukan pihak pada konvensi pengungsi 1951 dan protokol 1967 tentang status pengungsi, namun kewajiban sebagai warga negara yang baik harus peka terhadap isu kemanusiaan saat ini.

Dalam kemenkumham.go,id, diungkapkan bahwa Indonesia tetap berkomitmen memberikan perlindungan dan bantuan kemanusiaan terhadap para kelompok pengungsi dengan memberikan pertimbangan khusus, meskipun kedatangan mereka ke Indonesia hanya transit. Hal tersebut juga didasarkan prinsip-prinsip kemanusiaan dan aspirasi HAM global.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Publikasikan Karya di Media Digital

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved