Brigadir J Ditembak di Rumah Jenderal
LAGI! Status Justice Collaborator Bharada E Coba Digugurkan, Kubu Kuat Maruf dan Ferdy Sambo Sejalan
Setelah kubu Ferdy Sambo yang mencoba menggugurkan status Justice Collaborator (JC) Bharada E, kini giliran kubu Kuat Maruf melakukan hal serupa.
SURYA.CO.ID - Setelah kubu Ferdy Sambo yang mencoba menggugurkan status Justice Collaborator (JC) Bharada E (Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu), kini giliran kubu Kuat Maruf yang melakukan hal serupa.
Upaya kubu Kuat Maruf menggugurkan status Justice Collaborator Bharada E tampak saat mempertanyakan hal itu ke ahli hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Muhammad Arif Setiawan.
Muhammad Arif Setiawan sengaja dihadirkan sebagai saksi ahli meringankan Kuat Maruf.
Kuasa hukum Kuat Maruf mempertanyakan tentang aturan tentang justice collaborator Kuat Maruf dalam Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban.
"Jenis pidana apa saja yang bisa memungkinkan untuk menjadi justice collaborator,?" tanya kuasa hukum Kuat Maruf.
Baca juga: PANTESAN Ferdy Sambo Cabut Gugatannya ke Jokowi dan Kapolri, Kompolnas: Argumentasi Mudah Dipatahkan
Muhammad Arif Setiawan menjelaskan, kalau JC dipahami sebagai seorang saksi menjadi bagian dari pelaku perbuatan pidana,tapi dia mau bersaksi dengan membuka tindak piadan itu.
Dikatakan, dalam UU PSK dibatasi secara limimatif jeis-jenis tindak pidana apa saja yang bisa diberikan status JC.
"Memang di bagian akhir itu, ada bagian yang limitatif kemudian dibuka,
Tindak pidana sudah ditentukan. Ada tindak pidana korupsi, terorisme, narkotika, perdagangan orang dan kejahatan-kejahatan yang terorganisir," terang Arif.
Tetapi, lanjut Arif, UU PSK itu juga membuat peluang LPSK untuk menetapkan justice collaborator di luar pidana yang dibatasi tersebut.
Hanya, persoalannya selain jenis tindak piidana, menurut Arif, status justice collaborat juga dibatasi bahwa dia bukan pelaku utama dari pidana yang dilakukan.
"Bukan pelaku utama, itu ketentuannya dimana?," tanya kuasa hukum KUat Maruf.
"Ada di Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban," terang Arif.
Kuasa hukum Kuat Maruf juga mempertanyakan apada di Surat Edaran Mahkamah Agung juga memberikan batasan terjadap justice collaborator.
Arif mengayakan, seingat dia hal itu juga diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)
Sebelumnya, terkait justice collaborator ini juru bicara sosialisasi Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), Dr Albert Aries memberikan pandangan berbeda.
Dr Albert Aries yang menjadi saksi ahli hukum pidana dalam sidang perkara pembunuhan Brigadir J di PN Jakarta Selatan, Rabu (28/12/2022) menilai Bharada E layak mendapat status justice collaborator.
Penilaian Dr Albert Aries ini menjawab pertanyaan kuasa hukum Bharada E tentang kelayakan kliennya mendapatkan status JC dari LPSK.
“Ada anggapan bahwa status JC tersebut tidak bisa diterapkan kepada terdakwa. Bagaimana pendapat dari sudut pandang ahli?” tanya Rori Sagala, Penasihat Hukum Bharada E.
Merespons pertanyaan itu, Albert lantas menyinggung penjelasan Pasal 5 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Baca juga: SOSOK Dr Albert Aries, Ahli Pidana yang Bersaksi Meringankan Bharada E Tanpa Dibayar, Ini Alasannya
Albert berpandangan, status justice collaborator dapat diberikan kepada seseorang yang terkait dalam suatu perbuatan tindak pidana yang bisa membuatnya berada di posisi terancam.
"Di sana dikatakan bahwa tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi saksi atau korban di hadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya,” papar Albert.
“Berarti ini (pemberian status JC itu) dinilai secara obyektif oleh LPSK dalam memberikan perlindungan tadi," terang dia.
Lebih jauh, Albert juga menilai dasar hukum syarat pemberian JC juga tercantum di Pasal 28 UU Perlindungan Saksi dan Korban.
Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Trisakti ini mengungkapkan bahwa JC bakal diberikan kepada pihak yang bukan merupakan pelaku utama dalam suatu tindak pidana.
"Poin menarik adalah di poin e, adanya ancaman nyata atau kekhawatiran mengenai kejadian, ancaman fisik atau psikis terhadap saksi pelaku atau keluarganya," kata Albert.
"Ketika memenuhi syarat yang ditentukan Pasal 28 dan sesuai penjelasan Pasal 5 Ayat 2 yang ukuran objektif, perlindungan itu bisa diberikan kepada seseorang yang memang ingin mengungkap suatu kejahatan," jelasnya.
Terkait kasus ini, Richard Eliezer didakwa melakukan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J bersama Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Ricky Rizal dan Kuat Ma'ruf.
Sebelumnya, saksi ahli yang dihadirkan kubu Ferdy Sambo, Prof Elwi Danil juga memberikan penilaian tentang justice collaborator.
Awalnya Elwi Danil menerangkan bahwa keterangan justice collaborator tidak berbeda dengan keterangan saksi-saksi lainnya di persidangan.
"Menurut pendapat saya, tidak ada satu aturan pun atau tidak ada satu pendapat pun dalam doktrin yang ditemukan yang menyatakan bahwa justice collaborator itu kualitas atau nilai keterangannya sebagai saksi itu berbeda dengan saksi yang bukan sebagai justice collaborator," kata Elwi dalam persidangan di PN Jakarta Selatan, Selasa (27/12/2022).
Ia menuturkan bahwa kualitas keterangan justice collaborator dalam persidangan tidak berbeda dengan saksi-saksi lainnya.
"Sehingga dengan demikian dapat dikatakan sekalipun dia adalah justice collaborator ya keterangan dia sama dengan keterangan-keterangan saksi yang lain yang bukan justice collaborator," jelas Elwi.
Lebih lanjut, Elwi menuturkan keterangan saksi yang diuji adalah bukan siapa yang menyampaikan.
Akan tetapi, kata dia, saksi diuji berdasarkan kesesuaian antara satu fakta denga fakta lain dalam persidangan.
"Kalau soal kesesuaian antara satu fakta dengan fakta lain, antara satu keterangan dengan keterangan yang lain ini kan nanti kan akan menjadi apa yang dalam alat bukti yang kita kenal dengan petunjuk itu akan digunakan oleh hakim sebagai sarana untuk menimbulkan keyakinannya dalam alat bukti yang disebut sebagai petunjuk," tukas dia.
Pengacara Putri Candrawathi , Febri Diansyah lalu menanyakan tentang Undang-UNdang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, khususnya terkait tindak pidana selain 7 yang disebutkan di UU itu. Dimana salah satu pasalnya membolehkan saksi atau korban mendapat status justice collaborator jika dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya.
Menurut Elwi, karena itu diminta secara eksplisif dalam rumusan pasal UU Perlindungan Saksi dan Korban, maka tentu harus dibuktikan keadaan yang telah timbul yang membahayakan kondisi atau keadaan atau jiwa si saksi yangn bersangkutan. Baru kemudian, diberikan status justice collaborator.
Febri lalu, menanyakan tentang SE Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2011 tentang perlakuan bagi pelapor dan Justice Collaborator yang dItegaskan harus berlaku untuk tindak pidana tertentu.
"Ada pedoman majelis hakim untuk JC, syaratnya bukan pelaku utama. Pelaku utama apakah sama pelaku materiil yang menyebabkan matinya seseorang?," tanya Febri.
Elwi pun memberikan pendapat bahwa pelaku utama di sini adalah yang perannya sangat signifikan dan menentukan di dalam melakukan tindak pidana. Misalnya dalam tindak pidana, siapa yang menusuk pakai pisau, siapa yang menembak.
"Pihak-pihak yang melakukan perbuatan materiil berarti dia memiliki kedudukan yang signifikan. Sehingga orang yang berkedudukan seperti itu, tentu tidak layak diposisikan sebagai JC," jawab Elwi.
Febri kemudian mengarahkan pada sosok Bharada E yang selama ini kerap ditudingnya sebagai pembohong dan tidak konsisten di persidangan.
"Apakah seseorang yang pernah berbohong dalam pemeriksaan pidana. bukan sekali bohongnya, bisa lebih dari satu kali.
Dia juga memberikan keterangan secara tidak konsisten. Apakah orang seperti ini pantas jadi Justice Collaborator?," tanya Febri.
Sayangnya, pertanyaan Febri tidak langsung dijawab Elwi.
Elwi justru melemparkan jawabannya ke majelis hakim.
"Mohon izin yang mulia, kalau seperti itu tentu bukan saya yang akan memberikan penilaian. Tapi yang mulia lah nanti yang akan memberikanpenilaian. Sekalipun orang itu diusulkan menjadi Justice Collaborator, kalau yang mulai majelis hakim menolak dia untuk jadi JC dengan alasan sering berbohong, perilakuanya tidak baik dan seterusnya, tentu tidak bisa diterima dan tidak layak untuk disajikan di persidangan sebagai JC," pungkas Elwi.
LPSK Tetap Konsisten

Bukan kali ini saja kubu Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi berusaha menggugurkan status justice collaborator Bharada E.
Pada persidangan sebelumnya, kuasa hukum Ferdy Sambo menuding Bharada E berbohong soal sarung tangan yang digunakan Ferdy Sambo saat menembak.
Hal ini dipicu tampilan CCTV di depan rumah dinas Duren Tiga yang seolah-olah menunjukkan Ferdy Sambo berjalan tanpa menggunakan sarung tangan.
Kuasa hukum Ferdy Sambo pun ramai-ramai menuding Bharada E berbohong.
Padahal yang dikatakan Bharada E itu Ferdy Sambo menggunakan sarung tangan saat menembak, bukan saat berjalan menuju ke rumah dinasnya.
Meski demikian, tim kuasa hukum Ferdy Sambo terus menggiring opini untuk menyudutkan Bharada E dan menggugat status JC-nya.
Terkait hal ini, Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi menyebut status Bharada E sebagai pelaku penembakan adalah sebuah keniscayaan.
Tetapi dalam posisi sebagai pelaku, ada proses penyidikan yang mengalami hambatan dalam pembuktikan.
Dan Bharada E lah yang membuatnya terang.
Menurut Edwin, membuat terang proses penyidikan ini sudah tampak dan bisa dilihat dari bagaimana sikap hakim dan jaksa ketika meminta keterangan Bharada E. Dan bagaimana hakim dan jaksa mendalami keterangan terdakwa lainnya.
"itu arahannya sudah jelas tuh," ujar Edwin. dikutip dari tayangan MNC News Prime, Kamis (22/12/2022).
Menurut Edwin, itu menjadi poin pentingnya karena di undang-undang disebutkan bahwa JC harus membuat terang perkara.
Dan Bharada E sudah membuat terang yang awalnya coba ditutupi dengan segala macam rekayasa cerita seperti adanya persitiwa pelecehan seksual dan tembak menembak.
Bahkan, lanjut Edwin, Bharada E tak hanya membuat terang peristiwa pembunuhannya, tapi juga pidana obstruction of justice yang terjadi.
"Jadi kontribusi Bharada E itu bukan hanya mengungkap perkara pokok terkait pembunuhan Yosua. tapi juga ada rangkaian didukung, diperkuat dengan perbuatan obstruction of justice. Kalau Bharada E membuka di awal dimana pelaku lainnya menutup informasi keterangan," tegas Edwin.
Disinggung tentang kesaksian Bharada E terkait sarung tangan yang terus dimainkan kubu Ferdy Sambo, Edwin justru melihat fakta yang berbeda.
Fakta ini terkait tidak adanya sidik jari Ferdy Sambo di pistol Brigadir J yang selesai dipakainya.
"Bisa jadi Ferdy Sambo menggunakan sarung tangan atau sudah dihilangkan sidik jarinya," ujar Edwin.
Pendapat Edwin ini langsung disahut kuasa hukum Ferdy Sambo, Rasamala Aritonang.
"Pistol sudah pernah dipegang Richard, Ricky dan Pak Sambo. Kalau Pak Sambo menggunakan sarung tangan, mestinya Ricky dan Yosua harus tetap ada. Karena setelah menembakkan di dinding," sahut Rasamala yang hadir di acara itu.
Tak mau kalah, Edwin pun memberika komentar menohok pada Rasamala.
"Bahwa ketika kita mengetahui dan sekarang diperiksa di pengadilan adanya obstruction of justice, itu membuka ruang segala pembuktian itu dikaburkan," tegas Edwin.
"Kita tak perlu terjebak begitu dalam soal sarung tangan itu. Yang kita pidanakan bukan sarung tangannya, tapi soal pidananya. Siapa aktornya, siapa yang turut serta membantu segala macam," tukas Edwin.
Di bagian lain Prof Hibnu Nugroho menyebut status JC memang diharapkan 100 persen sesuai fakta di persidangan.
Tapi karena kemampuan pemikiran, situasi dan kondisi, menurutnya angkanya tidak harus 100 persen.
Menurutnya, yang penting JC sudah mampu memberikan kontribusinya.
"Syukur bisa 100 persen, 70 persen sudah bagus. Karena pembuktian pidana itu sulit," katanya.
Karena itu, kaitannya dengan senjata, bisa juga tidak bener.
Menurut Prof Hibnu, terkait JS ini biarlah jaksa dan majelis hakim yang akan mengujinya.
"Pada saat persidangan di penuntutan, apakah kontribusi di atas 50 atau kurang atau bahkan di bawah jauh. Kalau dalam pembuktian tidak memberi kontribusi bisa juga dicabut. Makanya nanti, dalam hal ini nanti hakim yang akan menentukan korelasi dengan kejernihan berpikir dari keterangan saksi sejak awal, alat bukti. Disinilah akan menilai berapa kontribusi eliezer dalam kasus Sambo," terang Prof Hibnu.
Prof HIbnu sendiri melihat sampai sejauh ini, Bharada E sudah mampu memainkan peran sebagai JC 80 persen atau di atas rata-rata.
"Karena daya ingat manusia, apalagi dalam kondisi tekanan melihat itu sulit, melihat sarung atau tidak, apalagi berkaitan dengan tembakan," tegasnya.
>>>Ikuti Berita Lainnya kasus Ferdy Sambo di News Google SURYA.co.id
Sebagian artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Ahli Pidana Sebut Hasil Lie Detector Tak Bisa Dijadikan Alat Bukti dalam Kasus Pidana
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.