Berita Malang Raya
Banyak Permintaan Pembangunan Rumah Tinggal, Lahan Sawah di Kota Batu Terus Berkurang
Jumlahnya terus menyusut pada 2020 menjadi 1.998,44 Hektare. Pada 2021, luasnya menjadi 1.736,51 Hektare.
Penulis: Benni Indo | Editor: Titis Jati Permata
SURYA.CO.ID, BATU - Di tengah ancaman krisis pangan global, luas lahan pertanian di Kota Batu terus berkurang.
Data Badan Pusat Statistik Kota Batu mencatat, pada 2018, total luas penggunaan lahan sawah irigasi di Kota Batu pada 2018 tercatat 2.4278,69 Hektare.
Pada 2019, jumlahnya menjadi 2.427,69 Hektare.
Jumlahnya terus menyusut pada 2020 menjadi 1.998,44 Hektare. Pada 2021, luasnya menjadi 1.736,51 Hektare.
Wakil Wali Kota Batu, Punjul Santoso mengatakan, salah satu upaya untuk mencegah banyaknya lahan pangan beralih fungsi melalui Perda RTRW.
"Kami berharap revisi Perda RTRW dipercepat, lalu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya lahan hijau," ujar Punjul, Senin (1/8/2022).
Punjul berpendapat, penyempitan lahan sawah terjadi karena banyaknya permintaan untuk pembangunan rumah tinggal.
Baca juga: Harga Sayuran di Kota Blitar Turun dalam Sepekan Terakhir, Bawang Merah Rp 30.000/Kg
Banyak perumahan baru yang dibangun di Kota Batu. Pun pembagian lahan dalam sebuah keluarga.
Punjul menjelaskan, kondisi itu bepengaruh terhadap turunnya lahan pertanian.
Dalam konteks lahan milik pribadi, Punjul menjelaskan bahwa Pemkot Batu tidak bisa berbuat banyak.
Misalkan sebuah keluarga membagi lahannya kepada anak-anaknya, lalu diperuntukkan sebagai tempat tinggal.
Pembangunan yang mengusung konsep pemandangan alam juga banyak memakan lahan pertanian sawah.
Tidak sedikit cafe-cafe didirikan di dekat persawahan. Menurut Punjul, tren ini tidak hanya terjadi di Kota Batu. Banyak daerah juga menghadapi tantangan serupa.
"Karena memang saat ini tren yang terjadi seperti itu. Ujungnya berdampak pada pengurangan lahan sawah itu tadi," ujarnya.
Selain itu perubahan komoditas pertanian juga menyebabkan perubahan fungsi lahan.
Penduduk banyak menggunakan lahan untuk menanam sayuran karena memiliki masa panen yang lebih cepat. Jauh berbeda dengan padi.
"Kalau tanaman pangan rata-rata bisa panen setelah tiga bulan. Sedangkan tanaman holtikultura bisa panen usia 40 hari. Maka dari itu ada juga yang melakukan pindah komoditas. Saat pindah ini, maka sudah tak bisa diperhitungkan lagi menjadi lahan sawah. Otomatis ada pengurangan luas lahan lagi," imbuhnya.
Anggota Komisi B, DPRD Batu, Saifuddin berpendapat, banyaknya alih lahan yang terjadi di Kota Batu karena kebutuhan ekonomi.
Maka untuk menanggulang hal tersebut, pemerintah harus bisa meningkatkan kesejahteraan warganya.
"Sehingga ini bukan hanya soal Dinas Pertanian, di sana juga ada Dinas Perdagangan dan lainnya. Inilah yang harus dikerjakan eksekutif," ungkapnya.
Saifuddin juga meminta agar pihak eksekutif bersungguh-sungguh bekerja dalam upaya menjaga lahan yang statusnya putih maupun hijau.
Jangan sampai terus dibiarkan budaya bangun dulu baru izin.
Sejauh pengalaman inspeksi oleh DPRD Batu, banyak ditemukan proses pembangunan perumahan yang dilakukan dulu sebelum adanya izin.
"Di sisi lain, Perda RTRW Kota Batu belum turun. Sebetulnya sudah pernah turun, namun ditarik kembali ke pusat setelah adanya bencana alam banjir bandang," paparnya.
Kepala Desa Pendem, Tri Wahyuwono Effendi mengatakan, lahan pertanian di wilayahnya seluas 200 hektar. Mayoritas merupakan lahan persawahan budidaya padi.
Luas areal pertanian separuh dari total luas wilayah Pendem yang mencapai 400 hektar.
Per tahunnya padi yang dipanen dari wilayah ini sekitar 2400 ton.
Rata-rata satu hektar bisa menghasilkan 6-7 ton di musim kemarau. Saat musim hujan susut 20 persen, menghasilkan 4-5 ton saja per hektarnya.
Secara geografis, Desa Pendem berbatasan dengan dua kecamatan wilayah administrasinya Kabupaten Malang.
Hal ini membuat banyak pengembang perumahan yang melirik kawasan ini untuk dialihkan menjadi bisnis properti.
“Ya kami harap agar petani tidak menjual sawahnya. Kami ingin mempertahankan ikon Desa Pendem sebagai sentra penghasil padi di Kota Batu,” ujar Effendi.
Diakuinya, beberapa area persawahan milik warga telah beralih fungsi. Kondisi itu cukup mengkhawatirkan meskipun tak terlalu signifikan luasannya.
Pemerintah Desa Pendem bersinergi dengan Diskumdag dan Dispertan untuk mempertahankan lahan pertanian.
"Ada perubahan alih fungsi lahan pertanian meski tak signifikan. Harapan saya, produksi beras di Desa Pendem bisa dipertahankan," imbuh dia.
Effendi mengatakan, dirinya tak membuat Perdes untuk mempertahankan lahan pertanian.
Pasalnya, instrumen itu tak akan efektif dibandingkan dengan memberikan terobosan yang berdampak pada kesejahteraan petani.
BACA BERITA SURYA.CO.ID DI GOOGLE NEWS LAINNYA
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/surabaya/foto/bank/originals/meningkatnya-permintaan-hunian-tempat-tinggal-di-Kota-Batu.jpg)