Soal Kasus Brigadir J, Susno Duadji Sorot Senjata Api Glock Milik Bharada E dan Sebut Tak Wajar

Susno Duadji soroti pembekalan senjata api Glock-17 pada Bharada E. Dia menyebut, tak semua polisi mendapat senjata itu.

Penulis: Akira Tandika Paramitaningtyas | Editor: Adrianus Adhi
Tribunnewswiki
Susno Duadji soroti pembekalan senjata api Glock-17 pada Bharada E. Dia menyebut, tak semua polisi mendapat senjata itu. 

SURYA.CO.ID - Kasus tewasnya Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J, kini menjadi sorotan banyak pihak.

Termasuk di dalamnya, ada Mantan Kabareskrim Polri Komjen Pol Purn Susno Duadji, yang ikut menyorot kejanggalan kasus Brigadir J.

Menurut Susno Duadji, bekal senjata api Glock-17 yang digunakan Bharada E saat baku tembak dengan Brigadir J, patut dipertanyakan.

Baca juga: Ikut Beri Analisis Kasus Brigadir J, Ini Biodata Soleman B Ponto Mantan Kepala Intelijen TNI

Melansir Tribunnews, Susno Duadji mengatakan bahwa tidak semua anggota polisi bisa mendapatkan senjata jenis tersebut, apalagi Bharada E merupakan anggota polisi berpangkat Bharada yang ada di level tamtama.

Susno Duadji pun menanyakan isu yang berembus tersebut ke Ex Kadivkum Polri, Irjen Pol Aryanto Sutadi.

Aryanto menyebut, selama ia bertugas di kepolisian.

Nyatanya prajurit kepolisian memang diijinkan menggunakan senjata api namun dengan ijin.

"Yang jadi pertanyaankan, seorang Bharada, prajurit kok menggunakan pistol, biasanyakan laras panjang, memang ada ijinnya?" terang Aryanto di akun youtube Polisi Ooh Polisi dengan judul "TRAGEDI DI RUMAH JENDERAL - KEJANGGALAN2 YANG MASIH JANGGAL".

Aryanto menjelaskan, selama menempati sejumlah jabatan di kepolisian, ia kerap kali didampingi oleh seorang ajudan.

Dan ia menerangkan, jika ajudannya tersebut memang dibekali dengan senjata api.

"Menurut penggunaan ijin, setiap anggota prajurit memang sudah dikantongi revolver, namun belakangan memang diganti dengan glock untuk ajudan ini," tegasnya.

Tak hanya itu yang menjadi pembahasan, namun yang menjadi isu ialah tentang kemampuan Bharada E yang mahir menembak.

"Kan seorang Bharada, masak sudah mahir menembak? begitukan pernyataannya? Tapi yang saya dengar sendiri dari komandannya. Bharada E ini memang seorang penembak jitu, ya jadi pantas saja," tegasnya.

Sementara Eks Kabareskrim Polri, Komjen Pol Purn Dr Ito Sumardi menjelaskan, jika dengan ancaman kejahatan yang begitu besar saat ini, maka sangat wajar jika seorang ajudan dibekali dengan senjata api.

"Saya ini juga pernah menjadi ajudan ya, senjata saya dulu itu revolver, sekarang kejahatannya meningkat, jadi ancaman besar, senjata juga diganti," terangnya.

Ito menjelaskan, hal tersebut berdasarkan pengalamannya sebagai Kapolda hingga Kabareskrim yang selalu didampingi oleh ajudan.

"Nah jadi pertanyaannya Tamtama diberi glock, itu tidak ada masalah, yang penting itukan pertanggung jawabannya. Memang sangat jarang seorang Bharada itu mendampingi pimpinan, pasti Bharada E ini adalah orang terpilih," tegasnya.

Sementara itu, Pengamat Kepolisian Bambang Rukminto mengatakan, seorang prajurit berpangkat Tamtama hanya boleh membawa senjata laras panjang dan sangkur.

Itu pun hanya saat prajurit tersebut berjaga dalam tugasnya.

Baca juga: UPDATE Kasus Brigadir J, Mantan Kepala Intelijen TNI: Jangan Sampai Polri Lindungi Pembunuh

Kemudian pada tingkat Bintara hanya dibatasi menggunakan senjata laras pendek, serta pada pangkat Perwira pun memiliki spesifikasi senjata tersendiri.

“Kalau kemudian penembak Bharada E ini menggunakan senjata Glock, ini melompat jauh karena Bharada E ini adalah level paling bawah di kepolisian,” kata Bambang Rukminto dalam keterangannya, Minggu (17/7/2022).

“Ini juga berkembang lagi Glock ini dari siapa dan fungsinya apa dalam diberikan kepada Bharada E ini,” lanjut dia.

Tak hanya itu, Bambang pun mempertanyakan penggunaan pistol berjenis HS-9 yang disebut bahwa digunakan oleh Brigadir J atau Brigadir Novriansyah Yoshua.

“Dalam rangka apa dia membawa senjata itu? Oke lah dalam rangka pengawalan, apakah memang diperlukan senjata otomatis untuk mengawal itu? Apakah negara ini benar-benar mencekam, sehingga diperlukan senjata-senjata pembunuh seperti itu?” ucapnya.

Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) itu pun lantas menyebutkan bahwa pada umumnya petugas kepolisian hanya membahwa senjata revolver dalam tugas penjagaan.

“Senjata organik yang digunakan Sabhara untuk mengawal distribusi uang kirim ke ATM-ATM itu cukup revolver, 6 peluru, sementara ini 17-18 peluru, seperti itu,” ucapnya.

Kendati demikian, ia pun mengakui adanya Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 1 Tahun 2022 yang menyebutkan bahwa penggunaan senjata atas rekomendasi pimpinan langsung.

Tetapi senjata yang direkomendasikan ini juga harus mengacu pada peraturan sebelumnya yang membatasi penggunaan senjata api tersebut.

“Kalau Tamtama ya maksimal revolver lah. Mengapa harus memakai Glock, hanya sekadar untuk mengawal Ibu Bhayangkari ke pasar, ngapain, jadi aneh semuanya,” katanya.

Mantan Kepala Badan Intelejen Strategis TNI Laksamana Muda (Purn) Soleman B Ponto menambahkan, senjata api jenis Glock di kalangan TNI hanya digunakan secara terbatas.

“Memang kalau istilah saya Glock itu senjatanya raja-raja itu. Jadi kalau di Bais itu hanya saya yang megang,” ujarnya.

Sedangkan senjata api yang digunakan ajudan, sambung Soleman, terikat pada aturan dasar.

Dirinya sebagai Kepala Bais pun tidak punya kewenangan untuk melanggar aturan dasar tersebut.

“Bahwa kalau dia senjatanya hanya FN, ya sudah FN, tidak bisa saya tingkatkan. Kalau saya tingkatkan, saya melanggar aturan atasnya kan,” ucap Soleman.

“Nah kalau ini sudah pasti aturan Kapolri. Kalau aturan Kapolri dilanggar, itu kenapa. Jadi aturan standar senjata pun itu ada aturannya,” lanjut dia.

Baca juga: UPDATE KABAR Istri Kadiv Propam Ferdy Sambo Saksi Penembakan Brigadir J: LPSK Turun Tangan

Komnas HAM Temukan Fakta Beda

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendatangi kediaman keluarga Brigadir J di Kabupaten Muaro Jambi.

Tak sebentar, dalam pertemuan selama lima jam itu, Komnas HAM rupanya menemukan sebuah fakta baru dan berbeda dari informasi yang diterima publik.

Hal itu seperti yang disampaikan langsung oleh Komisioner HAM Choirul Anam, seperti dilansir dari Kompas.com.

"Yang sudah beredar di publik (dengan yang kami dapatkan) sangat berbeda. Sangat membantu untuk menuju bagaimana terangnya peristiwa," ucapnya.

Sementara itu, Samuel Hutabarat yang tak lain ayah kandung Brigadi J berharap banyak kepada Komnas HAM untuk bisa mengungkap kasus itu sejelas-jelasnya.

Pihak keluarga menemukan sejumlah kejanggalan dalam kasus kematian Brigadir J di rumah singgah Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri Irjen Ferdy Sambo.

"Semoga Komnas HAM sebagai lembaga yang bisa dipercaya untuk membuka seterang-terangnya permasalahan ini," ujarnya, Sabtu (16/7/2022).

"Salah satunya adalah semua informasi harus bisa kami dapat. Ada mandat undang-undang (untuk Komnas HAM) memungkinkan untuk itu," terangnya.

Sebelumnya, Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti menegaskan, kejanggalan yang diungkapkan keluarga Brigadir J akan mendapat perhatian.

"Hal-hal yang dianggap janggal oleh pihak Keluarga akan menjadi perhatian kami. Kompolnas optimis kasus ini dapat diungkap secara profesional, transparan, dan akuntabel," tambahnya.

Ikuti Berita Lainnya di News Google SURYA.co.id

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved