Geliat UMKM di Bekas Dolly Surabaya
Kisah Para Eks Muncikari Dolly Surabaya Masa Kini, Ada yang Sukses Jadi Bos Batik, Punya Gym
Mami Bambang, Eks Mucikari Dolly yang kini sukses menjadi desainer dan mendirikan banyak tempat usaha
SURYA.co.id, SURABAYA - Tak banyak orang tahu tentang sosok Bambang Setyo, pria yang kini sudah menginjak usia ke 64 tahun. Padahal ia adalah satu di antara “raja” prostitusi di wilayah Dolly, dengan memiliki sekitar delapan wisma dan ratusan anak ratusan anak buah.
Sabtu (5/3/2022) pagi, seperti biasa pria yang akrab disapa Mami itu memulai harinya dengan membuka pintu pagar sebuah fitness centre di Jalan Jarak 46-48 Surabaya.
Ia bahkan melakukannya sendiri, meski terkadadang dibantu oleh seorang perempuan yang bekerja untuknya dalam mengelola bisnis gym itu. Rumah tinggal yang cukup besar itu disulap Bambang menjadi arena fitness guna menyambung hidup seusai hantaman gelombang penutupan lokalisasi Dolly Surabaya.
2014, adalah momen tak pernah dilupakan oleh mantan muncikari itu. Saat itu dia mengelola delapan wisma di kawasan Dolly. Antara lain Wisma Santai, Permata Biru, Bona Indah dan beberapa lainnya.
“Waktu itu sepulang saya ibadah umrah. Beberapa hari kemudian saya dapat labar bahwa Dolly akan resmi ditutup dan segala bentuk aktivitas prostitusi dilarang. Saya terkejut, tidak bisa berpikir saat itu,” kata Mami Bambang.
Ia menghela nafas,mengingat bagaimana runtuhnya “kerajaan” bisnis prostitusi yang konon terbesar di Asia Tenggara itu.
“Saya dulu bisa punya wisma, satu kemudian berkembang, dua tiga dan seterusnya ya dari bisnis itu (prostitusi),” katanya.
Bisnis itu digeluti pertama kali oleh Bambang pada tahun 90an. Namun, awal karirnya sebagai muncikari dimulai jauh sebelum itu, yakni menjadi anak buah Mami Dolly, yang kemudian menjadi julukan kawasan eks lokalisasi tersebut dan melegenda sepanjang massa.
“Tahun 70an, saya jadi anak buah mami Dolly langsung. Dia itu keturunan Belanda-Filipina. Awalnya masih dua atau lima wisma saja. Jalannya dulu sempit, belum ada aspal, jalan berbatu dan tanah cokelat itu,” ingat Bambang.
Perputaran uang yang cepat dan besar, membuat Bambang sempat menjadi salah satu “pengusaha” kaya. Bahkan, ia sempat membeli Toyota Alphard milik artis Sofia Latjuba di sebuan dealer mobil di Kertajaya.
Pascapenutupan Dolly pada 2014, Mami Bambang adalah salah satu orang yang kehidupannya berubah drastis. Sepulang dari ibadah umrah itu, ia seolah ditunjukkan jalan yang lebih baik untuk bertahan hidup, meski tidaklah mudah.
Ia kemudian mencoba peruntungan untuk kembali menggeluti dunia prostitusi di luar kota Surabaya. Di antaranya membuka rumah bordil di wilayah Bali, Kalimantan dan Jawa Tengah.
Namun, bukan keuntungan yang didapat, Mami Bambang justru bangkrut dan menjual banyak asetnya untuk menghidupi bisnis prostitusi yang akhirnya gulung tikar.
“Saya ingat almarhum ibu saya. Sudah waktunya berhenti (bisnis prostitusi). Nanti kalau Tuhan berkehendak, sekali ditiup semuanya akan runtuh,” kata Bambang menirukan pesan ibunya, sembari berkaca-kaca.
Mami Bambang lalu kembali ke Surabaya, mendirikan sebuah usaha Bengkel yang juga tak kunjung menguntungkan. Hingga pada 2015, ia kemudian menggunakan sebuah rumah yang tersisa dari usahanya di masa lalu, sebagai sebuah tempat fitness.
“Kebetulan anak angkat saya, ada yang suka gym. Lalu bilang, mami coba bikin gym saja. Akhirnya ya sudah, bismillah. Alhamdulillah sekarang sudah tujuh tahun berjalan, member saya sudah mencapai ribuan,” sebutnya.
Sebagai wujud pengabdian kepada masyarakat, Mami Bambang seolah ingin menebus kesalahan di masa lalu yang kelam. Ia membuka tempat fitness dengan mengedepankan konsep kekeluargaan dan kemanusiaan.
“Saya ingin memasyarakatkan olahraga gym ini. Saya kasih harga murah, cuma Rp 160 ribu. Itu pun kadang ada yang bayarnya telat. Saya tidak masalah.
Jangkauan saya menengah ke bawah, agar masyarakat di sini bisa sehat, bugar dan hasil akhirnya, bisa meningkatkan produktivitas karena kesehatan terjaga,” lanjutnya.
Selain berbisnis tempat fitness, Mami Bambang juga menggeluti dunia fashion. Ia memilih menjadi desainer batik dengan jangkauan kaum milenial. Beberapa desainnya juga sempat dipanggungkan dan berhasil menyabet tiga penghargaan di tiga event berbeda.
“Segmentasi saya milenial. Batik casual untuk milenial. Biar mereka punya kebanggaan pakai batik,” terangnya.
Kini, Mami Bambang hanya bisa berharap, lembar hitam yang telah ditutup berbuah manis di kemudian hari.
Penutupan Dolly pada 2014 juga berimbas pada warung kopi dan makanan milik Roro Dwi Prihatin Yuliastuti Sutanto (49). Lapaknya tidak pernah sepi dari kunjungan pembeli, di sekitar warungnya terdapat banyak sekali wisma.
Kini Dwi sudah memiliki usaha pengganti, yakni Keripik Samiler Jarak Dolly atau biasa disingkat Samijali. Usahanya ini berdiri satu tahun setelah penutupan Eks Lokalisasi Dolly.
Menurut Dwi, banyak sekali rintangan yang dihadapi saat merintis usaha tersebut. Sebelum Samijali lahir, ibu-ibu di kampungnya mendapat pelatihan dari Gerakan Menulis Harapan (GMH). Seperti memasak keripik mercon, kue kering, nugget lele, hingga mi ijo.
“Tapi dari semua itu tidak ada yang sreg. Lalu kemudian diberi pelatihan menggoreng keripik samiler. Akhirnya kami cocok dan ditekuni,” ujarnya, Jumat (11/3).
Dari situ kemudian ditingkatkan ke pelatihan membuat kemasan, menciptakan kreasi rasa hingga pemasaran produk. Tentu tidaklah mudah bagi Dwi, sapaan lekatnya, memulai inovasi tersebut.

“Dulu memasak di Balai RT. Lalu pindah tempat, hingga akhirnya diputuskan masak di bekas wisma,” bebernya.
“Sekarang dibantu saudara sama tetangga. Bahkan ada yang inisiatif menawarkan orang buat penambahan tenaga kerja. Mulai pengecekan stok, bahan baku, pembagian kirim produk, pengepakan sama pengepresan, dan menata produk di etalase,” jelasnya.
Keripik Samijali kini sudah dipajang di beberapa outlet dan hotel. Mulai dari Dolly Saiki Point, MERR, Siola dan Hotel Mercure
“Pernah diikutkan di Pameran Mlaku Mlaku Tunjungan sebelum pandemi, buat tamu kunjungan studi. Ada empat rasa, original, balado, keju, sapi panggang,” terangnya.
Masih kata Dwi, produknya sempat dipromosikan mahasiswa hingga tersebar ke Jogjakarta dan Medan. Bahkan mencapai mancanegara seperti Belanda, Jerman, Singapura.
“Harganya bermacam macam, ada yang Rp 12 ribu ukuran tanggung sampai Rp 17 ribu ukuran besar,” paparnya.
“Omzetnya dulu sebelum pandemi belasan hingga puluhan juta. Bahkan sempat dapat bantuan dari dosen berupa pelatihan dan alat bantu operasional,” jelasnya.
Berkelanjutan
Pemkot Surabaya memastikan pembangunan kawasan Dolly dilakukan secara berkelanjutan. Tak sekadar sebagai pusat ekonomi, juga kebudayaan.
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi menjelaskan, perhatian Pemkot bukan hanya kepada masyarakat umumnya saja. Namun, juga para anak muda. Apabila yang dewasa bisa berdaya lewat UMKM, maka yang muda diajak untuk berkarya lewat berbagai bidang ekonomi kreatif.
Sejak tahun lalu, pihaknya telah merencanakan pengembangan Dolly yang akan dilakukan keroyokan. Bukan hanya melibatkan lintas dinas, juga dengan dukungan pemerintah pusat bersama pihak swasta.
Satu di antara yang tengah digagas adalah pembuatan industri film di Dolly. Dalam tahap awal, film yang akan dibuat bercerita tentang Dolly masa lalu dan perkembangannya hingga masa kini.
Termasuk dengan penggiat perfilman, animator, maupun pekerja kreatif lainnya. Kolaborasi antara swasta dengan pemerintah tersebut diharapkan dapat memacu terciptanya industri kreatif di Kota Pahlawan.
Tahun ini, program ini mulai dikerjakan. “Sekarang masih disiapkan. Di antaranya, tentang pembuatan film kayak Dolly masa lalu,” kata Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi, Jumat (11/3).
“Ini sedang dikoordinasikan dengan teman-teman pariwisata (Dinas Kebudayaan, Kepemudaan, dan Olahraga serta Pariwisata (DKKORP) Surabaya),” lanjutnya.
Berdasarkan penjelasan Mantan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya era Wali Kota Tri Rismaharini ini, kawasan Dolly memiliki peluang besar dalam pengembangan ekonomi. Khususnya ekonomi kreatif.
Di antara yang terus dikembangkan adalah pengembangan UMKM. Dinas Koperasi Usaha Kecil dan Menengah dan Perdagangan (DKUKMP) telah turun.
Mereka akan membantu dalam hal pelatihan produksi hingga pemasaran. “Teman-teman di Dinas UMKM juga terus turun,” katanya.
Dalam hal pemasaran, misalnya. Pemkot telah memiliki Dolly Saiki (DS) Point sebagai tempat pemasaran produk UMKM di kawasan ini. “Wisatawan atau tamu daerah (perjalanan dinas) biasanya tertarik dengan tempat ini,” katanya.
Tak hanya di DS Point, Pemkot juga memiliki Surabaya Kriya Gallery (SKG). Tempat ini menjual produk UMKM seperti makanan, minuman, hingga produk pakaian yang di antaranya produk UMKM. (bob/fai/bri/pam/fir/zia)