Kisah ABH Tanpa Dokumen Adminduk
Dokumen Adminduk dan Pendampingan, Kunci ABH Membuka Masa Depan
Anak jalanan kerap mendapat cap buruk dari masyarakat. Apalagi, mereka yang kemudian berhadapan dengan hukum.
Penulis: Eben Haezer Panca | Editor: Eben Haezer Panca
SURYA.co.id | SURABAYA - Anak-anak jalanan kerap mendapat cap buruk dari masyarakat.
Mereka kerap dianggap meresahkan, bahkan mengganggu pemandangan.
Hal ini disampaikan oleh Ancha Maulana, aktivis dan pendamping anak di Surabaya Children Crisis Center (SCCC) yang dulu juga tumbuh di jalanan kota Surabaya.
Baca juga: Tanpa Dokumen Adminduk, Sulit Wujudkan Kepastian Hukum Bagi Anak yang Berhadapan Dengan HukumA
Bagi Ancha, istilah anak jalanan itu sendiri sebenarnya sudah bermasalah karena seringkali menempatkan mereka semata sebagai obyek lantaran dianggap tak kompeten.
“Istilah anak jalanan itu bermasalah karena menempatkan mereka pada posisi yang inferior. Dianggap tidak kompeten dan tidak bisa menentukan arah advokasi kepada mereka. Padahal dalam advokasi, suara-suara mereka mesti didengar,” kata Ancha, pekan lalu di Surabaya..
Ancha menambahkan, kalau dengan menyandang status sebagai anak jalanan saja sudah membuat mereka mendapat cap buruk, maka anak-anak jalanan yang terjerumus dalam tindakan pidana, bisa mendapat stempel yang lebih buruk lagi.
Stigma itu pada akhirnya membuat anak memandang dirinya sendiri sebagai sebuah kesalahan. Ironisnya, justru citra diri seperti inilah yang membuat mereka sulit berkembang dan memutus rantai kemiskinan serta kebodohan mereka.
Ancha percaya, membangun kesadaran pada anak jalanan, terlebih yang berhadapan dengan hukum, bukanlah hal yang mudah. Intervensi program apapun tidak akan bermanfaat apabila memang dari anak itu sendiri tidak ada kesadaran untuk berubah menjadi lebih baik.
Makanya, pendampingan menjadi hal yang penting yang harus tersedia bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Pendampingan itu, salah satu fungsinya adalah membuka kesadaran anak bahwa mereka punya potensi baik yang bisa dikembangkan, mereka berharga, dan bisa membuat perubahan.
Sayangnya, pendampingan hukum dan non-hukum, bukan sesuatu yang selalu tersedia untuk ABH.
Dalam riset tahun 2019-2020 oleh Puskapa (Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak) Universitas Indonesia dengan dukungan dari Unicef Indonesia dan Kementerian PPN/Bappenas RI, yang kemudian diterbitkan dalam laporan berjudul Kesempatan Kedua Dalam Hidup: Memulihkan Kesempatan bagi Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, ditemukan bahwa pemberian pendampingan non-hukum kepada ABH, tidak berjalan maksimal.
Penyebabnya, ada inkonsistensi dalam layanan pendampingan non-hukum yang diberikan oleh pekerja sosial profesional, pembimbing kemasyarakatan, unit pelindungan anak di daerah, dan organisasi masyarakat sipil. Inkonsistensi yang dimaksud meliputi ketersediaan, kualitas, dan hubungan layanan hukum dan non hukum.
Masih berdasarkan riset yang sama, di empat lokasi penelitian (Tangerang, Surabaya, Palembang, dan Kendari), ditemukan sebanyak 9% Anak yang diproses di pengadilan tidak didampingi oleh penasihat hukum karena kendala anggaran.
Kemudian, ditemukan pula fakta bahwa pekerja sosial adalah bentuk pendampingan yang kesediaannya paling sedikit untuk Anak selama proses peradilan.
"Wawancara dengan pekerja sosial menunjukkan bahwa ketidakhadiran pekerja sosial di pengadilan kemungkinan terkait dengan jumlahnya yang masih sedikit," demikian ditulis dalam laporan penelitian tersebut.