Kisah ABH Tanpa Dokumen Adminduk

Tanpa Dokumen Adminduk, Sulit Wujudkan Kepastian Hukum Bagi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum

sebagai pemegang masa depan, masih ada ABH (anak berhadapan hukum) yang saat ini keberadaannya tidak tercatat oleh negara karena tak memiliki adminduk

surabaya.tribunnews.com/eben haezer
Coretan di dinding Kedai Kopi Kala Rasa yang dikelola SCCC Surabaya 

Dia lantas menunjukkan UU nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Di pasal 1 ayat (3) UU tersebut tertulis: Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

Kemudian, di pasal 12 ayat 1 dijelaskan bahwa apabila anak belum berumur 12 tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, maka penyidik, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja profesional mengambil keputusan untuk menyerahkannya kembali kepada orangtua atau wali, atau mengikutsertakannya dalam program pendidikan pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 bulan.

“Kemudian di pasal 32 ayat 1 dan 2 disebutkan bahwa Penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan apabila anak telah berumur 14 tahun atau lebih dan diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 tahun atau lebih,” kata Tis’at.

“Nah, berarti untuk menentukan hak-hak apa yang diiliki ABH, kita mesti tahu berapa usianya. Itu hanya bisa dibuktikan dengan dokuman adminduk. Jadi, bagaimana dong kalau mereka tidak punya?” sambungnya.

Dia melanjutkan, ketiadaan dokumen adminduk ini selain menimbulkan ketidakpastian hukum bagi ABH, juga menyulitkan penyidik.

“Maka, kemudian Bapas (Balai Pemasyarakatan) bertugas melakukan tracing atau melacak identitas dan asal usul anak. Tapi ini juga tentu memakan waktu. Itu pun kalau kemudian memang ditemukan, kalau tidak, bagaimana?” imbuhnya.

Pusingkan Penyidik

Alif, rekan Tis’at di SCCC menambahkan, memang tak banyak ABH yang tak memiliki dokumen adminduk sama sekali. Namun dia memastikan bahwa mereka ada.

Lalu dia bercerita tentang seorang remaja di Surabaya yang beberapa tahun lalu pernah ia dampingi. Remaja itu, sebut saja namanya Arya, sejak kecil tinggal di jalanan, terpisah dari keluarganya. Remaja itu bahkan tak ingat lagi siapa orangtuanya karena lama tak berjumpa.

Untuk bertahan hidup sehari-hari kala itu, Arya yang tak punya akte kelahiran, KTP, maupun kartu keluarga, menjadi kernet dan sesekali mengamen.

Suatu hari, Arya membeli 2 ponsel dan 2 laptop sekaligus, dengan menggunakan uang yang dia kumpulkan dari bekerja. Barang-barang itu dia beli dengan harga murah. Namun ia tak curiga.

“Rencana dia (Arya), barang-barang itu disimpan, nanti kalau butuh uang, bisa dijual lagi,” kenang Alif.

Tapi tak lama setelah membeli barang-barang itu, Arya mesti berurusan dengan polisi. Dia ditangkap dengan tuduhan menjadi penadah barang curian. Polisi yang menangkapnya yakin dia memang penadah karena dia membeli sekaligus banyak.

Proses di kepolisian pun ternyata tak mudah bagi penyidik karena Arya tak memiliki dokumen kependudukan selembar pun. Saat dilakukan tracing identitas, petugas tak kunjung mendapat informasi yang memuaskan tentang siapa Arya sebenarnya.

“Petugas kesulitan mendapatkan informasi di mana dia lahir dan siapa orangtuanya. Kalau saja salah satu informasi itu ada, pasti akan lebih mudah bagi penyidik. Tapi dia (Arya) sendiri tidak tahu di mana orangtua kandungnya sekarang,” kata Alif.

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved