Liputan Khusus
News Analysis Pakar Pariwisata Universitas Ciputra : Wisatawan Domestik Bergerak Tetap dengan Prokes
Satu objek wisata itu harus tetap menjalankan protokol kesehatan (Prokes) dan melihat lalu mengkaji kapasitas tempatnya dia
Penulis: Luhur Pambudi | Editor: Titis Jati Permata
News Analysis
Agoes Tinus Lis Indrianto, S.S.,M.Tourism.,Ph.D,
Pakar Pariwisata Universitas Ciputra Surabaya
Dekan Fakultas Pariwisata Universitas Ciputra Surabaya
SURYA.CO.ID, SURABAYA - Saya tarik secara global dulu. Artinya memang kita mengharapkan wisatawan asing, itu jelas tidak bisa.
Beberapa kajian itu mengatakan baru 2022 baru bisa mulai dengan travel bubble-nya pemerintah Indonesia dengan Singapura atau Cina itu, wacana dari Pak Menteri Kemenparekraf-RI sudah demikian. Tapi itu kan belum dalam waktu dekat.
Mungkin harapannya 2021 akhir mungkin sudah mulai bisa. tapi kayak impian yang mungkin belum tentu kejadian, tapi baru bisa normal itu 2024, itu pun masih 50 persen, kajian-kajian seperti itulah.
Artinya adalah kita bagaimana membangkitkan nasional kita. Itu dengan cara wisatawan domestik. Jadi wisatawan domestik ini harus gerak.
Wisata domestik dari mana? Kalau kita manusia Indonesia ini kan 250 juta orang, anggap saja ambil 10 persennya, yaitu 25 juta orang.
Kalau 25 juta orang ini bergerak pariwisata domestik ini sudah bisa hidup. Dalam kondisi kan seperti ini, kan memang selalu ada dualisme.
Di mana-mana Mas Menteri bilang; ayo mulai berwisata. Tapi di sisi lain kampanye 5 M-nya tetap dijalankan, meminimalkan mobilitas.
Sedangkan pariwisata ini tidak bisa hidup tanpa mobilitas, kuncinya di situ. Pariwisata ini enggak mungkin terjadi kalau orang itu diam di rumah saja. Konsep dasarnya seperti itu.
Sehingga ketika ada himbauan; oke boleh bergerak, tapi tidak boleh jauh-jauh, anggaplah seperti itu.
Ini bisa memberikan nafas sedikit lega untuk para pelaku pariwisata khususnya di luar daerah.
Daerah-daerah itu bisa mulai kunjungan wisatawan bisa naik dan sebagainya. Karena orang tidak boleh keluar, ya sudah ke objek wisata lokal.
Cuma ini juga ada potensi, harus ada catatan, yaitu pokoknya harus ketat. Enggak boleh ngawur gitu ya.
Jadi kebijakan untuk boleh berwisata dalam dalam regional lokal ini, itu boleh, dan itu bagus, menurut saya. Tapi, harus kapasitas objek wisatanya, itu harus dijaga terus dan dijaga betul.
Jangan dan tidak boleh di-los-kan atau dinormalkan seperti tidak terjadi pandemi.
Jadi satu objek wisata itu harus tetap menjalankan protokol kesehatan (Prokes) dan melihat lalu mengkaji kapasitas tempatnya dia. Prokesnya juga harus ketat.
Menurut saya belum ada, kajian-kajian dari pemerintah; Kalau misalnya kamu mau jalan-jalan ke kebun binatang. Kalau kamu patuh cuci tangan, jaga jarak, pakai masker, itu aman. Kampanye itu belum ada.
Kajian atau iklan layanan sosial atau kampanye-kampanye itu belum ada. Kalau kita ngomong konteks pariwisata; bagaimana menurut orang itu berani berwisata, tapi dengan disiplin untuk kesehatan, itu belum ada.
Baca juga: Kapolres Gresik Cek Kantor Polisi di Wilayah Utara Kabupaten Gresik
Baca juga: Gus Ipul Gratiskan Rapid Tes Antigen untuk Santri yang Kembali ke Ponpes
Saya tidak pernah melihat itu ada kampanye di radio ataupun media atau di koran ataupun apa pun media sosial, menyatakan ayo berwisata, dari sisi wisatawannya.
Kalau dari sisi pengusahanya, kan banyak. Iklan-iklan menyatakan bahwa ini cuci tangan dulu, banyak. Tapi dari sisi; mengajak wisatawannya itu, belum ada persetujuan di situ.
Mungkin pemerintah ada budget untuk bisa mengalokasikan anggarannya itu untuk ke situ.
Tujuannya untuk meningkatkan motivasi wisatawan domestik dan meningkatkan kepercayaan diri untuk berani traveling lagi. Tapi disiplin prokesnya ketat.
Selama ini yang ada itu, kampanye prokes; cuci tangan di hotel. Tapi kan itu memang aturan SOP CHSE, bahkan ada videonya lengkap. Makanya sehingga orang itu kan masih ragu dalam berwisata.
Kuncinya, kalau itu bisa ditimbulkan, orang masih lebih banyak berwisata.
Tapi kalau di sisi pengusaha, menurut saya, silakan buka tapi properti harus ketat, tapi kapasitas tempatnya harus dijaga.
Bentuknya sosialisasinya seperti apa bisa sosial media, kampanye iklan di sosial media.
Atau mungkin bisa menggandeng perguruan tinggi untuk membuat kajian riset.
Karena orang cenderung mempertanyakan; apa buktinya kalau wisata saat ini aman. Maka bisa kita jawab. Ini lho ada penelitian ilmiah kampus yang mengatakan bahwa pariwisata secara ketat prokes sudah ada indikasinya.
Misal riset dari Universitas Ciputra, ITS, Unair, atau Universitas Brawijaya. Akhirnya membuat orang yakin.
Yang jadi masalah adalah pemerintah dengan adanya budget. Tapi biasanya yang paling banyak saya temui adalah (riset) mencari cari tahu dampak Covid-19 terhadap industri perhotelan atau restoran. Itu kan jelas, terdampak semua. Hanya sebatas itunya saja.
Jadi kita ini sudah enggak bisa lagi menunggu pandemi selesai. Seperti Pak Jokowi bilang, kita harus bisa hidup dengan pandemi.
Dan satu lagi, pemerintah juga bisa bilang seperti ini pada pemilik objek wisata; objek wisata boleh buka.
Tapi kalau ada klaster baru tercipta dari objek wisata itu, maka akan ditutup langsung.
Artinya harus berani bilang seperti itu, agar pihak wisata serius menerapkan prokes.