Siap Buru KKB Ali Kalora, Brigif Linud 18/Trisula Kostrad Punya Reputasi Moncer Tumpas Separatis
Siap memburu sisa anggota KKB Ali Kalora, para prajurit TNI Brigif Linud 18/Trisula Kostrad yang dikirim ke Poso ternyata bukan prajurit sembarangan.
Penulis: Putra Dewangga Candra Seta | Editor: Adrianus Adhi
Wahyudi tewas saat dilarikan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Poso akibat luka tembak di dagu kiri dan menembus leher belakang.
4. Kematian Santoso
Pada 18 Juli 2016, kontak tembak terjadi di pegunungan sekitar Desa Tambarana, Poso Pesisir Utara, sekitar pukul 17.00 WITA.
Dalam baku tembak yang berlangsung sekitar setengah jam itu, dua orang tewas, dan mereka adalah Santoso dan Mukhtar.
Basri yang awalnya diperkirakan tewas (belakangan ternyata Mukhtar), berhasil kabur.
Kepala Satuan Tugas Operasi Tinombala Kombes (Pol.) Leo Bona Lubis mengungkapkan, kepastian Santoso tewas diperoleh dari hasil identifikasi fisik luar dan dari keterangan saksi-saksi.
Penyerbuan terhadap kelompok Santoso dilakukan sekitar pukul 16.00 WITA oleh anggota satgas bersandi Alfa-29 yang terdiri atas sembilan orang prajurit Yonif Raider 515/Kostrad.
Saat melaksanakan patroli di pegunungan Desa Tambarana, mereka menemukan sebuah gubuk dan melihat beberapa orang tidak dikenal sedang mengambil sayur dan ubi untuk menutup jejak.
Mereka juga menemukan jejak di sungai dan terlihat tiga orang di sebelah sungai namun langsung menghilang.
Tim satgas ini kemudian berupaya mendekati orang-orang tak dikenal itu dengan senyap. Setelah berada dalam jarak sekitar 30 meter, mereka kemudian terlibat kontak senjata sekitar 30 menit.
Setelah dilakukan penyisiran seusai baku tembak, ditemukan dua jenazah dan sepucuk senjata api laras panjang. Sedangkan tiga orang lainnya berhasil kabur.
Dua jenazah, yakni Santoso dan Mukhtar, kemudian dievakuasi pada Selasa pagi ke Polsek Tambarana, Poso Pesisir Utara.
Hanya beberapa menit di Polsek Tambarana, jenazah kedua buronan dalam kasus terorisme itu diterbangkan dengan sebuah helikopter menuju Bandar Udara Mutiara SIS Al-Jufrie Palu.
5. Penangkapan Basri dan kematian anggota lainnya
Pada 14 September 2016, Basri bersama istrinya ditangkap oleh Satgas Operasi Tinombala. Mereka ditangkap tanpa melakukan perlawanan sama sekali. Dia dan istrinya kemudian di bawa ke Palu untuk diperiksa atas keterlibatannya dalam kelompok Santoso.
Pada 14 September 2016, seorang terduga teroris ditemukan tewas di pinggir Sungai Puna di desa Tangkura, Poso Pesisir Selatan, sekitar pukul 9:30 pagi waktu lokal (WITA).
Orang tersebut kemudian diidentifikasi sebagai Andika Eka Putra, salah satu DPO.
Berdasarkan informasi dari Kapolda Sulawesi Tengah, Brigjen. Pol. Rudy Sufahriadi, Andika tewas karena kepalanya terbentur batu pada saat dia akan menyeberangi sungai. Tim satgas kemudian diturunkan ke lokasi untuk mengambil jenazah dan dibawa ke RSUD Poso.
Pada 19 September 2016, Satgas Operasi Tinombala Charlie 16, sedang berpatroli di wilayah perkebunan Tombua dan tiba-tiba bertemu dengan Sobron, salah satu DPO.
Sobron kemudian terpojok dan mengambil granat dari sakunya setelah dia diminta untuk menyerah.
Belum sempat melempar granat tersebut, Satgas kemudian menembaknya di kepala karena dia tidak mau menyerah. Di tubuhnya ditemukan empat granat dan dua machete.
Pada tanggal 10 November 2016, Yono Sayur ditembak mati oleh pasukan gabungan setelah sebelumnya mencoba melarikan diri.
6. Digantikan Ali Kalora

Ali Kalora merupakan seorang militan Islam Indonesia dan merupakan pemimpin MIT menggantikan Santoso.
Ali Kalora dan kelompoknya diduga bersembunyi di hutan belantara di sekitar Kabupaten Poso dan Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah.
Setelah Santoso tewas pada tanggal 18 Juli 2016, dirinya diduga menggantikan posisi Santoso sebagai pemimpin di kelompok MIT bersama dengan Basri.
Setelah Basri ditangkap oleh Satgas Tinombala, Kapolri Jenderal Pol. Tito Karnavian menetapkan Ali Kalora sebagai target utama dari Operasi Tinombala
Ali Kalora lahir di Desa Kalora, Kecamatan Poso Pesisir Utara, Poso.
Ia memiliki seorang istri yang bernama Tini Susanti Kaduka, alias Umi Farel.
Nama "Kalora" pada namanya, diambil dari desa tempatnya dilahirkan, sehingga nama Ali Kalora seringkali digunakan di media massa
Ali Kalora merupakan salah satu pengikut senior Santoso di kelompok Mujahidin Indonesia Timur.
Setelah kematian Daeng Koro—salah satu figur utama dalam kelompok MIT, Ali dipercayakan untuk memimpin sebagian kelompok teroris yang sebelumnya dipimpin oleh Daeng Koro.
Faktor kedekatannya dengan Santoso dan kemampuannya dalam mengenal medan gerilya membuat ia diangkat menjadi pemimpin.
Peneliti di bidang terorisme intelijen dari Universitas Indonesia, Ridwan Habib, berpendapat bahwa Ali Kalora adalah sosok penunjuk arah dan jalan di pegunungan dan hutan Poso.
Ini karena Ali merupakan warga asli dari Desa Kalora, Poso, sehingga dirinya diyakini telah menguasai wilayah tempat tinggalnya.
Menurut Kapolda Sulawesi Tengah saat itu, Brigjen. Pol. Rudy Sufahriadi, Ali Kalora adalah sosok radikal senior di kalangan gerilyawan di Poso.
Ia menyebut bahwa Ali Kalora berpotensi menjadi "Santoso baru" karena latar belakang pengalamannya yang cukup senior.
Meski demikian, ia yakin kekuatan gerilya di bawah kepemimpinannya tidak akan sebegitu merepotkan dibandingkan Santoso.
Kapolri Jenderal Pol. Tito Karnavian menilai bahwa Ali tidak memiliki kemampuan kepemimpinan yang sama dengan Santoso dan Basri, begitu pula dengan spesialisasi dan militansi.(Michael Hangga/Putra Dewangga/Kompas dan Wikipedia/Surya.co.id)