Imlek di Surabaya

Penjelasan Dosen Sejarah Unair terkait Barongsai dan Leang-leong Tak hanya Dimainkan Warga Tionghoa

“Imlek itu tak ada kaitannya dengan Khonghucu. Imlek dilakukan oleh masyarakat petani saat musim semi musim atau awal bercocok tanam," tandas Shinta.

Editor: Parmin
foto: http://isejarah.fib.unair.ac.id/
Shinta Devi Ika Santhi Rahayu SS MA, Dosen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Unair. 

DOSEN Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Unair Shinta Devi Ika Santhi Rahayu SS MA
menjelaskan, pemain barongsai dan leang-leong  tak hanya diisi warga Tionghoa,
bukan berarti penurunan gairah masyarakat Tionghoa untuk melestarikan budayanya.

Menurutnya, justru semangat melestarikan budaya itu menular ke masyarakat Indonesia.

Ini juga sebagai bukti, bila masyarakat Indonesia menerima warga Tionghoa beserta
kebudayaannya.

Selain itu, mereka juga telah menganggap warga Tionghoa merupakan saudara
sebangsa.  Di saat itu pula proses integrasi tercipta.

Dikatakan Shinta, proses integrasi bisa terjadi karena manusia merupakan makhluk sosial yang
saling berinteraksi dan melakukan mobilitas.

Dalam berinteraksi, mereka bakal mengenalkan budaya masing-masing hingga mempelajarinya.

Lantas terbentuklah rasa saling memiliki budaya antar satu sama lain.

Dari situ, maka tak heran jika warga Tionghoa suka wayang kulit. Bahkan ada yang sampai
menjadi dalang wayang kulit.

Seperti di Kelenteng Boen Bio. Setiap hari lahir Nabi Khonghucu, pengurus Kelenteng Boen Bio menggelar pentas wayang kulit.

Penonton pagelaran wayang kulit itu tentu warga Tionghoa.

Di sisi lain, di Kelenteng Hong Tiek Hian atau Kelenteng Dukuh seorang dalang wayang potehi,
adalah warga Surabaya.

Yang menonton pagelaran wayang potehi tak hanya warga Tionghoa saja, melainkan warga Surabaya.

Jadi, tak hanya barongsai dan leang-leong saja yang pemainnya warga non-Tionghoa.

Dari situ, lanjutnya, bisa kita lihat masyarakat Tionghoa, masyarakat Surabaya dan sekitarnya
bisa hidup harmonis.

“Nyatanya, kerukunan antarmasyarakat mudah dibangun dengan kesenian. Berbeda lagi jika kehidupan bermasyarakat dibangun dengan kepentingan politik, akan berjalan kaku,” kata Shinta Devi.

Selain itu, di sejumlah daerah memiliki ciri khas tersendiri dalam merayakan Imlek.

Misalnya, di Jogja ada tradisi tumpengan kala warga Tionghoa merayakan Imlek.

Begitu juga di Solo, ada perpaduan budaya Jawa dan Tionghoa saat perayaan Imlek, yakni Grebeg Sudiro.

Berbagai bentuk potensi sejumlah wilayah di Solo dan sekitarnya, utamanya Kampung Sudiroprajan, baik dalam bentuk Gunungan, Jodang, kesenian, replika, kostum, dan sebagainya
dihadirkan dalam kirab itu.

“Sebaliknya pula, warga Tionghoa juga turut melestarikan budaya Jawa. Salah satunya
Kelenteng Cokro yang merayakan Malam 1 Suro,” ujarnya.

Sementara itu, semua orang boleh merayakan Imlek. Sebab, tak ada hubungannya dengan agama.

Imlek merupakan salah satu tradisi masyarakat Tionghoa. Dalam tradisi ada ritual yang berkaitan
dengan pemujaan serta sembahyang kepada tuhan dan dewa.

Ataupun juga sebagai bentuk penghormatan dan terima kasih kepada alam semesta.

“Jadi Imlek itu tak ada kaitannya dengan Khonghucu. Imlek dilakukan oleh masyarakat petani
saat musim semi musim atau awal bercocok tanam," tandas Shinta.

"Mereka meyakini bahwa pada musim semi adalah awal yang baik. Maka dari itu ada kepercayaan dari masyarakat China bahwa awal yang baik harus diawali dengan harapan baik pula supaya bisa tercapai di sepanjang tahun atau tahun
berikutnya,”imbuhnya.

Lalu harapan itu disimbolkan beragam macam kesenian, warna pakaian, dan makanan. Simbol-
simbol itu semuanya mengandung filosofi baik. 

Kemudian pada perkembangannya perayaan Imlek juga dilakukan masyarakat lain. Penyambutan musim semi juga jadi penyambutan awal pergantian tahun.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved