Berita Gresik
Penjelasan Kadinkes Gresik soal Penyebab Dokter Spesialis di RSUD Umar Mas'ud Bawean Sering Kosong
Ketua Komisi IV DPRD Gresik, Muhammad mengaku prihatin atas kondisi ini. Apalagi, tidak ada dokter spesialis di Pulau Bawean.
Penulis: Willy Abraham | Editor: Parmin
SURYA.co.id |GRESIK - Kekosongan sejumlah dokter spesialis di RSUD Umar Mas'ud mulai terkuak.
Dinas Kesehatan Gresik mengungkapkan pihaknya bergantung kepada Dinkes Provinsis Jawa Timur dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk ketersediaan dokter spesialis.
Ketua Komisi IV DPRD Gresik, Muhammad mengaku prihatin atas kondisi ini. Apalagi, tidak ada dokter spesialis di Pulau Bawean.
Muhammad mengungkapkan hal itu dalam hearing bersama Dinas Kesehatan (Dinkes) Gresik serta Direktur RSUD Umar Ma’sud, dr Tony S. Hartanto, Kamis (16/1/2020).
“Bagaimana ini. Kita memiliki RSUD Ibnu Sina yang menjadi rujukan pasien regional, tapi kita lupa dengan pelayanan masyarakat Gresik sendiri. RSUD Umar Mas’ud yang juga milik pemerintah daerah justru tak diperhatikan," ujarnya Kamis (16/1/2020).
Menurutnya, pemerintah daerah harus memprioritaskan masyarakatnya sendiri entah itu di Gresik atau Bawean.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Dinkes drg Saifudin Ghozali menjelaskan, Dinkes Gresik dan RSUD Umar Masu’d sudah berupaya memenuhi kebutuhan dokter spesialis disana.
Pada awal berdiri, RSUD Umar Mas’ud pada tahun 2018. Ada dokter spesialis karena waktu itu, ada program Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS) pada tahap I.
“Langsung kita ajukan ke Kementerian Kesehatan untuk 5 dokter spesialis yakni dokter spesialis anak, dokter spesialis penyakit dalam, dokter spesialis anestesi, dan dokter spesialis kandungan. Akhirnya pengajuan disetujui dan kita dapat 5 dokter spesialis bertugas di RSUD Umar Mas'ud," kata dia.
Sebelum masa kontrak dokter spesialis dalam program WKDS tahap I habis. Pihaknya lanhsung mengajukan WKDS tahap 2 pada bulan Oktober tahun 2018. Namun, belum ada jawaban hingga akhir tahun 2018.
“Kita langsung bersurat lagi pada tanggal 4 Januari 2019, kita kirim surat lagi ke Kemenkes. Dan jawaban dari Kemenkes, kita hanya dijatah 3 dokter spesialis," tutur Ghozali.
"Yakni, dokter spesialis bedah, spesialis penyakit dalam, dan kandungan.Ternyata, baru beberapa bulan menjalankan tugas, dokter spesialis kandungan mengundurkan diri. Alasannya insentif daerah terlalu kecil yakni hanya 10 juta per bulan sesuai perbup (peraturan bupati),” tandas dia.
Akhirnya, Dinkes Gresik mengajukan perubahan perbup. Dan bupati menyetujui insentuf daerah dinaikkan menjadi sebesar Rp 20 juta perbulan. Prahara datang lagi pada Mei 2019, ada gugtan ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena program WKDS dianggap kerja paksa. Sehingga diubah menjadi suka rela.
Program WKDS yang kalah gugatan di MK akhirnya berubah menjadi Pendayagunaan Dokter Spesialis (PGDS). Sehingga kerja dokter spesialis yang sebelumnya wajib menjadi suka rela.
“Kemudian pada Juni 2019, kita dapat dokter spesialis kandungan dan anastesi dari Dinkes Provinsi Jatim. Pada bulan Agustus 2019, kami dapat 1 dokter spesialis kandungan dari PGDS. Untuk kontrak 6 September 2019 sampai 31 Agustus 2020. Namun, kontraknya dokter spesialis anastesi hingga Oktober 2019. Ketika kontrak habis, kita kirim surat ke PPSDM Dinkes Provinsi Jatim dan Kemenkes tetapi tak ada jawaban,” terangnya.
