Kilas Balik
Momen Menegangkan Mahasiswa Datangi Rumah Soeharto Setelah Lengser, Mimik Wajah Pak Harto Berubah
Sekelompok mahasiswa mengalami momen menegangkan saat berkunjung ke rumah Soeharto setelah setahun presiden ke-2 RI itu lengser
Penulis: Putra Dewangga Candra Seta | Editor: Adrianus Adhi
Ia merasa langkah pengamanan ketat tersebut untuk menyelamatkan Indonesia dari sebutan "bangsa barbar".
"Coba bayangkan, pada waktu itu ribuan massa bergerak ke Cendana untuk melakukan apa yang disebut 'pengadilan rakyat', yakni menghabisi mantan presiden dan keluarganya dengan cara mereka, pasti akan sangat keji dan brutal," kata Wiranto.

Di tengah situasi itu, Wiranto mendapat informasi dari wartawan asing bahwa akan timbul lagi korban tewas pada saat bentrok dengan aparat di sekitar Cendana. Hal itu untuk membangkitkan amarah massa.
Karena itu, Wiranto meminta Kapolda menggelar barikade kawat berduri untuk mencegah bentrokan langsung.
Berdasarkan pemberitaan Kompas, Jalan Cendana masih tertutup untuk umum, dan penjagaan masih sangat ketat sampai November 1998.
Para petugas keamanan itu berjaga-jaga di lima titik ujung (persimpangan) jalan yang langsung mengarah ke Jalan Cendana.
Kelima titik itu adalah Jalan Tanjung, Jalan Yusuf Adiwinata, Jalan Kamboja, Jalan Rasamala, dan Jalan Suwiryo.
Para petugas yang berjaga-jaga berasal dari Brigade Infanteri 1 Pengamanan Ibu Kota/Jaya Sakti (Brigif-1 PIK/JS) Kodam Jaya dan satuan perintis Polda Metro Jaya.
Pada Kamis, 19 November 1998, sekitar 8.000 mahasiswa sempat bergerak menuju kediaman Soeharto.
Namun, mereka gagal mencapai Jalan Cendana karena ketatnya blokade.
Dalam bukunya yang berjudul Bersaksi di Tengah Badai, Wiranto membantah bahwa penjagaan tersebut dilakukan atas instruksi dari Cendana kepada ABRI.

Wiranto mengatakan, semenjak Soeharto berhenti sebagai Presiden, maka tidak ada lagi hubungan struktural antara ABRI dan Soeharto.
"Dengan demikian, pasti beliau tidak akan mau memberi perintah kepada saya selaku pejabat negara," kata Wiranto.
"Saat itu, saya sungguh khawatir karena kemarahan dan dendam yang demikian mendalam membuat kita lupa untuk menjaga martabat bangsa kita yang dikenal berbudaya, memiliki toleransi, dan sangat kental dengan sikap religius," ujar Wiranto.
Hingga kini, selalu muncul pertanyaan di benak Wiranto, bagaimana jika Soeharto ketika itu tidak dijaga dan kemudian terjadi hukum rimba atau pengadilan rakyat.
"Bagaimana martabat bangsa Indonesia di mata dunia? Apakah dengan cara seperti itu lantas semua tuntutan dan keinginan dari semua pihak sudah terpuaskan?" kata Wiranto.