Kilas Balik

Benny Moerdani 'Menyusup' Dalam Operasi Pembebasan Pesawat Woyla, Cuma Pakai Jaket Hitam & Pistol

Meski jabatannya adalah sebagai Kepala Pusat Intelijen Strategis, Letjen Benny Moerdani malah 'menyusup' dalam Operasi Pembebasan Pesawat Woyla

Kolase Tribun Jabar
Meski jabatannya adalah sebagai Kepala Pusat Intelijen Strategis, Letjen Benny Moerdani malah 'menyusup' dalam Operasi Pembebasan Pesawat Woyla 

SURYA.co.id - Meski jabatannya adalah sebagai Kepala Pusat Intelijen Strategis, Letjen Benny Moerdani malah 'menyusup' diantara para prajurit Kopassus dan turut serta dalam operasi pembebasan pesawat Woyla, yang saat itu tengah ditimpa aksi pembajakan

Tragedi pembajakan pesawat DC 9 Woyla merupakan sebagai peristiwa terorisme pertama dalam sejarah maskapai penerbangan Indonesia.

Saat itulah Komando Pasukan Sandi Yudha (Koppasandha) atau yang sekarang bernama Komando Pasukan Khusus (Kopassus) memperlihatkan kehebatannya.

Seperti dilansir dari buku Benny Moerdani Yang Belum Terungkap' ,Tempo, PT Gramedia, 2015

Pada 28 Maret 1981, pesawat DC 9 Woyla dengan rute Jakarta-Medan itu transit di Bandara Talangbetutu Palembang.

Beberapa saat setelah lepas landas menuju Bandara Polonia Medan, pembajakan itupun terjadi.

Baca: Hasil Penelitian, Ahok Kalah Bukan karena Isu Agama, Sudjiwo Tedjo Takut Terulang di Pilpres 2019

Baca: Benny Moerdani Pimpin Operasi Naga di Irian Barat, Pakai Strategi Kucing-kucingan Hadapi Belanda

Baca: Kunjungan Presiden Soeharto ke Belanda - Benny Moerdani Mengamuk, Rumah Duta Besar RI Diserbu RMS

Pembajak pesawat milik Garuda Indonesia ini adalah kelompok yang menamakan dirinya sebagai Komando Jihad.

Pesawat dengan nomor penerbangan 206 itu dibajak di udara antara Palembang-Medan sekitar pukul 10.10 WIB.

Pesawat DC 9 Woyla tersebut kemudian dibelokkan menuju bandara internasional Penang, Malaysia.

Terdapat 48 penumpang di dalam pesawat, meliputi 33 penumpang terbang dari Jakarta dan sisanya dari Palembang.

Pesawat DC 9 Woyla akhirnya tiba di Penang sekitar pukul 11.20 WIB untuk mengisi bahan bakar.

Saat itu, pembajak menurunkan seorang penumpang bernama Hulda Panjaitan.

Pembajak juga tidak memberitahukan ke mana tujuan mereka berikutnya.

Berhubung pesawat DC 9 Woyla ini hanya digunakan untuk rute dalam negeri, maka tidak dilengkapi peta untuk rute penerbangan internasional.

Usai melontarkan tuntutannya pada pemerintah Indonesia, pesawat DC 9 Woyla kemudian diterbangkan ke Bangkok

Puncak pembajakan pesawat DC 9 Woyla terjadi pada 31 Maret 1981, di Bandara Mueang, Bangkok, Thailand.

Karena saat itulah dilaksanakan Operasi pembebasan

Kala itu, pasukan yang diterjunkan adalah pasukan Grup 1 Koppasandha.

Operasi tersebut di bawah komando Kepala Pusat Intelijen Strategis, Letjen Benny Moerdani.

Adapun Letkol Infanteri Sintong Panjaitan ditunjuk menjadi pemimpin operasi di lapangan.

Pada Selasa (31/3/1981) sekitar pukul 02.30 WIB, pasukan Kopassus mulai bergerak setelah mendapat persetujuan dari pemerintah Thailand.

Saat penyerbuan, pasukan terbagi dalam lima tim.

Tiga tim bertugas menyerbu ke dalam pesawat, dua lainnya bersiaga di luar.

Tim pertama dipimpin Kapten Untung Suroso yang akan masuk dari pintu darurat depan.

Tim kedua dipimpin Letnan Dua Rusman AT yang bertugas menyerbu dari pintu darurat atas sayap kiri pesawat.

Adapun pemimpin tim ketiga adalah calon perwira Ahmad Kirang yang masuk melalui pintu ekor pesawat.

Sekitar pukul 02.00, tim bergerak mendekati pesawat dengan menaiki mobil VW Komi.

Para pasukan Kopassus, termasuk Benny Moerdani berdesak-desakan dalam mobil itu.

"Saya duduk di atas anak-anak. Injek-injekan," kata Benny Moerdani dalam buku Benny: Tragedi Seorang Loyalis.

Baca: Cara Mengolah Bawang Putih Jadi Obat Manjur Turunkan Kolesterol & Darah Tinggi, Tanpa Bahan Kimia

Baca: Persyaratan CPNS 2018: List Dokumen & Foto yang Diunggah di sscn.bkn.go.id Beserta Format dan Ukuran

Baca: Fitur Baru WhatsApp (WA) Dark Mode Dikabarkan Akan Segera Hadir, Berikut Bocoran Informasinya

Berjarak sekitar 500 meter dari ekor pesawat, para pasukan pun mulai berjalan kaki.

Saat itulah Benny Moerdani menyusup ke barisan tim Ahmad Kirang.

Penampilannya berbeda dari yang lain. Benny Moerdani memakai jaket hitam dan menenteng pistol mitraliur.

Letkol Infanteri Sintong Panjaitan yang menjadi pemimpin operasi lapangan menjelaskan bahwa kehadiran Benny itu di luar skenario.

"Ini di luar skenario," ujarnya dalam buku 'Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando.'

Namun pada akhirnya Sintong membiarkan Benny Moerdani untuk tetap dalam pasukan.

Setelah pesawat berhasil dikuasai pasukan Kopassus, Benny Moerdani lagi-lagi melakukan aksi tak terduga.

Benny Moerdani tiba-tiba masuk ke pesawat sambil menenteng pistol bersama Kolonel Teddy.

Benny Moerdani kemudian menuju kokpit dan menyuruh Teddy untuk memeriksa panel elektronik Woyla.

Setelah dinyatakan aman dari ancaman bom yang diaktifkan melalui sirkuit pesawat, Benny Moerdani lantas mengambil mikrofon.

"This is two zero six. Could I speak to Yoga, please?" kata Benny.

Yoga Soegomo yang berada di ruang crisis center di menara bandara pun merespons.

"Operasi berhasil, sudah selesai semua," ujar Benny Moerdani melapor.

Operasi pembebasan itupun berjalan sukses.

Kopassus hanya butuh waktu tiga menit untuk menumpas para pembajak dan membebaskan para sandera.

Bukan sekali ini Benny Moerdani melakukan aksi nekat dan berbahaya

Sebelumnya, Benny Moerdani sempat mendamaikan RPKAD (sekarang Kopassus) & KKO (sekarang marinir) yang saat itu nyaris bentrook senjata

Dengan hanya memakai baju olahraga, Benny Moerdani langsung meredam pertikaian antar kedua pasukan elite Indonesia itu

Peristiwa itu terjadi pada 1964, saat anggota RPKAD (Sekarang bernama Kopassus) bersitegang dengan anggota KKO (Sekarang bernama Marinir).

Seperti dikutip dari buku 'Benny: Tragedi Seorang Loyalis' yang ditulis Julius Pour, KATAKITA (2007)

Pour menceritakan, peristiwa baku hantam antara RPKAD dan KKO itu terjadi gara-gara saling ejek ketika sama-sama latihan di Lapangan Banteng.

Entah siapa yang memulai lebih dulu, saling ejek terjadi antara kedua pasukan.

Bentrok tak terhindarkan, masyarakat ketakutan, suasana ibu kota jadi mencekam.

Baku hantam pun juga terjadi di dekat markas KKO.

Baca: Kakek Berusia 70 Tahun yang Nikahi Gadis 25 Tahun Akhirnya Resmi Cerai, Ternyata Ini Alasannya

Baca: Sosok Asli The Sacred Riana Difilmkan - Para Pemain Ungkap Kisah Unik & Seram Saat Syuting

RPKAD yang kalah jumlah lalu mengontak teman-teman mereka di Cijantung.

Tak lama kemudian bala bantuan datang, pasukan RPKAD yang menumpang truk melakukan konvoi menuju lokasi perkelahian untuk mebantu rekan-rekannya.

Bisa dibayangkan kondisi saat itu, pasukan khusus dalam jumlah banyak menyusur jalan ibukota menumpangi truk.

Tak cukup hanya saling pukul, kedua pasukan bahkan mempersiapkan senjata masing-masing.

Mulai dari sangkur, senapan serbu, bahkan bazooka siap digunakan dalam perkelahian itu.

Julius Pour juga menggambarkan kawasan Kwini hingga Senen, Jakarta Pusat, berubah mencekam.

Masyarakat merasa was-was bentrok antar pasukan TNI tersebut pecah dan terjadi kontak senjata.

Dikisahkan, saat itu Komandan Batalyon I RPKAD, Mayor Benny Moerdani, baru pulang main tenis dari Senayan.

Benny yang masih mengenakan seragam olahraga, menduga ada yang tak beres saat melihat iring-iringan truk RPKAD penuh sesak oleh pasukan.

Konvoi RPKAD dari Batalyon II tersebut meninggalkan markas dengan tergesa-gesa.

Benny berusaha mengejar konvoi truk itu.

Di sepanjang jalan, masyarakat terlihat panik.

Benny berhenti dan menanyakan apa yang terjadi kepada warga. Warga yang terlihat ketakutan itu menjawab bahwa telah terjadi baku hantam antara RPKAD dan KKO.

Melihat hal itu, Benny langsung pergi ke asrama KKO di Kwini untuk melerai pertikaian itu

Tanpa membawa senjata dan hanya menggunakan pakaian olahraga, Komandan RPKAD itu masuk ke asrama KKO.

Sampai di pos jaga, Benny melihat puluhan Tjakrabirawa eks-KKO siap tempur dengan senjata terkokang.

Seorang serdadu KKO memberi hormat kepada Benny. Rupanya, serdadu tersebut bekas anak buahnya saat Operasi Trikora di Irian Barat.

Benny Moerdani
Benny Moerdani (Kolase Tribun Jabar)

Akhirnya prajurit tersebut diminta untuk memanggil komandan mereka.

Ternyata sang komandan merupakan teman akrab Benny waktu di Solo. Dia adalah Mayor Saminu, Komandan Batalyon II Resimen Tjakrabirawa.

Akhirnya, terjadi perbincangan antara dua komandan tersebut.

Benny meminta kepada Saminu agar pasukan KKO tidak keluar asrama, sementara Benny akan menguru pasukan RPKAD yang ada di luar.

"Sudahlah. Jaga pasukanmu, jangan keluar asrama. Saya akan tertibkan anak-anak yang di sana. Kalau kamu diserang silakan saja, mau nembak atau apa, terserah. Tapi saya minta jangan ada anggotamu yang keluar asrama," ujar Benny.

Setelah sepakat, Benny bergegas keluar asrama.

RPKAD yang telah siap tempur telah menduduki asrama perawat putri.

Mereka terlihat telah siap melakukan serangan. Apalagi, saat mendengar kabar kalau Benny, komandan RPKAD, tengah berada di asrama KKO.

Namun, para anggota RPKAD kaget sekaligus bingung.

Bukannya anggota KKO yang keluar, malah Benny yang muncul dan memarahi mereka.

"Sudah, sudah. Pulang kalian semua," teriak Benny.

Benny juga berteriak, meminta RPKAD pulang ke markas, sampai mendorong para tentara tersebut untuk masuk kembali ke dalam truk.

Dalam tulisannya, Julius Pour menggambarkan warga yang melihat kejadian itu kebingungan.

Bingung melihat ada pria berseragam olahraga bersikap garang dan melerai perkelahian antar pasukan elite TNI.

Pria bercelana pendek dan berkaus itu omongannya langsung dituruti pasukan RPKAD.

Mereka tidak tahu, bahwa pria itu adalah Benny Moerdani.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved