Kilas Balik
Kisah Kadet AURI yang Sukses Gempur Basis Belanda - Bermodal Pesawat Tua, Serang 3 Tempat Sekaligus
Merespon aksi Agresi Militer Belanda I, para kadet AURI memberikan serangan dadakan pada basis Belanda di 3 lokasi. Simak cerita kesuksesan mereka!
Penulis: Putra Dewangga Candra Seta | Editor: Musahadah
SURYA.co.id - Ada kisah heroik saat Agresi Militer Belanda I dilancarkan ke wilayah Indonesia pada 21 Juli 1947.
Seperti diketahui, agresi militer itu tak bisa dihindari setelah perundingan Linggarjati yang dibuat antara Indonesia dan Belanda gagal dijalankan.
Militer Belanda yang didukung persenjataan yang lebih modern melancarkan serangan udara serentak ke sejumlah wilayah Indonesia baik yang berada di Jawa maupun Sumatera.
Dilansir dari laman tni-au.mil.id, serangan udara yang dilancarkan militer Belanda menggunakan pesawat-pesawat tempur yang tergolong canggih di masanya seperti P-51 Mustang, P-40 Kitty Hawk, dan pembom B-25/26.
Penyerangan terhadap pangkalan-pangkalan udara yang masih dalam proses perintisan tersebut, bertujuan untuk melemahkan kemampuan AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) sehingga tak mampu melakukan serangan balasan.
DIlansir oleh Intisari dari buku 'Bapak Angkatan Udara Suryadi Suryadarma', Penerbit Buku Kompas, 2017 dan 'Kepemimpinan TNI Angkatan Udara', MABESAU, 2011, Belanda berhasil menghancurkan 24 pesawat AURI yang berada di berbagai Pangkalan Udara.
Namun perkiraaan Belanda ini salah, ternyata AURI mampu melakukan serangan balasan.
AURI memang sengaja tak melakukan serangan balasan dan berusaha menyelamatkan pesawat-pesawat yang siap operasional (serviceable) dengan cara menyembunyikannya.
Serangan udara Belanda yang telah menghancurkan sebagian besar kekuatan udara AURI itu ternyata tidak membuat para personel AURI patah semangat.
Hal itu bahkan membuat para kadet penerbang yang sedang belajar di Lapangan Udara (Lanud) Maguwo, Yogyakarta menjadi marah.
Dengan rasa nasionalisme yang tinggi, mereka ingin melancarkan serangan balasan.
Para kadet penerbang itu antara lain Sutarjo Sigit, Mulyono, Suharnoko Harbani, dan Bambang Saptoaji.
Sebenarnya, KSAU Suryadi Suryadarma yang saat itu bermarkas di Lanud Maguwo memang sengaja tidak melakukan serangan balasan karena hal itu bisa membuat militer Belanda makin waspada.
Menurut Suryadarma, serangan udara yang akan dilancarkan oleh para kadet itu tidak memiliki nilai yang tinggi jika ditinjau dari segi militer .
Tapi suksesnya serangan udara itu bisa menggugah semangat perjuangan bangsa secara kesuluruhan untuk mempertahankan kemerdekaan.
Suryadarma juga menekankan bahwa dirinya tidak bisa memerintah dan juga tidak bisa melarang.
Jadi intinya serangan udara tersebut sifatnya sukarela.
Para kadet seperti Sutardjo Sigit, Mulyono, Suharnoko Harbani, dan Bambang Saptoaji merasa sangat antusias untuk melaksanakan serangan udara tersebut.
Mereka semua bersedia menjadi sukarelawan untuk menjalankan misi menggempur markas-markas Belanda menggunakan pesawat peninggalan Jepang yang sebenarnya tidak berdaya ketika harus menghadapi pesawat tempur Belanda.
Terlebih lagi pesawat-pesawat yang akan diterbangkan para kadet ini tidak memiliki dudukan senjata dan cantelan, maka bom-bom yang akan dijatuhkan pun dimasukkan ke dalam kokpit.
Setelah bisa terbang sampai di sasaran bom-bom itu lalu dijatuhkan menggunakan tangan.
Sebelum melaksanakan serangan, para kadet mendapat brifing terlebih dahulu dari Wakil Kepala Operasi Lanud Maguwo, Halim Perdanakusuma terutama untuk menentukan target mana saja yang akan diserang sekaligus mencari jalur penerbangan yang aman.
Sesuai arahan dari Halim, target yang diincar adalah markas Belanda di Semarang, Ambarawa, dan Salatiga.
Karena merupakan serangan udara yang bersifat mendadak dan diam-diam, pada pukul 05.00 tanggal 29 Juli 1947 para kadet penerbang sudah siap di kokpit pesawat masing-masing di Lanud Maguwo.
Mereka baru saja mendapat brifing terakhir dari Halim Perdanakusuma dan Suryadarma yang berada di lokasi untuk melepas para kadet penerbang yang akan melancarkan serangan udara untuk pertama kalinya..
Dari empat pesawat yang hari itu akan digunakan untuk penyerangan, ternyata ada satu yang mengalami kerusakan.
Akibatnya Bambang Saptoaji yang bertugas menerbangkan pesawat bersangkutan tidak jadi berangkat.
Pada pukul 05.11 pesawat Guntai yang diterbangkan Mulyono mulai take off.
Penerbangan Mulyono disusul oleh pesawat Cureng yang diterbangkan Sutardjo Sigit dan selanjutnya disusul pesawat cureng yang dipiloti oleh Suharmoko Harbani.

Ketiga pesawat terbang secara konvoi untuk saling mengawasi tanpa melakukan komunikasi radio agar tidak tersadap oleh alat komunikasi Belanda.
Serangan udara yang berlangsung di pagi buta itu ternyata berhasil dengan gemilang.
Pesawat Cureng yang diterbangkan Sutardjo Sigit berhasil melancarkan pemboman di Salatiga. Sasarannya adalah konsentrasi-konsentrasi pasukan Belanda.
Sementara pesawat Guntai yang diterbangkan Mulyono berhasil mencapai sasaran sesui dengan rencana dan menjatuhkan bom di Semarang.
Serangan udara di Semarang dilakukan di dua tempat. Yakni bagian bawah kota Semarang dan kota bagian atas (Candi).
Dalam serangan udara itu pesawat Guntai berhasil menjatuhkan enam buah bom dan menghancurkan 11 bangunan serta mengakibatkan 7 personel serdadu Belanda tewas.
Sedangkan pesawat Cureng yang diterbangkan Suharnoko Harbani, karena terpisah dengan dua pesawat lainnya, Sutardjo Sigit lalu berinisiatif menyerang kota Ambarawa yang juga sudah diduduki oleh pasukan Belanda.
Ketiga kadet berhasil menjalankan misi dengan menghancurkan basis militer Belanda di tiga kota Ambarawa, Salatiga, dan Semarang.
Operasi dilaksanakan selama satu jam dan mendarat kembali ke home base pukul 06.00.
Tanggal 29 Juli 1947 diingat sebagai hari yang membanggakan bagi AURI, karena dalam usianya yang relatif muda, AURI (sekarang TNI AU) berhasil melaksanakan serangan balasan terhadap pertahanan Belanda di Ambarawa, Semarang, dan Salatiga, melalui operasi udara yang dikenal dengan Operasi Udara Pertama.
Baca: Usai Rumah Ahmad Dhani Laku Rp 12 Miliar, Kini Milik Mulan Jameela juga Ikut Dijual, Buat Kampanye?
Baca: Cara Kirim Chat WhatsApp (WA) Secara Otomatis, Bisa Dijadwalkan Waktu Pengirimannya Juga
Tokoh Pendiri AURI Tewas di Hari yang Sama (29 Juli 1947)
Dilansir dari laman tni-au.mil.id, keberhasilan serangan udara AURI pada tanggal 29 Juli 1947 tersebut harus dibayar mahal, sebuah pesawat Dakota VT-CLA yang membawa sumbangan obat-obatan untuk Palang Merah Indonesia dari Singapura, ditembak Belanda ketika mendekati Pangkalan Udara Maguwo.
Pesawat Dakota VT-CLA membuat satu kali putaran untuk persiapan mendarat, tiba-tiba muncul dua buah pesawat pemburu Kittyhawk yang melakukan penembakan dengan gencar terhadap Dakota VT-CLA.
Dakota VT-CLA kemudian terbang kearah selatan dalam keadaan terbakar dan jatuh di desa Jatingarang, Kelurahan Tamanan dekat Desa Ngoto Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, sebelah tenggara kota Yogyakarta.
Dari semua awak pesawat dan penumpang, hanya seorang yang selamat yaitu A. Gani Handonotjokro.
Sedang korban yang gugur adalah : Komodor Muda Udara Agustinus Adisutjipto, Komodor Muda Udara Prof. Dr. Abdulrachman Saleh, Opsir Muda Udara Adisumarmo Wiryokusumo, Ex Wing Commander Alexander Noel Constantine (Australia) dan istrinya Ex Squadron Leader Roy Huzelhurst (Inggris), Bhidaram (India) dan Zainal Arifin (Indonesia).
Kebahagiaan dan kegembiraan tercermin di wajah anggota AURI dengan serta merta berubah menjadi duka yang mendalam.
Pesawat yang telah ditunggu oleh KSAU Komodor Udara S. Suryadarma ini, ternyata berakhir dengan tragis, ditembak oleh pesawat Belanda.
Hal yang sangat menyedihkan adalah bersama pesawat itu terdapat beberapa tokoh pendiri AURI yang selama ini sebagai tangan kanan Suryadarma.
Hal itu merupakan reaksi Belanda atas gempuran AURI pada basis-basis pertahanan Belanda di tiga daerah.