Lipsus

Mantan Pelatih Tenis Meja di Asian Games 1978 Achmad Djaja Ingatkan agar Atlet Pegang Kedisiplinan

Achmad Djaja (78), langsung terlihat bersemangat saat diminta menceritakan kembali karirnya yang gemilang sebagai seorang pelatih tenis meja.

Editor: Parmin
SURYAOnline/aflahul abidin
Achmad Djaja (kanan) bersama sang anak Peter Sudjaja. 

SURYA.co.id | SURABAYA  – Achmad Djaja (78), langsung terlihat bersemangat saat diminta menceritakan kembali karirnya yang gemilang sebagai seorang pelatih tenis meja. Djaja sukses mengantarkan atlet Indonesia
meraih medali perak pada Asian Games 1978 di Bangkok, Thailand.

Sebagai pelatih, Djaja sarat pengalaman bergengsi. Selain medali perak di Asian Games 1978, ia
juga mengantarkan para atlet pingpong Indonesia memborong lima emas di Sea Games 1983 di
Singapura, dan sukses mengantarkan Indonesia ke rangking 7 Asia pada Kejuaraan Asia 1984 di
Pakistan. Ia pensiun dari dunia tenis meja setahun setelah itu.

Kini tubuh Djaja terlihat kurus, tapi sehat. Meski daya ingatnya mulai melemah karena faktor
usia, namun dia masih cukup tegas menjelaskan mengenai kunci sukses seorang atlet. Bagi
Djaja, kedisiplinan adalah kunci utama.

Ketika Surya.co.id berkunjung ke rumahnya akhir pekan lalu, Djaja sedang beristirahat di kasur di
kamar pribadinya yang luas. Dibantu anaknya Peter Sudjaja, Djaja duduk di kursi di dalam
kamarnya saat melayani wawancara.

“Pemain itu harus disiplin,” Djaja menyampaikan kalimat

pertama, setelah Surya menanyakan tentang faktor utama pemain bisa tampil maksimal.

Bagi Djaja, menang dan kalah dalam pertandingan adalah tanggung jawab pelatih. Bukan atlet
yang bermain. Maka, menurut dia, para atlet mutlak mengikuti arahan dari pelatih. Arahan yang
dimaksud, mulai dari latihan fisik hingga strategi ketika bertanding.

Di usianya yang sudah tua, Djaja masih mengikuti perkembangan dunia tenis meja. Peter
biasanya menontonkan pertandingan-pertandingan pingpong via Youtube.

“Ada pemain yang bagus,” kata dia.

Djaja dikenal sebagai pelatih yang keras selama bekarier. Setidaknya itu yang Peter ketahui
mengenai sosok ayahnya.

Peter yang juga atlet tenis meja, sempat dilatih ayahnya untuk beberapa kejuaraan. Peter aktif di dunia pingpong antara tahun 1982 hingga 1996. Ia sempat menduduki peringkat dua dan tiga di beberapa kejuaraan nasional.

“Pelatih itu tugasnya, pertama, melatih. Kedua, meningkatkan fisik dan tenaga atlet. Ketiga,
membekali atlet ‘senjata’ untuk pertandingan. Maka, yang dilatih berkewajiban mengikuti
instruksi. Kalau tidak, otomatis, ‘senjata’ yang dibekalkan tidak akan bisa dikeluarkan,” kata
Peter, menjelaskan prinsip sang ayah.

Kelebihan Djaja lainnya adalah jaringan. Djaja dikenal punya kenalan yang cukup banyak di
China.

Ia pun berhubungan baik dengan orang-orang di sana, terutama dengan mereka yang aktif
di dunia tenis meja. Kelebihan itu bermanfaat untuk para atlet yang bakal mengikuti latihan di
negeri itu.

Djaja punya harapan dunia tenis meja bisa lebih maju. Pengkaderan atlet-atlet harus dipercepat.

Indonesia bisa belajar dari China untuk perkara ini. Di negeri itu, banyak atlet yang bisa dipilih
untuk mengikuti sebuah kejuaraan besar. Sistem seleksi pun berjalan sesuai dengan standar.

Berdasarkan pengalaman Djaja, pemilihan atlet untuk tampil di sebuah kejuaraan besar masih
belum standar. Minimal itu yang ia rasakan ketika masih menjadi atlet. Ia harus memasukkan
pemain yang tingkat disiplinnya rendah karena kemampuannya di atas rata-rata.

“Kalau di negara lain, masih bisa dipilih yang lebih disiplin,” ujar Peter.
Punya rahasia.

Legenda tenis meja era 70-an Sinyo Supit juga memiliki harapan besar agar dunia tenis meja di
Indonesia bisa lebih maju.

Sinyo bersama Empie Wuisan adalah peraih medali perak Asian Games 1978 di Bangkok, Thailand.
Ketika masih berusia 15 tahun (1975), Sinyo diberangkatkan ke Yugoslavia bersama empat atlet
senior Indonesia.

Saat itu, Yugoslavia menjadi negara kedua yang pingpongnya maju. Urutan pertama tetap China. Selama 4 tahun di Yugoslavia, Sinyo dan atlet lain digempleng.

Sepulang dari Yugoslavia, ia dipanggil bos perusahaan rokok besar Gudang Garam. Ia bersama
Empie Wuisan dan Diana Wuisan Tedjasukmana memprakasai berdirinya Perkumpulan Tenis
Meja Surya Kediri. Ini adalah salah satu klub pingpong terbesar yang bubar pada 2008.

Ketika masih aktif di klub itu, Sinyo sering memberi dukungan ke semua atlet. Kini, ia hanya
fokus ke anaknya, Ficky Supit Santoso yang akan berlaga di Asian Games 2018.

Cita-cita yang masih ia impikan adalah mengajarkan tenis meja ke berbagai daerah di Indonesia.

“Ada rahasia dalam tenis meja. Dan itu yang ingin saya ajarkan. Namanya rahasia, tentu saya
tidak kasih tahu Anda,” selorohnya.

Hingga kini masih aktif menjadi pelatih mekanik di Komite Olahraga Nasional Indonesia
(KONI) Jawa Timur.

“Ya berkat pengurus di sana, saya masih bisa memberi kontribusi buat atlet-atlet di Jatim,” ungkapnya. (fla/iit)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved