Liputan Khusus
Perajin Sepatu di Wedoro Sidoarjo Ramai-ramai Beralih Produksi Sandal
Persaingan yang ketat membuat para perajin di Desa Wedoro, Kecamatan Waru, Sidoarjo meninggalkan aktivitas pembuatan sepatu.
SURYA.co.id | SIDOARJO - Tepat setahun lalu, Muhammad Baidarus menanggalkan alat-alat produksi sepatunya.
Toko yang sekaligus ruang pamer hasil produksinya lebih dulu ditutup.
Persaingan yang ketat membuat para perajin di Desa Wedoro, Kecamatan Waru, Sidoarjo meninggalkan aktivitas pembuatan sepatu.
“Yang membuat sepatu terakhir di sini itu saya. Semua perajin beralih membuat sandal lagi,” kata pria yang akrab disapa Ubed itu.
Desa Wedoro dikenal sebagai sentra industri sandal dan sepatu yang termasyhur di Jawa Timur.
Sejak Ubed memilih berhenti memproduksi sepatu, hilang sudah predikat sentra sepatu di daerah itu.
Warga kini memilih membuat sandal yang masih punya pasar lumayan.
Ubed berkisah, sempat memiliki 12 perajin sepatu ketika alas kaki jenis itu marak di Wedoro.
Seorang pekerja bisa membuat 2 kodi sepatu dalam sehari.
Itu artinya, usaha Ubed menghasilkan sekitar 480 pasang saban hari.
Sebelum ia memutuskan menutup usaha itu, jumlah perajin hanya tinggal dua orang.
Produksinya pun berkurang drastis.
Ia pun kini sedang menata lagi bisnis kerajinan dengan cara membuat sandal, seperti tetangga lainnya.
Ubed yang juga Ketua Asosiasi Pengrajin Sepatu Sandal Wedoro (APSSW), menduga ada dua hal utama yang membuat industri sepatu Wedoro macet.
Pertama, perajin yang punya skill bikin sepatu kian langka.
“Alasan kedua, pasar juga sudah tidak menjanjikan. Pasarnya berubah turun 180 derajat,” terangnya.
Industri sepatu di Wedoro mencapai puncaknya antara 2000 hingga 2004.
Pada saat itu, banyak perajin yang memilih tak memproduksi sandal karena fokus pada sepatu.
Selepas waktu lima tahun itu, satu per satu balik profesi.
Dari 10 industri besar pembuat sepatu, Ubed menjadi orang terakhir.
“Prospeknya dulu bagus. Harga bagus, kompetitor pun sedikit,” tutur Ubed.
Pada puncak kejayaan itu, warga sekitar Wedoro bisa menyaksikan puluhan toko yang menjual sepatu dan sandal buatan lokal berjejer.
Ratusan pembeli pun hilir mudik setiap hari. Kini, pemandangan itu sudah tak terlihat lagi.
Toko grosir yang menampung produk warga hanya menjual sandal.
Sementara toko-toko sepatu besar tetap berjualan, tapi menjual barang dari luar daerah.
Meski perajin alas kaki di Wedoro masih banyak yang bertahan, tapi tak sedikit yang memilih berhenti produksi.
Nurcholis, warga Wedoro Timpian, sudah lima tahun tak memproduksi sandal secara rutin.
Kini, pria yang punya lima perajin di rumahnya itu hanya membuat sandal ketika ada pesanan.
Tapi, keseharian Nurcholis tak bisa lepas dari dunia yang sudah diwariskan orang tuanya.
Kini, ia fokus menyediakan jasa potong spons.
Ia membeli afalan spons dari pabrik untuk ia perbaiki dan dijual kembali.
Harga spons itu antara Rp 8.000 hingga Rp 12.000 per kilogram.
“Tergantung luas dan lebar sponsnya,” kata dia.
Bagi Nurcholis, menjual dan menyediakan jasa potong spons lebih menjanjikan.
Berbekal tiga mesin, saban hari ia melayani puluhan pembeli dan perajin yang membutuhkan jasa.
Rumah dua lantainya dipenuhi dengan lembaran spons-spons siap jual.
Di balkon atas, tumpulan spons tampak dari jalan depan rumahnya. Di seberang rumah pun, spons pun tertumpuk tinggi.
Selain warga Wedoro, pelanggannya juga berasal dari Malang, Lumajang, dan Madura.
“Saya berhenti produksi (alas kaki) karena duitnya nyantol-nyantol terus. Harga jualnya juga rendah. Dulu, satu kodi sandal bisa dapat keuntungan Rp 20.000, sekarang Rp 10.000 saja sudah susah,” terang dia.
Ia juga melihat pasar alas kaki di sana sudah banyak berubah. Jumlah perajin masih banyak, sementara pasar sudah menurun.
Alhasil, persaingan antarperajin semakin ketat.
Jika seorang perajin menaikkan harga jualnya, langganannya akan mudah mendapat suplai dari perajin lain. (Aflahul Abidin/Wiwit Purwanto)