Kilas Balik
Kisah Pahit Jenderal Hoegeng, Pensiun Dini Saat Usut Kasus yang Dinilai Guncang Kestabilan Negara
Saat duduk di puncak kariernya, Jenderal Hoegeng justru merasakan pahitnya kenyataan. Ia tiba-tiba dicopot dari jabatannya oleh Presiden Soeharto
Penulis: Putra Dewangga Candra Seta | Editor: Adrianus Adhi
SURYA.co.id - Di antara berbagai kisah heroik polisi menumpas kejahatan, ada satu kisah pahit yang bisa jadi menggetarkan hati.
Kisah itu dialami oleh mendiang perwira tinggi polisi, Jenderal Hoegeng
Dilansir dari Tribun Jabar dalam judul Jenderal Hoegeng Dipensiunkan Dini oleh Soeharto Karena Usut Kasus yang Guncang Kestabilan Negara, Jenderal Hoegeng adalah aparat penegak hukum yang menjabat sebagai Kapolri sejak 9 Mei 1968
Baca: Kisah Perjalanan Tupolev Tu-16 Badger TNI AU Hingga Akhir Hayatnya, Pensiun Gara-gara Urusan Politik
Baca: Jet Tempur MiG-21 AURI, Si Pencegat yang Tak Sempat Unjuk Kehebatan Meski Daya Gertaknya Sangar
Namun, saat duduk di puncak kariernya, Jenderal Hoegeng justru harus menelan pahitnya kenyataan.
Jenderal Hoegeng tiba-tiba dicopot dari jabatannya oleh Presiden Soeharto pada 2 Oktober 1971.
Dilansir oleh Tribunjabar dari Kompas.com, sebelumnya, Jenderal Hoegeng sempat ditawari menjadi duta besar Swedia dan Belgia.
Namun, tawaran itu ia tolak karena bersikukuh ingin mengabdikan dirinya di tanah air.
Namun, nasib berkata lain.
Usianya yang masih 49 tahun harus digantikan senior yang berusia empat tahun lebih tua darinya, Jenderal Moh Hasan.
Akhirnya, Jenderal Hoegeng terpaksa pensiun dini pada usia yang masih produktif.
Mencuat pertanyaan banyak pihak mengapa Jenderal Hoegeng pensiun dini.
Ternyata, sebelum dipensiunkan dini oleh Presiden Soeharto, Jenderal Hoegeng rupanya tengah mengusut tuntas sebuah kasus pemerkosaan.
Kasus pemerkosaan ini dikenal sebagai kasus Sum Kuning, yang menimpa seorang gadis berusia 18 tahun, Sumarijem.
Melansir dari Intisari, Sumarijem adalah seorang penjual telur.
Pada 21 September 1970, Sum diseret oleh sejumlah pria tak dikenal dan dimasukan ke dalam mobil, kemudian dibius.
Ia lalu diperkosa di kawasan Klaten secara bergilir oleh sejumlah pria tak dikenal itu.
Puas melampiaskan hasratnya, sejumlah pria tak dikenal tersebut langsung menelantarkan Sum di pinggir jalan.
Sum tak mau tinggal diam, ia lantas melaporkan kejadian itu pada pihak kepolisian.
Namun, Sum justru diserang balik oleh pihak berkuasa.
Ia malah dijadikan tersangka atas tuduhan laporan palsu.
Sum bahkan dituding sebagai anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani).
Ia dituntut tiga bulan penjara dan satu tahun masa percobaan.
Namun, majelis hakim menolak tuntutan itu karena Sum tak terbukti membuat laporan palsu.
Akhirnya, Sum pun dibebaskan dari hukuman.
Namun, polisi justru mempublikasikan sosok yang disebut sebagai pemerkosa Sum.
Ia bernama Trimo, seorang penjual baso. Namun, Trimo justru mengelak semua tuduhan tersebut.
Disamping itu, terungkap pula fakta lain dari hasil putusan sidang.
Rupanya, Sum mengalami hal memilukan di dalam tahanan.
Sambil dianiaya, Sum dipaksa mengakui pelakunya adalah Trimo.
Tidak hanya Sum yang dianiaya, Trimo pun mengalami hal yang sama saat diperiksa polisi.
Melihat peliknya kasus ini, Jenderal Hoegeng pun turun tangan.
Setelah Sum bebas, Jenderal Hoegeng memerintahkan Komjen Suroso mencari orang yang mengetahui fakta dibalik pemerkosaan Sum.
Ia bahkan membentuk tim khusus yakni Tim Pemeriksa Sum Kuning.
“Kita tidak gentar menghadapi orang-orang gede siapa pun. Kita hanya takut kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jadi kalau salah tetap kita tindak,” ujar Jenderal Hoegeng, seperti dikutip Intisari.
Akibatnya, kasus ini semakin menjadi sorotan media massa saat itu.
Tersiar pula kabar bahwa pelakunya adalah sejumlah sejumlah anak pejabat dan anak seorang Pahlawan Revolusi. Namun, mereka tetap membantah tuduhan tersebut.
Presiden Soeharto pun akhirnya ikut ambil langkah. Kasus ini dinilai mengguncang stabilitas nasional.
Akhirnya, ia memerintahkan untuk menghentikan kasus ini dan diserahkan ke tim pemeriksa Pusat Kopkamtib.
Kemudian, pada sidang lanjutan kasus Sum, polisi mengumpulkan 10 tersangka.
Namun, mereka bukanlah anak penjabat yang Sum tuduhkan.
Mereka bahkan membela diri dan menyebut siap mati demi menolak tuduhan itu.
Pada akhirnya, Jenderal Hoegeng pun tak bisa berkutik karena dipensiunkan dini.
Kariernya yang tiba-tiba hilang, membuat Jenderal Hoegeng mengembalikan semua barang yang dipakai saat menjadi Kapolri.
Kemudian, ia pun langsung menghampiri sang ibu.
Momen ini dituliskan dalam buku Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan seperti yang dikutip oleh Intisari.
"Saya tak punya pekerjaan lagi, Bu," kata Jenderal Hoegeng bersimpuh di depan ibunya.
Namun, ibunya tetap menenangkan sang anak.
"Kalau kamu jujur dalam melangkah, kami masih bisa makan hanya dengan nasi dan garam," kata sang ibu.
Akhirnya, Jenderal Hoegeng pun tak bisa lagi beraksi memberantas kejahatan.
Ia bahkan harus hidup sengsara selama bertahun-tahun.
Melansir dari Kompas.com, putra Heogeng, Aditya Soetanto sempat membeberkan bahwa ayahnya hanya menerima uang pensiun Rp 10 ribu setiap bulan.
Heogeng pun harus banting setir untuk menafkahi keluarganya dengan menjadi seorang pelukis dan menjual lukisannya.
Namun, hasil penjualan dari lukisan tak seberapa.
Ia bersama keluarganya harus mengalami masa yang sangat sulit.
Setelah bertahan 10 tahun, akhirnya ia mendapatkan penyesuaian uang pensiun menjadi Rp 1 juta, pada 2001.
Tiga tahun kemudian, ia meninggal karena sakit.
Baca: Kisah Tim OPK Eksekusi Para Begal di Era Soeharto, Dimasukkan Karung Hingga Dihujani Tembakan
Baca: Nasib Para Begal di Era Soeharto, Diburu Hingga Ditembak Mati Bagi yang Melawan