Citizen Reporter

Mendaki ke Puncak Budug Asu, Duh Ternyata …

entah kenapa dinamakan Budug Asu.. rute offroad ini sumpah memang luar biasa indahnya, kendati mendaki ke puncaknya sungguh tak mudah..

Editor: Tri Hatma Ningsih
istimewa
Puncak Budug Asu Malang 

Reportase Novi Umika Sari
Pegiat literasi/alumnus Universitas Negeri Malang

MALANG mempunyai destinasi wisata yang melimpah ruah. Mulai dari jajaran alam hingga tongkrongan hits. Saya yang hanya tahu dua pantai di Malang mencoba mencari pengalaman dan menuntaskan rasa penasaran dengan mengikuti dua sahabat saya mendaki. Bukan gunung yang kami daki, melainkan bukit di lereng Gunung Arjuno. Kamis (20/4/2017) bertiga kami berangkat ke Budug Asu. Destinasi wisata yang sedang hits di Malang.

Di antara kami bertiga, hanya saya yang perempuan dan belum pernah ke sana. Kami memutuskan camping semalam. Perjalanan di mulai dari Dusun Biru Asri RT 10/3. Kami berangkat pukul 15:30 WIB. Dua teman saya berkata jika biasanya mereka ke Budug Asu membutuhkan waktu tiga jam dengan berjalan kaki. Itu berarti kami akan sampai pada pukul 18.30 WIB.

Ada tiga jalur jika hendak ke Budug Asu, yaitu lewat kebon teh Wonosari, BBIB, dan Sumberawan. Kami lewat jalur Sumberawan. Di sana kami menitipkan motor di salah satu rumah warga.

Awal perjalanan, saya sangat antusias sekali. Dalam benak saya, betapa indahnya nanti ketika sampai puncak. Kami berjalan melewati hutan dan perkebunan sayur hingga ladang tebu milik warga. Kami berjalan memanjang, Maula memimpin jalan, saya di tengah, dan Zen menjaga belakang.

Hingga pada seperempat jalan, kaki saya mulai lemas. Saya berseru pada kedua sahabat saya, Maula dan Zen bahwa saya lelah, ingin berhenti sejenak. Sontak mereka tertawa sembari sedikit mengejek saya. Kami berhenti sekitar lima menit lalu melanjutkan perjalanan.

Hingga satu jam pertama entah berapa kali tarikan napas berat dan hampir sebotol air mineral 600ml saya teguk. Hingga pada suatu tikungan yang lumayan curam, Maula meminta saya untuk melepas ransel. Dia membawakan ransel saya. Rasanya seperti pengumuman sidang skripsi mendengar tawaran itu. Botol di tas Zen pun saya raih.

Estimasi mereka meleset. Masih separuh jalan, adzan maghrib berkumandang. Kami bahkan masih separuh jalan ketika gelap menyergap. Alasannya satu, saya kelelahan dan bolak-balik meminta berhenti. Pukul 18.30 WIB kami masih jauh dari tujuan.

Kami mengandalkan senter sebagai penerang jalan dan musik dari handphone sebagai teman menyanyi sepanjang jalan. Hingga Maula mengingatkan saya dan Zen untuk lebih mendekat. Ia seperti mengingatkan Zen akan suatu hal yang saya belum paham.

Teror ala Budug Asu

Ada setitik cahaya terang di tengah jalan yang mirip seperti kunang-kunang. Tanpa berpikir panjang, saya berseru "wiii kunang-kunang." Tanpa saya duga, Maula dan Zen serentak menghentikan saya dengan isyarat.

Lalu suara itu terdengar tak seperti kunang-kunang. Suara anjing menggonggong yang begitu dekat saya rasakan. Entah berapa jumlah anjing itu, tapi lebih dari tiga saya rasa. Semuanya berwarna hitam dan hanya terlihat matanya saja. Maula melangkah mundur dan Zen maju. Keduanya mengapit saya sembari masing-masing memegang  tangan. Sekarang saya paham arti isyarat Maula ke Zen. Mereka mengingatkan saya untuk diam, tenang, dan jangan lari. Meski rasanya jantung berdebar kencang namun kami bisa melewati sekelompok anjing itu.

Hingga akhirnya saya terjatuh. Kaki saya sudah kaku. Maula dan Zen mendekati saya sambil menawarkan air dan memijat kaki. Kami melanjutkan perjalanan setelah cukup lama berhenti. Tiga kali saya terjatuh dan sengaja berbaring di tanah. Sahabat saya hanya tersenyum dan memberi saya semangat kalau sebentar lagi kami akan sampai.

Namun ya, saya terjatuh untuk keempat kalinya. Kali ini, benar-benar menyerah. Beruntung ada sebuah gubug di dekat tempat saya terjatuh. Lalu Maula dan Zen memutuskan untuk bermalam di sana dan mendirikan tenda. Waktu itu sekitar pukul 19.30 WIB. Rasanya kaki saya mau copot.

Mereka menyalakan api unggun, nesting, membuat mi, secangkir cokelat hangat. Sedangkan saya, berbaring di dalam tenda sambil menahan kram dan menggigil kedinginan. Mereka membawakan saya mi instan dan cokelat hangat, setelah itu saya tertidur. Entah berapa lama saya tertidur, namun tengah malam ketika saya terbangun, kaki saya sudah berkaus kaki, tubuh saya berselimut sarung dan tumpukan baju.

Sumber: Surya Malang
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved