Santri Ponpes Langitan Tenggelam
Ya Allah kok tidak ada yang muncul, tidak ada tanda-tanda. . .
Hingga sore ini, tiga jasad santri yang sudah ditemukan. Namun, belum diketahui, apakah dari tiga jasad tersebut ada Muhsin atau tidak.
Penulis: Iksan Fauzi | Editor: Parmin
SURYA.co.id | TUBAN - Kabar tenggelamnya Muhsin (16) santri Pondok Pesantren (Ponpes) Langitan, Tuban membuat syok kedua orang tuanya. Santri dari Jalan Pacar Kembang gang VI Tengah Surabaya ini menjadi korban perahu terbalik di Sungai Bengawan Solo saat menuju Pasar Babat, Jumat (7/10/2016) sekitar pukul 08.30.
Sudah empat tahun lebih, Muhsin menimba ilmu di Ponpes Langitan. Ia kini duduk di kelas dua Madrasah Tsanawiyah (MTs) di Ponpes dan kelas dua di SMA umum. Sebelum dinyatakan hilang di Bengawan Solo, dia bertugas sebagai tukang masak di Blok C Ponpes.
Kebiasaan ke pasar naik perahu bukan pertama kali ini dilakukannya. Sebagai koki pondok, dia selalu berbelanja ke pasar setiap hari Jumat untuk memenuhi bahan makanan selama satu minggu ke depan. Hari itu dimanfaatkan seefektif mungkin karena pengasuh Ponpes hanya memberikan hari libur pada hari Jumat saja.
Hingga sore ini, tiga jasad santri yang sudah ditemukan. Namun, belum diketahui, apakah dari empat jasad tersebut ada Muhsin atau tidak. Pasalnya, mereka harus diidentifikasi lebih dulu oleh Tim Disaster Victims Identification (DVI) Polda Jatim.
Mata Mu'tiqoh, Mundir, dan Masadi berkaca-kaca setiap kali Tim Pencari mengangkat jasad santri ke mobil ambulance satu persatu.
Belum ditemukannya Muhsin membuat dua kakaknya, Mu'tiqoh dan Mundir harap-harap cemas menunggu kedatangannya di pinggir Bengawan Solo titik pemberangakatan Tim Pencari, Dusun Mandungan, Desa Widang atau sebelah Ponpes Langitan.
"Ya Allah kok tidak ada yang muncul, tidak ada tanda-tanda... padahal sarungnya sudah dicoplok," ucap Mu'tiqoh lirih.
"Moga-moga selamat. Ya Allah bingung nanti kalau belum ketemu bilang apa (kepada orang tua)," ungkapnya.
Mu'tiqoh menceritakan, Muhsin sabagai anak kesembilan dari seorang ayah Murtadho dan ibu Mau'idotul Ummah, dianggap penuh kemandirian. Sejak kecil, Muhsin yang juga keponakan Ketua Rois Am PBNU, KH Miftahul Akhyar itu senang belajar.
"Sekarang, tugasnya di pondok memasakkan santri lainnya. Ketika tidak capek, pada hari Jumat, dia selalu belanja ke pasar," ujar Mu'tiqoh saat ditemui di pinggir Bengawan Solo, Sabtu (8/10/2016) siang.
Sebelas bersaudara, Muhsin mondok di Langitan bersama adiknya, Masadi (14) kelas 1 MTs dan satu blok. Masadi bertemu dengan Muhsin terakhir saat subuh sebelum berangkat ke pasar. Tak ada pesan atau perbincangan yang aneh dari Muhsin.
Menurut penuturan Masadi, setiap hari Jumat, kakaknya itu ke pasar Babat naik perahu. Namun, Muhsin diketahuinya tidak pernah bisa berenang.
"Kakak berangkat ke pasar, saya tidak. Subuh ketemu, tapi tidak ada pembicaraan apa-apa. Ya seperti hari-hari biasa," kata Masadi di sela menemani kakaknya, Mu'tiqoh di pinggir Bengawan.
Sebagai koki blok ponpes, Muhsin sering memasak sambal, sayur lodeh, sayur sop, dan sambal tahu dan tempe. Makanan itu untuk semua santri yang ada di bloknya.
Orang Tua Kalut
Kabar tenggelamnya Muhsin sampai ke telinga orang tuanya. Sekitar pukul 13.00 atau usai shalat Jumat, pihak Ponpes Langitan menghubungi Ibunya, Ummah. Ummah syok. Nangis tak henti-henti.
