Partai Demokrat
Demokrat Butuh Figur Kuat agar Tak Seperti Golkar dan PPP
#SURABAYA - Saya yakin Demokrat tahu itu, sehingga mereka akan memilih figur yang kuat. Agar nasibnya tidak seperti Golkar dan PPP.
Penulis: Mujib Anwar | Editor: Yuli
SURYA.co.id | SUABAYA - Partai Demokrat (PD) saat ini butuh figur yang kuat, agar bisa solid dan kembali menjadi partai besar. Serta tidak mengalami nasib yang sama, seperti Partai Golkar dan PPP.
Demikian ditegaskan Pengamat Politik Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Hariadi.
Menurutnya, figur yang kuat yang dibutuhkan PD tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan internal partai, tapi juga kebutuhan partai keluar.
"Nah, keberadaan figur kuat tersebut terkonfirmasi dalam diri Pak SBY. Dia merupakan figur tunggal," ujarnya, kepada Surya, Senin (11/5/2015).
Jika yang terpilih sebagai Ketua Umum (Ketum) dalam Kongres IV di Surabaya bukan figur, pengalaman dua partai besar sebelumnya, yakni Partai Golkar dan PPP bisa terjadi di PD.
Meski Munas Partai Golkar dan Muktamar PPP berhasil memilih Ketum, tapi karena figur yang terpilih tidak kuat, dua partai tersebut, kata Hariadi saat ini menjadi porak-poranda dan terjadi dualisme kepemimpinan.
Hal Itu berbeda dengan PDIP dan Hanura, yang dalam kongres kembali memilih figur kuat sebagai Ketum. Yakni, Megawati Soekarno Putri dan Wiranto. Itu menjadikan kondisi internal dua partai tersebut lebih stabil.
"Saya yakin Demokrat tahu itu, sehingga mereka akan memilih figur yang kuat. Agar nasibnya tidak seperti Golkar dan PPP," tegasnya.
Apalagi, potensi persaingan dan konflik yang mengeras di PD relatif tidak ada, dibandingkan sebelumnya ketika masih dipimpin Anas Urbaningrum. Kalaupun ada sedikit riak dan hambatan, misalnya somasi dari beberapa mantan ketua DPC, PD berhasil membawa potensi konflik keluar arena kongres.
"Dengan begitu, kongres tetap aman," imbuhnya.
Meski demikian, Hariadi mengingatkan pentingnya Kongres IV PD di Surabaya merumuskan kebijakan yang dapat menggugah simpati dan tidak menimbulkan sentimen negatif publik. Agar konsolidasi lebih cepat dilakukan.
"Pengalaman PDIP saat kongres di Bali harus jadi pelajaran. Dimana idiom petugas partai telah menjadi kontroversi di masyarakat," katanya, mengingatkan.
Hal itu dinilai penting, karena PD tidak punya mekanisme untuk menghadapi sentimen masyarakat dan publik. Pengalaman pemilihan legislatif (Pileg) 2014 menegaskan hal itu. Ketika PD dihujat publik karena permasalahan yang membelit kadernya, suara langsung jeblok dan turun drastis.
Untuk itu, ke depan PD harus bisa melakukan sesuatu yang tidak menimbulkan sentimen negatif publik. Jika mengkritik, harus dilakukan dengan bahasa yang lebih harus dan tidak menimbulkan kontroversi.
"Kritik juga harus mendasar dan bukan asal-asalan. Karena Demokrat merupakan kekuatan penyeimbang," tukasnya.
Dengan posisi itu, PD punya kewajiban mensupport dan mendukung untuk sesuatu yang konstruktif. Sehingga akan mencoba mengeluarkan statemen dalam posisi menopang pemerintahan yang ada dan kritik yang disampaikan juga konstruktif.
"Itu tercermin dari slogan yang sekarang diusung, yaitu Demokrat Peduli dan Memberi Solusi," tegas Hariadi.
Ini akan lebih menegaskan posisi PD sebagai varian baru dalam kekuatan politik di Indonesia.
Sebelumnya, varian yang ada hanya oposisi dan mendukung. Kalau oposisi, pokoknya mengatakan tidak, meski program itu baik. Sementara yang mendukung, meski program jelek akan tetap mendukung.
"Makanya kalau tetap komit dan dapat mengkonsolidasikan itu, positioning Demokrat pasti akan meningkat. Dan Kongres inilah salah satu momentumnya," pungkas Hariadi.